PASANG IKLAN DISINI

Meski Kerap Difitnah, Warga Kendeng di Rembang Konsisten Lawan Tambang 

waktu baca 4 menit
Kamis, 12 Okt 2023 17:21 0 317 Singgih TN

REMBANG – Mondes.co.id | Warga di lereng Pegunungan Kendeng, tepatnya di Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang tak lelah dan tak lengah menentang datangnya korporasi perusak lingkungan, yang mereka ibaratkan bagaikan tambang.

Pergerakan melawan hadirnya korporasi tambang dimotori oleh Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK). JMPPK itu sendiri merupakan sebuah organisasi yang aktif dan vokal menyuarakan kelestarian Pegunungan Kendeng agar selamat dari eksploitasi lingkungan. Organisasi ini diprakarsai oleh Gunretno asal Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah.

Misi utama JMPPK adalah melepaskan Pegunungan Kendeng dari ancaman lingkungan, seperti pertambangan maupun penggundulan hutan secara liar. Pegunungan Kendeng sendiri merupakan pegunungan yang membentang dari Kabupaten Grobogan, Pati, Blora, dan Rembang. Organisasi ini berdiri sejak 2008.

Di Kabupaten Rembang sendiri, terdapat sejumlah tokoh JMPPK yang vokal dan menjadi figur perjuangan warga Kendeng menolak adanya eksploitasi lahan pegunungan kapur utara tersebut, seperti Joko Prianto dan Sukinah.

Salah seorang tokoh JMPPK Kabupaten Rembang, Joko Prianto, menceritakan perjuanngan yang dilakukan oleh dirinya bersama sedulur menyalakan semangat warga Rembang agar terus melawan kerusakan alam yang disebabkan karena tambang. Apalagi saat ini korporasi tambang difasilitasi oleh pemerintah daerah (pemda).

“Kami sudah tahu apa yang dilakukan dulur-dulur Kendeng serius menjaga kelestarian Ibu Bumi, yaitu kawasan Kendeng untuk mengairi lahan petani, dan sumber air warga. Di luar itu, pemerintah selama ini tak ada keseriusan sama sekali menangani persoalan lingkungan. Di depan mata ada persoalan malah diabaikan,” kata Joko Prianto saat diwawancarai Mondes.co.id, Kamis, 12 Oktober 2023.

Baca Juga:  Perangkat Desa Rejoagung Ditemukan Meregang Nyawa di Tambak Garam

Sebagai informasi, Joko bersama kawan-kawannya konsisten menolak tambang di Pegunungan Kendeng, lantaran di kawasan tersebut terbentang Cekungan Air Tanah (CAT) Watu Putih. CAT Watu Putih sendiri adalah kawasan karst yang di dalamnya terkandung mata air dan sungai bawah tanah, sehingga keberadaannya menjadi sumber urat nadi kehidupan warga Kabupaten Rembang.

“Kawasan Watu Putih dilindungi Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (Perda RTRW) selama ini. Makanya, jika ada tambang datang, apalagi PT Semen Indonesia, maka kami tetap menolaknya karena melanggar aturan. Justru kalau pabrik memiliki izin, maka pemerintah tidak taat dengan hukum,” tegasnya.

Selama menyuarakan penolakan tambang termasuk kehadiran PT Semen Indonesia, warga yang tergabung di barisan JMPPK kerap difitnah oleh masyarakat yang terpolarisasi. Terpantau, ada beberapa kelompok masyarakat bahkan tempat-tempat umum yang mengucilkan masyarakat penolak tambang.

Menurut Joko, kondisi demikian memperparah situasi. Belum usai masalah kerusakan alam yang disebabkan tambang menjamur, kini masyarakat dipaksa terpecah-belah lantaran konflik sosial terjadi.

“Konflik sosial terjadi di tengah masyarakat. Ketika kami menolak, ada beberapa masyarakat yang menuduh kami menyebar hoaks. Karena memang kami menilai situasi yang terjadi sudah terlihat nyata. Coba saja, debu di mana-mana menyebabkan kesehatan warga terganggu, kemudian sumber air berkurang, lahan mulai kering,” ujarnya.

Fasilitas kesehatan bahkan tutup mulut ketika warga menanyakan kondisi kesehatan gangguan pernapasan. Tenaga kesehatan yang berada di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) setempat hanya menganggap penyakit yang diderita masyarakat sebagai gangguan pernapasan kecil.

“Ketika kami menanyakan penyakit gangguan pernapasan akibat debu yang bertebaran karena polusi tambang, Puskesmas seolah tutup mulut. Mereka bilang ini penyakit ringan,” ucapnya.

Mayoritas penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani, khususnya di Desa Tegaldowo, Desa Panohan, dan Desa Kulutan dirugikan karena sawah-sawahnya kekeringan. Semua diakibatkan sumber air yang habis lantaran kawasan CAT Watu Putih mulai dilalui pertambangan.

Baca Juga:  Kera Mengancam Pertanian di Rembang

“Kawasan karst ini secara adminsitratif di Desa Tegaldowo, bahkan CAT ini masuk wilayah Rembang dan Blora tapi kerusakannya sampai ke Tegaldowo, Kulutan, Panohan,” ucapnya.

Situsi tersebut telah dilaporkan oleh JMPPK ke Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, sehingga pemerintah bersepakat menebitkan Kajian Lingkungan Hidup Strategi (KLHS). Akan tetapi, KLHS itu tak diindahkan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Rembang dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah.

Buktinya, area tersebut dilalui penambang-penambang legal maupun ilegal.

“Pemerintah, penegak hukum, dan penambang ini saling bersekutu membentuk oligarki,” pungkasnya.

Editor: Mila Candra

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA

Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini