Drama Sejarah Tampilkan Kisah Penghianatan Revolusi, Ini Ceritanya

waktu baca 3 menit
Jumat, 28 Nov 2025 10:11 0 30 Dian A.

SEMARANG – Mondes.co.id | Drama berlatar belakang sejarah ditampilkan Teater Teding, menghadirkan kisah perjuangan revolusi yang tercemar dendam pribadi.

DBHCHT TRENGGALEK

Bagaimana jalan ceritanya?

Gedung Oudetrap di kawasan Kota Lama Semarang dipenuhi penonton untuk menyaksikan pementasan Fajar Siddiq, naskah karya Emil Sanossa yang dipentaskan oleh Teater Teding.

Di bawah arahan sutradara Nasrun M Yunus, lakon ini menghadirkan ketegangan revolusi, luka keluarga, dan pertaruhan moral dalam satu malam yang padat emosi.

Para aktor A Sofyan Hadi, Anton Sudibyo, Imaniar Yordan C, Wikha Setyawan, dan Daniel Hakikie menghidupkan cerita tentang pengkhianatan, penyesalan, dan pergulatan hati seorang ayah yang harus memilih antara darah daging dan keadilan revolusi.

Lakon Fajar Siddiq dibuka dengan kasus tragis.

Ahmad, seorang pemuda yang menjadi terdakwa pengkhianat setelah membocorkan lokasi persembunyian pasukan gerilya kepada tentara Belanda.

Kebocoran itu berujung pada pembakaran pondok pesantren yang tak lain adalah milik ayahnya, Haji Jamil.

Namun, sebelum hukuman mati dijalankan, pimpinan pasukan gerilya Marjoso memberi satu kelonggaran.

Ahmad diberi kesempatan meminta maaf kepada ayahnya.

Dari sini lah inti drama bermula, benturan nilai, cinta keluarga, dan kerasnya tuntutan perjuangan kemerdekaan.

Di atas panggung, Sofyan Hadi yang memerankan Haji Jamil tampil menggetarkan.

Wajah merah padam, suara bergetar menahan marah dan kecewa kepada anak yang pernah ia banggakan.

Ia menyebut, Ahmad lebih baik digantung, bahkan sempat menolak mengakui hubungan darah.

Alasan Ahmad melakukan pengkhianatan, dendam atas kematian ibunya justru memperburuk keadaan.

BACA JUGA :  Nasib Angkot di Pati Makin Terpuruk, Pengguna Kian Sepi

Bagi Haji Jamil, revolusi tak memberi ruang bagi dendam pribadi.

Namun malam yang tegang itu berubah ketika Zulaecha, adik Ahmad, hadir.

Melalui dialog yang lirih namun tegas, ia memohon ayahnya membuka pintu maaf.

Adegan itu menjadi jeda emosional yang menghangatkan panggung, memberi napas bagi penonton di tengah ketegangan cerita.

Haji Jamil digambarkan sebagai sosok yang teguh memegang prinsip kemerdekaan, bahwa keadilan tak boleh pandang bulu, bahkan jika yang dihukum adalah anaknya sendiri.

Marjoso menegaskan hal yang sama, dalam revolusi, semua melebur, ayah bukan ayah, saudara bukan saudara.

Keputusan Haji Jamil untuk merelakan Ahmad dieksekusi, menjadi puncak konflik batin drama ini.

Lakon membawa penonton pada satu pertanyaan mendasar, seberapa mahal harga kemerdekaan?

Di bagian akhir, Ahmad memohon maaf, mengakui bahwa dendam telah membutakan pikirannya.

Ketika fajar menyingsing, ia berjalan menuju tempat eksekusi.

Tiga letupan senapan menggema dari belakang panggung, hening menyelimuti gedung.

Haji Jamil berdiri mematung, air mata jatuh tanpa ia usap.

Dengan suara lirih ia mengucap kalimat yang menutup drama dengan kekuatan simbolik.

“Tuhanku, inilah pertanda datangnya fajar kemenangan. Kemerdekaan bangsa dan negaraku”.

Panggung gelap, penonton terdiam sejenak sebelum bertepuk tangan panjang.

Sutradara menyampaikan, naskah Fajar Siddiq bukan sekadar drama sejarah, ia adalah refleksi tentang harga sebuah pengorbanan.

“Teater Teding berhasil menyajikan lakon yang padat konflik moral, dengan permainan aktor yang subtil dan penyutradaraan yang teguh pada ritme emosional,” kata sutradara.

Di tengah ingatan kolektif bangsa tentang perjuangan, kata dia, pementasan ini mengingatkan kembali bahwa kemerdekaan tak pernah lahir dari keputusan mudah, melainkan dari pertempuran batin yang paling sunyi.

“Keren sekali pementasannya. Seolah kita terbawa di masa revolusi,” ungkap Zulfa, salah satu penonton, Jumat (28/11/2025).

BACA JUGA :  Terapkan Sistem Barcode untuk Pertalite Sebelum Waktunya, Disdagperin Pati Bakal Komunikasi dengan Pejabat Pertamina

Dikatakan, dari pementasan ini, para penonton seolah dibawa untuk mengarungi masa kemerkdekaan 1945-1947.

Editor; Mila Candra

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA

Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini