PATI – Mondes.co.id | Harmoni kenong bertalu disela batas-batas gatra kekek serangga dan binatang melata. Irama itu seolah menjadi pengiring yang membuncah dari balik sanggar sederhana di pojok area persawahan Desa Langgenharjo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Sementara di tengah serak alat musik penyusun gamelan itu, nampak seorang pria berperawakan keras, ia adalah Sutomo, perajin sekaligus maestro gamelan Bumi Mina Tani.
Di antara jeda kepulan asap kretek, sang empu bercerita, mulai tertarik dengan kesenian Jawa, lebih-lebih pada alat musik tradisional sejak belia. Ia gandrung, akan keindahan pentas kesenian ketoprak dan wayang.
Dua kesenian yang karib di kuping masyarakat Pati itu, seolah mengetuk benaknya untuk ambil bagian. Bukan sebagai aktor peran maupun perawit, tetapi menjadi perajin gamelan yang mulai hilang terkikis zaman.
Padahal, gamelan sudah menjadi tradisi Indonesia sejak lama, bahkan diperkirakan sudah ada di Jawa sejak tahun 404 Masehi, berdasarkan penggambaran masa lalu di relief Candi Borobudur dan Prambanan.
“Sejak kecil sering melihat pembuatan alat gamelan di tetangga sekitar, lalu sempat diminta perajin gamelan kala itu untuk turut membantu. Jadi sudah tau proses pembuatan gamelan sejak kecil,” kenang Sutomo, Selasa 29 November 2022.
Meski begitu, tak lantas memantapkannya untuk langsung berkecimpung sebagai produsen gamelan. Ia memilih untuk mendalami kesenian wayang kulit terlebih dulu. Agar lebih memahami simfoni yang terkandung dalam alat musik tradisional yang terdiri dari kendang, saron, demung, bonang, kenong, gong, kempul, gambang, dan sebagainya itu.
“Saya sempat belajar di pendidikan khusus perdalangan, dan mulai terjun di seni budaya perdalangan wayang kulit sejak tahun 90-an,” ungkap pria yang masih memiliki garis darah Dalang Sopo Nyono itu.
Tepatnya pada tahun 2014, Sutomo mulai berani untuk melangkah lebih jauh, yakni mendirikan sanggar kerajinan gamelan di tanah kelahiran. Dalam prosesnya, ia dibantu oleh rekan sesama pecinta seni budaya Jawa. Misinya, nguri-uri budaya tradisional yang mulai tergerus asing.
“Pembuatan satu set alat musik gamelan ini bahannya antara lain kulit sapi, kayu mahoni sengon jati, tali rotan, kuningan, perunggu, dan besi. Tidak semuanya dibuat di sini, ada yang diambil dari daerah lain juga,” tutur Sutomo.
Proses pengolahan bahan-bahan tersebut, menurutnya, cukup rumit karena terdiri dari berbagai bagian. Bagian-bagian itu selanjutnya dijadikan satu set, selepas diuji kelayakan suara. Pengujian ini juga membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
“Sekarang harga perunggu juga mahal. Pastinya untuk proses produksi menyesuaikan permintaan. Kadang ada yang pesan satu set penuh gamelan, ada juga yang meminta bagian tertentu saja,” ungkapnya.
Produk gamelan asli Pati ini, disebutnya hampir merambah seluruh penjuru Nusantara, mulai dari Pulau Jawa hingga Sumatra. Sementara ini, pihaknya hanya memasarkan produk secara konvensional dan belum menjajal peruntungan dari platform daring.
“Harganya bervariasi, mulai dari jutaan rupiah hingga ratusan juta rupiah, tergantung jumlah barang dan kualitas bahan yang diminta pelanggan. Ratusan juta rupiah itu untuk yang satu set gamelan, bukan ecer,” rinci Sutomo.
Kini ia sedikit bisa bernapas lega, lantaran UNESCO telah menetapkan gamelan Warisan Budaya Tak Benda dalam sidang UNESCO sesi ke-16 Intergovernmental Committee for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage di Paris, Prancis, 15 Desember 2021.
Sementara untuk penyerahan secara simbolis sertifikat gamelan sebagai warisan budaya tak benda UNESCO telah dilangsungkan di Balai Kota Solo, Jumat malam 16 September 2022. (Tg/Dr)
Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini
Tidak ada komentar