dirgahayu ri 80

Kuliah Bersama Rakyat Pati, Akademisi UGM: Sertifikat HGB PT LPI Tidak Sesuai Peruntukan

waktu baca 3 menit
Kamis, 20 Feb 2025 06:06 0 485 Singgih Tri

PATI – Mondes.co.id | Kuliah bersama rakyat digelar di Kabupaten Pati. Acara pada Rabu, 19 Februari 2025 ini berlangsung di Pendopo Dewan Kesenian Kabupaten Pati.

Acara tersebut mengusung tema  ‘Perjuangan Tani Pundenrejo Lawan Perampasan Tanah’.

Serta mendatangkan beberapa narasumber, mulai dari Lembaga Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM) Herlambang P. Wiratraman, tokoh Sedulur Sikep Gunretno, akademisi FH Universitas Negeri Semarang (UNNES) Syukron Salam, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Abdul Kholiq, dan petani Desa Pundenrejo Sumiyati.

Pada kesempatan tersebut, Sedulur Sikep melalui Gunretno menyampaikan filosofi tanah sebagai ibu bumi.

Bagi Sedulur Sikep, ibu bumi menjadi sumber kehidupan seluruh kehidupan yang berpijak di atasnya

“Tanah itu ibu bagi kami, yang melahirkan, kalau gak ada yang melahirkan tidak ada kehidupan,” ungkapnya di kesempatan itu.

Sementara menurut akademisi LSJ FH UGM, Herlambang P. Wiratrama, kondisi sejumlah dokumen sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang dimiliki PT Laju Perdana Indah (LPI) tidak relevan dengan kondisi di lapangan.

Pasalnya, tanah yang seharusnya bestatus HGB digunakan untuk pembangunan suatu perusahaan, tetapi yang terjadi kini PT LPI malah menggunakan lahan 7,3 hektar untuk menanam tebu.

Diketahui, HGB itu telah habis pada 27 September 2024. Namun, ada upaya PT LPI untuk meminta izin Hak Guna Pakai (HGP) demi melanggengkan perampasan tanah nenek moyang petani Desa Pundenrejo, Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati.

“Bahwa tanah HGB berakhir 27 September, tetapi kalau dilihat di lokasi yang ada bangunan apa tanduran? Kalau tanduran itu sudah keliru. Bangunan ya bangunan, bukan tanduran tebu. Berapa lama tebu itu ada? Tanduran kok ada HGB,” katanya saat menyampaikan materi.

BACA JUGA :  Speling Berlangsung di Kayen, Mudahkan Masyarakat Dapat Pemeriksaan Gratis

Ia mengaku mengantongi sertifikat HGB dari PT LPI, ia pun menerangkan jika HGB Nomor 9, 11, 12, 13 berisi untuk implasemen, HGB Nomor 10 untuk perumahan karyawan. Sehingga HGB tidak sesuai peruntukan yang sesungguhnya.

“Saya punya sertifikat HGB Nomor 9-13, Alhamdulillah keliling ternyata di sertifikat itu Nomor 9 untuk implasemen, Nomor 10 perumahan karyawan, dan Nomor 11-13 implasemen. Itu tidak sesuai peruntukan, saya kira tidak tepat kalau harus diperpanjang,” tambahnya.

“Tidak sesuai peruntukkan, maka hal itu harus diselesaikan kepala daerah masing-masing. Tanah mangkrak dikerjakan oleh warga sebagian, sebab ada indikasi terlantar,” ungkapnya.

Perlu diinformasikan, tanah yang merupakan warisan nenek moyang petani dirampas oleh perusahaan sejak 1974, yakni PT Bapipundip. Kemudian, diserahkan kepada PT LPI dan setelahnya diajukan status HGB sejak 1994 sampai 2024.

“Sejak 1974 sudah dirampas oleh perusahaan. Lalu ada HGB tahun 1994 hingga 2024, warga yang punya bangunan disingkirkan, itu aja keliru. Hal ini tidak terjadi di Pati saja, apalagi kegegeran itu bermula kisaran tahun 1965 hingga 1966,” ucapnya.

Di tahun tersebut banyak lahan yang dirampas sejak tahun 1965. Warga pun melalukan recleaning menduduki kembali, karena haknya dirampas.

“Warga menduduki kembali karena haknya warga dirampas. Warga bukan penjarahan, bukan mengambil tanpa dasar tapi ada sejarah mulia untuk menghidupi petani dan keluarga di 2000-2020. Namun, tiba-tiba ada upaya mengambil kembali tanah oleh PT tanah dasar sertifikat HGB,” terangnya.

Ketika HGB sudah berakhir, maka wajar masyarakat bertani di lahan seluas 7,3 meter tersebut. Pasalnya, lahan tersebut adalah sumber kehidupan mereka bercocok tanam.

“Di situ ada bekas rumah, ada yang bertahan di lokasi. Luasnya 7,3 hektar, kalau perkebunan gak cocok, faktanya tidak pernah dikerjakan oleh PT Bapupundip, tapi dijual ke PT LPI,” jelasnya.

BACA JUGA :  Penuhi Bantuan Air Bersih untuk Minum Warga Pati, Sumur Dalam Dibangun pada 7 Titik

“Tahap HGB sudah berakhir, seharusnya ada upaya untuk mengembalikan tanah negara, siapa yang berhak adalah warga setempat, karena mereka lebih membutuhkan untuk menyambung hidup,” tegasnya.

Editor: Mila Candra

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA

Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini