PATI – Mondes.co.id | Petani budidaya sembung di Kabupaten Pati tampak lesu setelah harga tanaman herbal tersebut turun signifikan. Hal ini menyebabkan mereka berhenti melakukan aktivitas penjualan ke pemasok.
Bukan hanya berhenti di penjualan, tetapi petani juga berhenti melakukan aktivits budidaya tanaman tersebut.
Menurut Ketua Kelompok Tani (Poktan) Tani Mulya Mandiri, Sunyoto penurunan harga terjadi pada tanaman sembung sehingga pihaknya rugi. Ia menyebut harga jual tanaman sembung yang dulunya mencapai Rp19.000 kini turun menjadi Rp9.000 per kilogram saja.
Bahkan tanaman sembung yang mereka budidaya di Desa Sidomulyo, Kecamatan Gununungwungkal, Kabupaten Pati tidak bisa terjual ke pemasok andalan mereka, yakni PT Sidomuncul sejak 2022. Pasalnya, pihak perusahan lebih memilih produk sembung yang harganya lebih murah.
“Pada tahun 2021 harganya Rp19 ribu. Namun, seiring berjalannya waktu ada pihak penjual yang mematok harga sembung dengan nilai Rp9 ribu. Sehingga pihak PT lebih melirik penjual tersebut. Alhasil sembung kami tidak laku,” ujarnya kepada Mondes.co.id, Sabtu, 19 Agustus 2023.
Sebagai informasi, sejak 2021 harga sembung terus mengalami penurunan. Pada 2022 harga menurun dari Rp19.000 per kilogram menjadi Rp17.000 per kilogram. Pada akhir 2022, harga tanaman sembung turun lagi menjadi Rp12.000 per kilogram. Dan pada tahun ini harganya hanya Rp9.000 per kilogram.
Menurutnya pihak perusahaan sudah ajukan tawaran untuk membeli Rp12.000 per kilogram. Namun, Sunyoto dan kawan-kawan tidak mau karena rugi bila hanya menjual dengan harga segitu.
“Secara MoU dengan kami pihak perusahaan Rp19 ribu per kilogram. Dalam sekali pengambilan tiga kuintal atau 300 kilogram. Namun, perusahaan kemarin mau menawar dengan Rp12 ribu, tetapi kami tidak mau. Apabila sana (perusahaan) menawar, mbok ya jangan keterlaluan, kalau tawar-menawar kami maunya Rp15 ribu per kilogram,” sesalnya.
Kondisi yang demikian membuatnya vacuum membudidayakan sembung selama dua tahun. Situasi tersebut ditengarai adanya permainan harga yang tidak adil, sehingga sembung milik kelompoknya tidak laku dengan harga yang rendah.
Ia mengatakan pihak penjual sembung dengan harga murah itu bukan dari kalangan petani, tetapi dari kalangan tengkulak. Ia menyangkal permainan harga tengkulak sengaja dilakukan untuk merampas kesejahteraan petani sembung.
“Kami sudah tidak menanam selama dua tahun, tapi bibitnya masih ada. Kami tak mengirimkan ke PT karena ada penjual sembung yang berani jual dengan murah. Mereka ini dari tengkulak tertentu yang sengaja mengancurkan harga di level petani,” ungkap Sunyoto.
Perlu diketahui, tanaman sembung di Desa Sidomulyo merupakan incaran perusahaan besar yang bergerak di bidang farmasi. Sembung yang berkualitas di daerah tersebut tembus ke pasar nasional.
Tanaman yang dibudidaya secara swadaya dengan tumpang sari itu biasanya didistribusikan ke PT Sidomuncul sebagai bahan baku herbal. Setiap bulan dilakukan uji laboratoriom oleh pihak Dinas Perhutanan dan Perkebunan (Distanbun) Provinsi Jawa Tengah dan PT Sidomuncul.
Kualitas sembung yang layak diproses ke bidang industri farmasi yang memiliki kadar air 10 persen.
Dirinya berharap harga sembung kembali naik agar pihaknya dapat mendapat keuntungan. Dan perusahaan melirik komoditas tanaman herbal lain selain sembung.
“Saya berharap harganya stabil dan sembung kami terjual lagi. Ditambah, kalau bisa tanaman lain kami seperti jahe, kunyit dan lain-lain dilirik juga,” pungkasnya.
Editor: Harold Ahmad
Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini
Tidak ada komentar