PASANG IKLAN DISINI

Jarono, Saksi Hidup Kekejaman Tentara Belanda: Saking Geregetan, Belanda Kami Sate!

waktu baca 4 menit
Senin, 8 Agu 2022 03:31 0 1330 mondes

PATI – Mondes.co.id | Di usianya yang sudah 94 tahun, Jarono warga Desa Jrahi, Kecamatan Gunungwungkal, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, tak nampak masa senja menggerogi kebugarannya, meski usianya nyaris satu abad.

Begitupun ingatannya, masih kuat menyelami kebiadaban penjajah Belanda kepada bangsa Indonesia.

Di bangku teras rumah sederhana di lereng Pegunungan Muria, Jarono berapi-api ketika menyeritakan, perjuangannya bersama para gerilyawan saat mengusir penjajah Belanda pada agresi militer ke 2 pada masa mudanya.

Agresi Militer Belanda Kedua

Kakek kelahiran tahun 1928 ini mengaku turut bertempur melawan belanda pada tahun 1948. Air mata dan darah berkali-kali ia kucurkan demi menjaga kemerdekaan Indonesia, bersama pejuang lainnya.

“Tahun 1948 ikut gerilya agresi belanda ke dua. Setelah ikut berperang di Ciamis, Cikuning, Jawa Barat saya dipindah untuk ikut berperang di Jawa Timur, Mojokerto, lalu ke Jombang, habis itu ke daerah Bence. Lalu ke Semarang. Lasem Rembang pernah berbulan-bulan,” kata Jarono, Senin (8/8/2022).

Berperang Bersama Jenderal Sudirman

Kurang lebih dua tahun lamanya ia ikut berperang demi kejayaan dan kemerdekaan tanah air Indonesia.

“Ikut berperang kurang lebih dua tahun, bersama Jenderal Sudirman saat di Magelang. Setelah itu saya diajak berperang ke Semarang oleh Pak Amir Syarifudin,” ungkapnya.

Sembunyi di Hutan Belantara

Acap kali, Jarono serta para pejuang lain masuk dan keluar hutan, untuk menghindari endusan tentara Belanda dan para anteknya.

“Setiap ada orang masuk kawasan kami, tanpa memiliki tanda dan kode tertentu, langsung kita tembak di tempat. Tak peduli itu pribumi maupun Belanda. Perang itu kejam, nyawa kita atau nyawa mereka yang hilang, karena banyak juga pribumi yang jadi antek Belanda,” sebutnya.

Baca Juga:  Menolak Mati, Ketoprak Dutha Budaya Hadir Ciptakan Generasi Seniman Milenial

Saat menjalani relawan dalam perang gerilya itu, Jarono dan kelompoknya hanya menggunakan senjata seadanya. Seperti pedang, tombak, alat pertanian, dan bambu runcing.

“Kita gunakan senjata seadanya, ada senjata api tetapi terbatas. Dapat senapan dan amunisi itu kalau berhasil mengalahkan tentara Belanda,” jelasnya.

Bobol Gudang Senjata Belanda

Meski begitu, Jarono dan rekan seperjuangan pernah membobol gudang senjata milik Belanda dan berhasil menggondolnya untuk para pejuang.

“Saya dan dua orang teman pernah mencuri gudang senjata Belanda dan berhasil. Kebetulan salah satu teman saya itu mantan maling, dia jago nyirep sehingga penjaga Belanda dapat ditidurkan,” tuturnya.

Makan Daging Penjajah Belanda

Belanda menjajah kekayaan Indonesia selama 350 tahun lamanya, kengerian demi kengerian oleh pemerintah Kolonial kepada pribumi tumbuh subur saat itu.

Sehingga kebencian terhadap penjajah Belanda ketika proklamasi kemerdekaan Indonesia diikrarkan semakin membuncah saat adanya agresi militer Belanda 1 pada tahun 1947 dan agresi militer 2 pada tahun 1948.

“Kami dilarang sekolah oleh Belanda, dan mereka bertindak semena-mena,” kata Jarono yang pantang meminum minuman keras dan mengkonsumi rokok ini.

Sehingga ketika ia turut mengangkat senjata pada tahun 1948, ia sampai hati untuk menghabisi tentara Belanda. Bahkan ia mengaku pernah sekali memakan daging tentara Belanda.

“Belanda itu sangat kejam, kejam dan buasnya Belanda tidak terperkirakan di masa sekarang,” sebutnya.

“Sehingga ketika kelompok kami berhasil menghabisi tentara Belanda. Saking geregetannya, kami sate dan makan (Iwak Londo) dagingnya. Itu (tentara Belanda) ketemu di daerah Belimbing, Jakenan dan kami sate di Proliman,” sambung Jarono.

Jarono saksi hidup kekejaman penjajah Belanda. (Mondes/Dr)

Menolak Diberi Penghargaan

Jarono mengaku, sempat diberikan surat penghargaan atas jasanya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di Semarang.

Baca Juga:  Destinasi Wisata Ditutup, Disparbud Trenggalek Genjot Progres Realisasi Desa Wisata

“Relawan, usai perang saya sempat dikasih surat penghargaan di Semarang, harusnya saya mendapatkan dana pensiun tetapi saya tolak. Saya memang tidak punya pangkat, saya hanya seorang gerilyawan angkatan perang,” tuturnya.

Baginya, memperjuangan kedaulatan tanah air Indonesia adalah yang utama. Sehingga anak cucunya tidak menderita, seperti yang ia alami di masa penjajahan Belanda.

“Semboyan kita sebagai pejuang, kami tidak pamrih apapun, tetapi bagaimana negara Indonesia ini tegak berdiri dan tidak dijajah lagi,” tegasnya.

Pesan Kepada Generasi Muda

Jarono berpesan agar generasi sekarang, utamanya Gen Z agar mengisi kemerdekaan Indonesia dengan karya positif, yang dapat mengharumkan nama bangsa di mata dunia.

“Kesopanan, kewaskitaan (ketajaman pikiran), dan tujuan hidup nampak mulai hilang di generasi sekarang. Saya harap tiga poin itu bisa dipakai agar hidup para pemuda sekarang mudah,” imbaunya. (Dr)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA

Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini