Tradisi Ruwahan di Rembang, Harmoni Spiritual dan Sosial Menjelang Ramadan

waktu baca 3 menit
Sabtu, 15 Feb 2025 16:59 0 413 Supriyanto

REMBANG – Mondes.co.id | Bulan Ruwah, atau Sya’ban dalam kalender Hijriah, menjadi momentum sakral bagi masyarakat Rembang, Jawa Tengah.

Di bulan ini, tradisi Ruwahan dihelat sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan persiapan menyambut bulan suci Ramadan.

Tradisi ini tidak hanya sarat makna spiritual, tetapi juga menjadi perekat sosial yang memperkuat kebersamaan antarwarga.

Ruwahan berasal dari kata “ruwah,” yang memiliki akar kata “arwah,” atau roh para leluhur.

Tradisi ini merupakan wujud bakti masyarakat Jawa kepada para leluhur yang telah berpulang.

Melalui Ruwahan, masyarakat memanjatkan doa, membersihkan makam, dan berbagi makanan sebagai simbol kebersamaan dan rasa syukur.

Tradisi ini telah diwariskan secara turun-temurun dan menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat Jawa, khususnya di Rembang.

Ruwahan bukan sekadar ritual, tetapi juga cerminan nilai-nilai luhur seperti penghormatan kepada leluhur, kebersamaan, dan kepedulian sosial.

Setiap desa di Rembang memiliki cara tersendiri dalam melaksanakan tradisi Ruwahan.

Meskipun terdapat perbedaan, esensi dari tradisi ini tetap sama, yaitu mendoakan leluhur dan mempererat tali silaturahmi.

Di Desa Krikilan, tradisi Ruwahan diwarnai dengan kegiatan membersihkan makam leluhur, yang dikenal dengan istilah “nyekar.” Setelah itu, warga berkumpul untuk melaksanakan tahlil dan doa bersama.

Salah satu ciri khas Ruwahan di Krikilan adalah tradisi “kenduri,” di mana warga membawa makanan dari rumah masing-masing untuk dinikmati bersama.

Makanan yang disajikan biasanya berupa nasi, lauk-pauk, dan jajanan tradisional.

Menurut warga Desa Krikilan, tradisi Ruwahan adalah tradisi yang sangat penting, karena merupakan bentuk penghormatan kepada leluhur dan juga sebagai sarana untuk mempererat tali silaturahmi antar warga.

BACA JUGA :  Carik Mitra Strategis Petinggi di Desa, Elemen Kunci Pembangunan 

“Ruwahan ini adalah tradisi yang sangat penting bagi kami, Ini adalah cara kami untuk menghormati leluhur dan juga untuk mempererat tali silaturahmi antar warga,” ujar salah satu warga Desa Krikilan.

Di desa-desa lain di Rembang, tradisi Ruwahan juga diwarnai dengan kegiatan serupa, seperti membersihkan makam, tahlil, dan kenduri.

Namun, terdapat beberapa perbedaan dalam jenis makanan yang disajikan dan tata cara pelaksanaan ritual. Misalnya, di beberapa desa, warga membuat apem dan ketan sebagai hidangan khas Ruwahan.

Tradisi Ruwahan tidak hanya memiliki makna spiritual, tetapi juga menjadi perekat sosial yang kuat.

Melalui tradisi ini, warga dari berbagai lapisan masyarakat berkumpul, berinteraksi, dan mempererat tali silaturahmi.

Ruwahan juga menjadi momentum untuk berbagi rezeki dengan sesama.

Warga yang memiliki kelebihan rezeki biasanya membagikan makanan kepada tetangga dan kerabat yang membutuhkan.

“Ruwahan bagi kami adalah tradisi yang sangat sakral. Ini adalah waktu bagi kami untuk mengenang dan mendoakan para leluhur yang telah berjasa bagi desa kami. Selain itu, Ruwahan juga menjadi ajang silaturahmi antar warga, mempererat tali persaudaraan,” ungkap Mbah Sunar dari Desa Krikilan.

“Kami berharap tradisi Ruwahan ini dapat terus dilestarikan oleh generasi muda. Ini adalah warisan budaya yang sangat berharga dan harus kita jaga bersama,” tambahnya.

Tradisi Ruwahan di Rembang adalah cerminan kekayaan budaya Indonesia yang sarat makna spiritual dan sosial.

Melalui tradisi ini, masyarakat Rembang menjaga harmoni antara manusia, leluhur, dan Tuhan Yang Maha Esa.

Editor: Mila Candra

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA

Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini