Wisata Pemandian Alam di Lereng Kendeng, Masyarakat Percaya sebagai Banyu Pusaka

waktu baca 4 menit
Selasa, 8 Okt 2024 14:54 0 318 Singgih Tri

PATI – Mondes.co.id | Objek wisata Goa Wareh selalu ramai pengunjung, destinasi wisata alam yang terletak di lereng Pegunungan Kendeng itu tak pernah surut, baik sumber air maupun jumlah wisatawannya.

Dalam pantauan, tiap harinya kedatangan sekitar 50 pengunjung untuk menikmati segarnya air dari Sumber Wareh yang berada di Desa Kedumulyo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati itu.

“Banyak wisatawan, setiap sebulan sekali kami kirim data ke Dinporapar (Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata). Sehari bisa 50 orang ada 7 sampai 8 mobil, seminggu 500 orang, lalau weekend atau libur pengunjungnya luar biasa,” kata Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Semar Wareh, Adie Saputro, baru-baru ini.

Air jernih Goa Wareh menjadi tempat favorit bagi pengunjung dari Kabupaten Pati maupun luar Kabupaten Pati.

Titik pemandiannya itu semakin sejuk karena berada di bibir goa yang menjadi ikon utama Goa Wareh itu sendiri.

Menurut informasi yang disampaikan, bukan hanya pemandian saja yang ditawarkan dari Goa Wareh, ada juga tebing untuk wall climbing maupun susur goa.

Diketahui, tebing setinggi 20 meter kerap dijadikan panjat tebing bagi para pemanjat, dan dua goa yang masing-masing memanjang 50 meter dan 100 meter dijadikan caving bagi wisatawan yang menggelar outbond.

“Daya tariknya renang dari bibir goa hawanya adem dan pengelolaan stabil tidak ada yang mengganggu, menjamin kenyamanan pengunjung. Pengunjung dari pecinta alam dan pramuka biasa outbond dan ke panjat tebing. Untuk caving juga bisa tetapi kalau hari biasa tidak bisa karena airnya untuk mandi, sehingga dikhawatirkan air pemandian jadi keruh,” sebutnya saat ditanya Mondes.co.id.

BACA JUGA :  Cie Pamer, Ratusan Vespa Mbois Nangkring di Taman Krida

Ia menjelaskan jika Goa Wareh diyakini mengalirkan air yang dipercaya mujarab untuk kebaikan dalam melancarkan setiap langkah seseorang.

Bahkan, air yang dipakai mandi wisatawan kerap disebut sebagai ‘Banyu Pusaka’ atau ‘Air Pusaka’, karena mampu dijadikan sebagai obat untuk keselamatan.

“Kalau airnya kita artikan sebagai ‘Banyu Pusaka’, kalau punya kajat (niat, harapan, dan keselamatan) maupun obat bisa ampuh. Orang sini menganggapnya ‘Banyu Pusaka’ atau ‘Air Pusaka’,” paparnya.

Ia mengungkapkan bahwa orang dari luar daerah sering datang mandi dengan keyakinan dapat khasiat dari air yang berasal dari Sumber Wareh.

Unsur kebatinan semakin melekat di Goa Wareh, mengingat pada saat Rajab, warga setempat sering menjadikannya sebagai tempat sedekah bumi maupun syukuran kampung.

Lalu, setiap Suro tepatnya tanggal 1 sampai 10 Muharam, warga setempat juga menggelar ritual.

“Banyu Pusaka biasanya orang Yogyakarta atau Semarang percaya khasiatnya. Warga juga mengadakan sedekah bumi pada bulan Rajab di sini, serta selalu ada acara syukuran di sini,” ungkapnya.

Ia menuturkan bila aliran air di Goa Wareh tidak pernah surut meski musim kemarau tiba. Selain itu, musim-musim seperti ini cocok untuk berendam.

“Agustus sampai September ini jadi puncak kemarau, makanya pengunjung selalu stabil dan terus ada. Air di sini tidak pernah surut. Dulu pernah surut pada 2008, sewaktu bersamaan desas-desus pendirian pabrik semen di Pegunungan Kendeng, tetapi cuma semalam saja,” tuturnya.

Ia juga menambahkan, air dari Sumber Wareh ini mengalir bertemu Sumber Asem Bosok yang berada di dekatnya. Alirannya bertabrakan, sehingga masyarakat menyebut sebagai fenomena ‘banyu tarung’.

“Sumber Asem Bosok dan Wareh tabrakan namanya ‘banyu tarung’, itu airnya tabrakan. Tempatnya gelap banget, dipercaya angker atau mistis,” ujarnya.

BACA JUGA :  Gudang Filet Ikan di Banyutowo Meresahkan, Legislatif Langsung Sikat

Di tepi pemandian dan goa, terdapat dua pohon besar yang mengapit yakni pohon asem dan pohon kepoh. Keberadaan pohon menambah unsur keindahan dari wisata alam tersebut.

Tak banyak bukti otentik mengenai sejarah dari berdirinya Goa Wareh. Bahkan, pengelola pariwisata ada yang menyebutkan objek tersebut dulunya persinggahan Sunan Gresik alias Maulana Malik Ibrahim.

Selain itu, ada yang menyebut pernah menjadi tempat Punokawan dan Dewi Suprobo beraktivitas di sela-sela perginya Seno Pati Minto Rogo (suami Dewi Suprobo).

“Sejarah kami kurang berani, soalnya dulu belum ada yang membedah karena selama ini belum ada sumber pasti. Ada yang bilang Sunan Gresik yang singgah dari Tuban, ada Punokawan seperti Mbah Semar yang menemani Dewi Suprobo sang permaisuri Seno Pati Minto Rogo,” urainya.

Konon, saat terjadi perang, seorang ksatria bernama Seno Pati Minto Rogo meninggalkan Dewi Suprobo (permaisuri).

Saat Dewi Suprobo kesepian, Semar datang menghibur dan membuatkan rujak di depan goa. Adanya pohon asem di dekat goa, dimanfaatkan untuk meracik bumbu rujak, sehingga menambah unsur asam yang nikmat bagi Dewi Suprobo.

Lebih lanjut, Dewi memasak kekep, setelah kekep diangkat keluarkan air. Maka saat itu, menjadi cikal bakal pohon kekep yang berada di depan goa.

“Selama ini berbagai sumber sejarah belum terbedahkan,” pungkasnya.

Editor: Mila Candra

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA

Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini