SEMARANG – Mondes.co.id | Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Komisariat UNNES mengadakan diskusi bedah buku Aswaja dan Marhaenisme.
Dalam kesempatan itu, Dewan Pimpinan Cabang (DPC) GMNI Kota Semarang mengajak Pengurus Cabang (PC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Semarang, serta PK IPNU IPPNU UNNES untuk berdialektika bersama.
Kedua narasumber kajian pun didatangkan dari Wakombid Politik DPC GMNI Kota Semarang, Aisyah Dara Pamungkas dan kader PC PMII Kota Semarang, Sahabat Rizal.
Acara digelar di Gedung Bundar Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (UNNES) pada Jumat, 7 Juni 2024.
Berlangsung dengan hangat, dihadiri sekitar 70 peserta dari kalangan mahasiswa.
Aktivis GMNI itu menyampaikan beberapa pemikiran Bung Karno mengenai Marhaenisme. Selain itu, ia mengaitkan dengan adanya kesetaraan gender yang dijunjung tinggi dalam nafas perjuangan anti perbudakan.
“Tradisi kaum Nahdliyin dan kaum Marhaenis tidak melupakan budaya Nusantara, Bung Karno bahkan kurang menerima purifikasi ajaran Islam dalam buku Aswaja dan Marhaenisme. Diperkuat dalam literatur lain, Bung Karno saat diasingkan ke Bengkulu pernah datang mengikuti rapat umum Muhammadiyah dan saat itu ada yang membuatnya kesal, karena melihat tabir yang memisahkan antara kaum perempuan dan laki-laki. Menurutnya itu adalah lambang perbudakan perempuan,” ungkapnya ketika menyampaikan materi diskusi.
Ia menceritakan tentang kondisi geo-politik pasca G30S, bahwa saat itu Bung Karno dituduh terlibat di gerakan yang diyakini dalang utamanya Partai Komunis Indonesia (PKI).
Lalu organisasi Nahdlatul Ulama (NU), mengklaim PKI sebagai organisasi yang menodai ideologi Pancasila. Sedangkan saat itu Bung Karno meyakini bahwa PKI mampu menguatkan pertahanan dan persatuan Indonesia sebagai negara yang baru merdeka, itu sebabnya sang Founding Father mendalami ideologi komunis.
“Terjadi ketegangan antara Marhaenisme (pandangan Bung Karno) dan Aswaja (cerminan NU), Bung Karno yang dianggap sebagai dalang peristiwa tersebut belum juga tegas untuk menentukan sikap, salah satunya soal pembubaran PKI. PKI dianggap NU sebagai organisasi atau Parpol dengan asas tidak ber-Tuhan . Sedangkan, Bung Karno berpikir lain bahwa geo-politik internasional saat itu komunisme masih subur di beberapa negara, dan PKI memiliki jumlah massa yang banyak di Indonesia. PKI berguna untuk pertahanan dan persatuan Indonesia yg masih membenahi diri sebagai negara yang baru merdeka,” jelas Sarinah Dara sapaannya.
Pendalaman ideologi kiri yang dilakukan Bung Karno guna menciptakan persatuan untuk internasionalisme dengan corak umat Islam yang Rahmatan Lil Alamin.
Dara menegaskan jika kaum Nahdliyin maupun Marhaenis sampai saat ini masih memiliki musuh bersama, yaitu kapitalisme.
“Ketika kita sepakat dengan ajaran Marhaenisme dan mengamalkan nilai-nilai Marhaenisme, maka kita di sini bisa disebut seorang Marhaenis, sekalipun berlatar belakang PMII, IPNU, dan apapun itu. Ideologi yang dianut kita harus terus mengimplementasikan, karena teori pasti berubah dengan keadaan sosial. Kita harus menjadikan diri kita sebagai objek sekaligus subjek. Dengan kita berdiskusi hari ini, berarti kita sudah sepakat dengan ideologi kita masih dapat memberangus kapitalism,” ucapnya.
Sementara, kader PC PMII Kota Semarang, Rizal menyampaikan kepekaan sosial bisa ditumbuhkan dengan cara yang sederhana, dengan melebur bersama masyarakat dan tidak menjauhkan diri dari masyarakat. Ia mengajak semua kalangan menjalin elaborasi.
“Peka terhadap sosial bisa tumbuh dengan cara-cara sederhana, dengan melebur bersama masyarakat dan tidak menjauh dari masyarakat, seperti sederhana merawat pikiran-pikiran dengan menggelar diskusi seperti hari ini,” tandasnya.
Editor: Mila Candra
Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini
Tidak ada komentar