Kopi Pangonan Pati: Merekam Jejak Sukses Budidaya Organik

waktu baca 4 menit
Rabu, 6 Sep 2023 16:01 0 1126 Singgih Tri

PATI – Mondes.co.id | Siapa yang menyangka, petani di Kabupaten Pati punya inovasi unik dalam membudidayakan lahan perkebunan kopi.

Sejak 2016 lalu, sekelompok petani di Desa Gunungsari, Kecamatan Tlogowungu, Kabupaten Pati mengalihfungskkan lahan perkebunan dari yang mulanya non organik, menjadi lahan pertanian organik.

Mereka difasilitasi Direktorat Jendral (Dirjen) Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) Republik Indonesia demi menyukseskan program pertanian kopi secara organik.

Mereka yang tergabung dalam Kelompok Tani Wana Lestari tersebut menanam komoditas unggulan, yakni kopi berjenis robusta di Desa Gunungsari.

Menurut Ketua Kelompok Tani Wana Lestari, Ngarjono (46), budidaya kopi secara organik ditengarai karena kelangkaan pupuk sintetis atau kimia.

“Kopi yang kami tanam jenisnya kopi robusta. Sejak 2016 yang lalu kami melakukan peralihan lahan dari non organik menuju organik. Butuh waktu selama tiga tahun untuk mengonversi lahan agar terbebas dari pengaruh unsur kimiawi,” ujar Ngarjono kepada Mondes.co.id, Rabu, 6 September 2023.

Tak mudah menanam kopi dengan budidaya tanpa pupuk sintetis. Pasalnya, kesuburan tanah sangat mempengaruhi perkembangan tanaman kopi. Apalagi, saat ini target market-nya belum stabil usai pandemi Covid-19.

Ia menambahkan, mengawali budidaya secara organik harus menunggu selama tiga tahun masa konversi lahan. Ia bersama petani lainnya baru memulai menanam kopi secara organik pada 2018. Setahun berselang, kelompoknya sukses mendapat Sertifikat Organik.

“Tantangan budidaya organik banyak, mulai dari faktor kesuburan tanah yang harus benar-benar dijaga karena secara organik. Di samping itu, pasarannya belum pulih,” ungkapnya.

BACA JUGA :  Rutin Lakukan Monitor, Pendapatan Parkir di Pati Capai Rp153,6 Juta di Awal Tahun Ini

Perlu diketahui, Kelompok Tani Wana Lestari menanam komoditas kopi organik seluas 13,6 hektar. Sementara kopi budidaya non organik seluas 157 hektar.

Secara teknis, pemupukan dilakukan sekali untuk masa budidaya dua tahun. Hal ini mengefektifkan tenaga jika dibandingkan penggunaan lahan pertanian kimia yang harus memupuk dua kali dalam satu tahun.

Dalam pertanian organik kondisi tanah menjadi gembur, sehingga membantu menyuburkan tanah tanpa ada pemupukan berlebih. Bila dibandingkan pemupukan kimia, lahan akan menjadi keras lantaran tercemar kandungan kimia dari pupuk sintetis. Itulah mengapa, bercocok tanam organik sangat ramah lingkungan.

“Alasan untuk menanam organik karena peduli lingkungan. Alasan selanjutnya menanam dengan pola organik  karena maraknya kebutuhan pangan organik, kelangkaan dan mahalnya pupuk kimia. Selain itu, kalau pakai pupuk organik tanah semakin lama semakin gembur. Kalau pupuk kimia semakin lama tanah semakin keras,” kata Ngarjono.

Ngarjono menyebut, keunggulan kopi organik dibanding kopi dari hasil budidaya sintetis terletak pada rasa usai diolah. Menurutnya, kopi organik aman dikonsumsi, bahkan kerap dijadikan sebagai obat terapi sakit maag.

“Terkait rasa tentu beda. Testimoni minum kopi organik aman di lambung bahkan biasa dipakai untuk terapi sakit maag,” ungkapnya.

Selain itu, petani juga membudidayakan bibit lokal di desa tersebut. Bibit yang dibudidaya kemudian ditanam dengan perawatan organik selama Juni sampai Agustus.

Setelah tiga bulan perawatan, kopi siap dipanen. Proses mememetik kopi basah sampai mengolah menjadi greeb bean membutuhkan waktu selama 12 hari.

“Yang membudidayakan kopi semua anggota kelompok tani. Kami menanam dengan bibit lokal di sini. Selanjutnya merawat dengan cara organik dari Juni sampai Agustus. Kami tetap mengantisipasi keberadaan hama yang mengganggu apalagi di tengah musim yang tak menentu seperti ini,” ucapnya.

BACA JUGA :  Polisi Ungkap Penyebab Kematian Mayat Tanpa Identitas di Sungai Kering Pucakwangi

Dalam sekali panen, pihaknya bisa menghasilkan biji kopi 13 ton, baik organik maupun non organik. “Dalam sekali panen 1.000 kilogram per hektar,” sebut Ngarjono.

Hasil panen komoditas kopinya diolah untuk dijual. Harga kopi dalam bentuk biji yang sudah di-sangrai Rp150.000 per kilogram. Sedangkan, harga kopi dalam bentuk bubuk Rp155.000 per kilogram.

Apabila tertarik, maka dapat datang ke Desa Gunungsari dan membeli kopi olahan organik tersebut. Ngarjono memberikan nama merek sesuai dengan nama dukuh tersebut, yakni ‘Pangonan’.

Penjualannya pun sudah tembus pasar nasional. Selain itu, Ngarjono pun mampu menjual kopi organiknya hingga ke sejumlah daerah di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

“Kami pasarannya di sekitar Jateng sini sampai Jateng sekitar Kebumen, bahkan bisa sampai ke Yogyakarta,” tuturnya.

Dalam satu bulan, pihaknya mampu meraup pendapatan sebesar Rp2 juta dari hasil penjualan kopi.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA

Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini