Bodo Apem, Tradisi Temurun Warga Desa Sukodono yang Tetap Lestari

waktu baca 4 menit
Jumat, 12 Mei 2023 07:18 0 2826 mondes

JEPARA – Mondes.co.id | Tidak hanya mengenal tradisi kupatan (Bodo Kupat) setelah Lebaran, masyarakat di Kabupaten Jepara juga mengenal tradisi “Bodo Apem” atau Barikan apem.

Hal ini sebagaimana dilaksanakan di Desa Sukodono, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara.

Jumat Pon, 12 Mei 2023, masyarakat Sukodono melaksanakan tradisi Barikan Apem atau Bodo Apem.

Tradisi ini, dilaksanakan setiap setahun sekali oleh masyarakat setempat.

Bodo Apem, tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Desa Sukodono saja.

Namun sejumlah desa si Jepara masih melaksanakan tradisi ini.

Hanya saja, waktunya yang berbeda. Untuk di desa lain biasanya dilaksanakan pada Jumat wage di bulan apit dalam kalender Jawa.

Mengutip dari berbagai sumber, barikan apem atau Bodo Apem merupakan tradisi pesta rakyat di Jepara. Barikan Apem dimaksudkan juga untuk menjaga pakem desa.

Di Desa Sukodono, tradisi Bodo Apem ini diadakan setiap Jumat Pon pada bulan Syawal.

Setelah salat subuh warga berdatangan ke balai Desa Sukodono dengan membawa kue apem.

Kue apem yang di bawa oleh warga kemudian di do’akan dan selametan. Setelah selamatan kue apem dari warga yang terkumpul kemudian dimakan bersama-sama.

Selain itu, sebagian apem juga dibawa pulang untuk dibagikan ke tetangga sekitar sebagai bentuk toleransi.

Masyarakat percaya apem yang telah didoakan dan selamatan akan membawa berkah dan Keselamatan.

Apem sendiri, merupakan jajanan yang terbuat dari campuran tepung beras dan santan serta bumbu tambahan lainnya.

Bentuknya bulat, dan memiliki rasa yang lezat dan gurih saat digigit.

BACA JUGA :  Jepara Green Generation, Organisasi Pemuda Aktif Bumikan Kecintaan pada Lingkungan

Biasanya, bisa dimakan langsung, ataupun diberikan tambahan santan yang telah direbus dengan gula jawa, dan daun pandan atau disebut juruh.

Istilah apem sebenarnya berasal dari bahasa Arab, afuan atau afuwwun, yang berarti ampunan.

Yang dalam filosofi Jawa, kue apem ini merupakan simbol permohonan maaf atau ampun atas berbagai kesalahan.

Namun, karena orang Jawa menyederhanakan bahasa Arab tersebut, maka disebutlah apem.

Tradisi ini juga sebagai perwujudan permohonan maaf seluruh warga atas segala kesalahan.

Petinggi (Kades) Desa Sukodono, Sagiman mengatakan, Bodo Apem dilaksanakan pagi hari (selepas subuh) tepatnya hari Jumat Pon di bulan syawal di Balai Desa Sukodono.

Penggunaan apem dalam tradisi ini, diyakini merupakan perwujudan permohonan maaf warga desa Sukodono atas kesalahan yang telah dilakukan.

Ada beberapa tahapan syarat dalam Bodo Apem.

Pertama, Kembang Mboreh adalah kembang dan mboreh yang dikumpulkan kemudian ada beberapa warga yang menyusun di atas sebuah ancak sebanyak empat buah.

Kedua, dilanjutkan dengan Ngambeng yaitu peserta selametan membentuk kelompok kecil yang terdiri dari beberapa orang (5 sampai 10 orang) kemudian apem dikumpulkan jadi satu dalam kelompok ambengan.

Diakhiri kemudian dengan Kenduren, peserta Selametan terlebih dahulu mengambil mboreh yang diedarkan secara bergantian yang sudah ditata diatas ancak.

Setelahnya, sesepuh Desa (tukang Ujub) akan menyampaikan tujuan Barikan Apem atau Bodo Apem (Ngujupake).

“Setelah disusul Modin Desa untuk mimpin doa tahlil, kirim ahli kubur,” ujarnya.

Selesai didoakan apem dibawa kembali pulang oleh warga masing-masing, dan sebagai bukti warga telah mengikuti barikan apem adalah dengan mengoles mboreh di bagian leher.

Pamong Budaya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) jepara Lia Supardianik menambahkan, Barikan Apem sebagai khasanah kekayaan tradisi Jepara sudah selayaknya diangkat ke tingkat lebih luas, supaya masyarakat lebih mengenal tradisi tersebut.

BACA JUGA :  Distribusi Logistik Pemilu Dijaga Ketat Aparat Kepolisian

Yang berbeda dengan tradisi yaqowiyu dari Klaten yang juga menggunakan apem.

“Tentunya menjadi tugas bersama untuk mengenalkan kepada generasi muda sebagai salah satu cara nguri-uri warisan leluhur,” terangnya.

Di berbagai sumber, kue apem sendiri tidak lepas dari cerita Sunan Kalijogo, salah seorang Wali Sanga yang menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.

Saat itu, Ki Ageng Gribik atau Sunan Geseng, murid Sunan Kalijaga, yang waktu itu baru pulang ibadah haji dan melihat penduduk kelaparan.

Beliau membuat kue apem lalu dibagikan kepada penduduk yang kelaparan sambil mengajak mereka mengucapkan lafal dzikir Qowiyyu (Allah Maha Kuat). Para penduduk itu pun menjadi kenyang.

Hal inilah yang membuat masyarakat jawa khususnya untuk terus menghidupkan tradisi bodo apem sebagai tradisi turun-temurun. (Ar/Dr)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA

Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini