Sangat Familiar di Telinga Warga Pati hingga Blora, Siapakah Sosok Samin? 

waktu baca 4 menit
Senin, 27 Jan 2025 17:21 0 330 Singgih Tri

PATI – Mondes.co.id | Samin Surosentiko, seorang tokoh pejuang asal Kabupaten Blora yang nilai-nilai kehidupan sosialnya masih lestari di daerah Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.

Namanya sering disebut-sebut sebagai pembawa ajaran Sikep, yang diyakini oleh penganutnya yakni Sedulur Sikep yang bermukim di Desa Baleadi, Baturejo, dan Sukolilo itu sendiri yang berada di Kecamatan Sukolilo.

Perlu diketahui, Sedulur Sikep merupakan ajaran yang dimunculkan oleh Mbah Samin atau lengkapnya Samin Surosentiko.

Perjuangan Mbah Samin muncul karena keprihatinan terhadap kondisi masyarakat yang dijajah Belanda.

Ia melawan dengan cara menolak perintah dan aturan-aturan Belanda tanpa kekerasan. Seperti tak mau bayar pajak.

Sebagai informasi, ajaran Samin Surosentiko atau Mbah Samin dimulai sekitar era 1850 hingga awal 1900-an.

Anggotanya semakin banyak, hingga puncaknya terjadi perlawanan terhadap Belanda pada 1907.

Karena gerakannya semakin masif, Mbah Samin pun ditangkap di Rembang.

Lalu diasingkan ke Digul Irian Jaya, kemudian dipindah ke Sawahlunto Sumatera Barat, hingga wafat di sana.

Saat ini populasi penganut ajaran Sedulur Sikep tersebar di berbagai daerah antara lain di Blora, Rembang, Grobogan, Pati, Kudus, Bojonegoro, Tuban, Blitar, Gresik, Madiun, Ngawi, dan Lamongan.

Kabupaten Pati menjadi salah satu daerah tempat bermukim Sedulur Sikep.

Salah satu tokoh Sedulur Sikep tersebut adalah Gunretno. Tinggal di Dukuh Bombong, Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.

Ia menjalani hidupnya seperti sebagaimana masyarakat Jawa.

Dalam menjalani kehidupan, banyak nilai-nilai dasar yang diterapkan seperti memiliki tujuan lelaku yang jumlahnya ada lima, yaitu Demen, Becik, Rukun, Seger, dan Waras.

BACA JUGA :  Kepala DPUTR Pati Resmi Dilantik, Bupati: Pekerjaan Infrastruktur Jalan Harus Bagus

Sedangkan, ada pun lima larangan lelaku hidup yaitu Jrengki, Srei, Panesten, Dahwen, dan Kemeren.

“Saat itu gerakan Sedulur Sikep kompak tidak membayar pajak. Ditambah Mbah Samin jadi figur yang murni menggambarkan panutan rakyat, karena waktu itu pemerintahan kolonial Belanda sering berkompromi dengan raja-raja Jawa, sehingga rakyat ditinggal. Itu mengapa Mbah Samin beserta ajarannya diikuti oleh banyak orang. Mbah Samin orangnya sangat terbuka dan menginspirasi orang-orang,” jelas tokoh Sedulur Sikep asal Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Gunretno.

Asal usul keberadaan Sedulur Sikep di Kabupaten Pati dimulai dari kedatangan Sedulur Sikep asal Kabupten Kudus, yakni Canggah Kurodiwongso yang merupakan murid Mbah Samin.

Lalu, ia memiliki anak bernama Suronggono yang menikahi seorang wanita asal Bombong.

Mereka menikah dengan tradisi Sedulur Sikep, mengingat pada waktu itu masih banyak penganut Islam Jawa yang ada di Kabupaten Pati, sehingga corak kebudayaannya masih erat jika dikaitkan satu sama lain.

Ajaran Sedulur Sikep kemudian menyebar ke berbagai wilayah lain, seperti Kecamatan Tambakromo, Kecamatan Gabus, bahkan hingga Kecamatan Tlogowungu.

Namun, kini ajaran tersebut paling banyak ada di Kecamatan Sukolilo, utamanya Desa Baturejo, Kedumulyo, Baleadi, dan Sukolilo itu sendiri.

“Dulu tersebar banyak di beberapa desa dan kecamatan, bahkan ajaran ini menjadi populer karena menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Populasi penduduk yang menganut ajaran Sedulur Sikep di Baleadi ada 200 Kepala Keluarga (KK), Bombong ada 20 KK, dan Bowong ada 15 KK,” urainya.

Secara tatanan, penganut Sedulur Sikep sejalan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), akan tetapi karena pemerintah hanya mengakui enam agama, maka penganut ajaran kepercayaan Sedulur Sikep memilih membentuk permukiman sendiri.

BACA JUGA :  Dandim 0718/Pati Tutup TMMD Sengkuyung Tahap I

“Eksistensi Sedulur Sikep di era perjuangan sudah lama. Sebelum kependudukan Jepang, Sedulur Sikep sudah menyusahkan Belanda. Namun seiring berjalannya waktu, ada beberapa benturan antara pembentukan republik dengan ajaran, terutama soal pengakuan agama. Maka dari itu, Sedulur Sikep mengasingkan diri. Padahal Sedulur Sikep ini membaur dan tidak tertutup, tapi terkesan tertutup,” ujarnya.

Sedulur Sikep mayoritas memilih memberikan pendidikan dari orang tuanya sendiri tanpa perlu mengikuti sekolah formal.

Kebanyakan dari mereka diajarkan bahwa pendidikan formal adalah pilihan hidup.

Hal ini membuat mereka lebih sering belajar merawat bumi dan lingkungan sebagai bagian tradisi mempertahankan minat untuk bertani. Pasalnya, mata pencaharian Sedulur Sikep adalah petani.

“Mulai dari tata cara pernikahan maupun pendidikan diatur dalam ajaran Sedulur Sikep sendiri. Pernikahan tidak dicatatkan di pemerintaham. Kemudian, anak-anak bebas mau belajar ke mana aja, tetapi kami biasanya mendidik anak dari orang tuanya sendiri. Pemahaman tentang merawat bumi menjadi pelajaran yang harus ditekankan. Gegayuhan kami ingin membecikkan laku dan memperbaiki ucapan. Sinau cukup dengan bapak/ibu, sinau bercocok tanam cukup dengan bapak/ibu. Tetapi demi keseimbangan, ada juga beberapa masyarakat yang kami izinkan bekerja di tempat lain,” jelasnya.

Masyarakat Sedulur Sikep sangat mencintai bumi yang mereka pijak dengan cara bumi digambarkan bagaikan seorang ibu.

Ketika bumi dirusak, sama artinya tidak menghormati sang ibu, karena semua kehidupan manusia bergantung pada bumi.

Di samping itu, Sedulur Sikep memiliki kepekaan yang tinggi terhadap kondisi lingkungan alam sekitar.

Mereka sering menyoroti adanya masalah rusaknya lingkungan.

Apalagi mata pencaharian mereka petani yang bersinggungan langsung dengan ekosistem lingkungan.

Oleh karena itu, masyarakat Sedulur Sikep aktif menyuarakan penolakan adanya eksploitasi lingkungan.

BACA JUGA :  Google Maps Sumbersoko Dicecar Netizen, Camat Wadul Diskominfo Pati

“Anggapan bumi sebagai ibu menjadi pegangan bagi Sedulur Sikep. Semua ancik-ancik bumi, maka penggambaran bumi sebagai ibu. Kami punya kepekaan terhadap masalah kerusakan lingkungan. Kerusakan bumi dan ekosistem ada hubungannya dengan petani,” tegasnya.

Editor: Mila Candra

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA

Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini