JEPARA – Mondes.co.id | Masyarakat Desa Kriyan, Kecamatan Kalinyamatan akan menggelar Pekan Budaya Baratan, Sabtu (15/2/2025) malam.
Tradisi Baratan akan dimulai dari Halaman Masjid Al Makmur, Desa Kriyan. Masjid ini dulunya dikenal salah satu masjid tua yang ada di Jepara.
Masjid Al Makmur juga dikenal “Langgar Bubrah”, dibangun di tengah-tengah kerajan Kalinyamat.
Diceritakan, Masjid Al Makmur Kriyan dibangun atas perintah Ratu Kalinyamat. Kemudian mengutus Raden Kusumo Abdul Jalil atau Mbah Shidiq untuk membangun masjid di atas rawa embes Keraton Kalinyamat yang dapat dilihat hingga sekarang.
Ada cerita yang berkembang di masyarakat terkait baratan. Sebagaimana ditulis Hadi Priyanto dalam buku Legenda Jepara yang terbit tahun 2014.
Dituliskan bahwa baratan berawal dari kisah terbunuhnya Sultan Hadlirin, Suami Ratu Kalinyamat.
Saat itu, Ratu Kalinyamat bersama Sultan Hadlirin tengah meminta keadilan atas terbunuhnya Sunan Prawoto akibat konflik berkepanjangan di Kerajaan Demak, kepada Sunan Kudus.
Saat kembali dari Kudus ke Kalinyamat, mereka dihadang oleh seorang pati pasukan Arya Penangsang.
Dalam perkelahian itu, Sultan Hadlirin terluka parah dan dilarikan para abdi ke Kalinyamatan.
Tragedi ini berlangsung saat sore hari tepatnya ketika matahari telah mulai terbenam dan penduduk sudah mulai menghidupkan damar (lampu kecil).
Konon peristiwa pembunuhan Sultan Hadlirin ini menjadi awal pemberian nama desa-desa yang dilalui.
Peristiwa pembunuhan yang berlangsung saat matahari terbenam dan penduduk susah menyalakan damar menyebabkan wilayah tersebut disebut Damaran.
Para abdi yang membawa Sultan Hadlirin yang luka parah terus berjalan ke arah barat.
Walaupun mereka telah mengikat luka Sultan, namun darah terus keluar membasahi tanah yang dilewatinya.
Karena banyaknya darah yang keluar, membuat tanah menjadi becek atau dalam bahasa jawanya jember. Kelak wilayah itu dinamakan Jember.
Sultan Hadlirin terus dibawa ke arah barat. Ketika melampaui jalan yang licin, para abdi terpaksa harus berjalan merambat dengan berpegangan pada pohon yang ada. Setelahnya wilayah itu dinamakan Perambatan.
Kondisi Sultan semakin kritis. Darah semakin mengalir di seluruh tubuhnya. Karena itu setelah sampai di sebuah sungai kecil yang bersih, para abdi mencoba membersihkan darah Sultan.
Betapa terkejutnya mereka, saat membersihkan luka dengan air itu, konon air sungai berubah menjadi ungu dan desa ini dinamakan Kaliwungu.
Beberapa saat melanjutkan perjalanan, para abdi juga kelelahan. Sehingga mereka berjalan sempoyongan. Kelak daerah ini dinamakan Mayong, yang berarti sempoyongan atau moyang-moyong.
Namun demikian, walaupun sudah sangat kelelahan dan hari sudah semakin malam, para abdi terus berjalan ke istana Kalinyamatan dengan membawa lampu kecil atau damar untuk menerangi jalan.
Perjalanan semakin sulit karena tiba-tiba hujan turun lebat hingga membuat jalan licin.
Akibatnya, saat mereka mencoba menyeberangi sebuah sungai, jenazah Sultan Hadlirin jatuh ke sungai bersama para abdi yang membawanya hingga menimbulkan suara krasak-krasak. Nah, kelak wilayah ini dinamakan Krasak.
Perjalanan terus dilakukan hingga Istana Kalinyamatan. Selanjutnya jenazah Sultan Hadlirin dikebumikan di pesanggrahannya.
Dalam kelelahan yang teramat sangat, para abdi yang membawa jenazah Sultan Hadlirin montang-manting saat sampai di pesanggrahan. Karenanya, tempat pesanggrahan atau makan Sultan Hadlirin dinamakan Desa Mantingan.
Menurut Hadi Priyanto, atas dasar peristiwa itu, masyarakat desa yang berada di sepanjang jalan mulai dari Desa Damaran hingga Krasak, setiap tanggal 15 ruah mengadakan tradisi Baratan atau Baroatan.
“Tujuannya adalah untuk mengenang dan menghormati wafatnya Sultan Hadlirin dan sekaligus memperingati hari jadi masing-masing desa,” ungkap Hadi Priyanto, Sabtu (15/2/2025).
Penduduk mengadakan selametan atau kenduri bersama. Hidangan yang disajikan adalah nasi ambengan dan dilengkapi juwadah puli.
“Nasi ambengan ini adalah nasi yang ditaruh tampah atau tempat yang berbentuk bulat yang terbuat dari anyaman bambu,” kata Hadi.
Sedangkan jadah puli adalah makanan yang terbuat dari bahan dasar beras yang ditumbuk lalu diiris kecil-kecil dan di atasnya ditaruh parutan kelapa.
Di samping itu, masyarakat menghidupkan damar atau lampu teplok kecil yang disebut uplik di depan rumah masing-masing.
Damar atau uplik inilah yang dalam perkembangannya kemudian diganti dengan impes atau lampion.
Editor: Mila Candra
Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini
Tidak ada komentar