REMBANG – Mondes.co.id | Bagi sebagian besar masyarakat Jawa, malam Jumat Legi bukanlah sekadar pergantian hari.
Ketika mentari Kamis Kliwon beranjak menuju peraduannya, sebuah malam yang dinanti dan dihormati kembali hadir, berganti malam Jumat Legi.
Kombinasi hari Jumat dan pasaran Legi dalam kalender Jawa ini dipercaya sebagai waktu yang memiliki energi spiritual istimewa, bahkan dianggap paling sakral dalam khazanah budaya Jawa.
Menurut penanggalan Jawa, malam yang bertepatan dengan 11 Selo 1958 ini, memiliki aura tersendiri.
Berdasarkan Kalender Jawa dan Hijriah Indonesia Tahun 2025, transisi hari ini juga bertepatan dengan 11 Dzulqaidah 1446 H dalam kalender Hijriah.
Perpaduan penanggalan ini semakin menambah kekayaan makna malam ini.
Prof. Dr. Suwardi Endraswara, seorang pakar etnologi Jawa terkemuka, dalam bukunya “Etnologi Jawa” mengungkapkan bahwa Jumat Legi dipandang sebagai momen yang sarat dengan kekuatan spiritual.
“Masyarakat Jawa seringkali memanfaatkan malam ini untuk melangsungkan berbagai ritual penting, mulai dari panjatan doa yang lebih khusyuk, ziarah atau nyekar ke makam para leluhur, hingga persembahan sesaji sebagai bentuk penghormatan,” tambahnya.
Tradisi ini bukanlah fenomena lokal semata. Di berbagai daerah, termasuk di Rembang, kebiasaan berkumpul di tempat-tempat yang dianggap keramat seperti punden pada setiap malam Jumat Legi, menjadi pemandangan yang lazim.
Keyakinan yang kuat berembus bahwa harapan dan permohonan yang dilantunkan pada malam yang istimewa ini, memiliki peluang lebih besar untuk terkabul.
Dalam benak sebagian masyarakat Jawa, Jumat Legi memiliki vibrasi spiritual yang unik. Beberapa mitos masih diyakini.
Di antaranya yakni dipercaya bahwa pada malam Jumat Legi, arwah para leluhur memiliki kedekatan yang lebih erat dengan alam manusia.
Ada keyakinan bahwa makhluk halus dan kekuatan gaib menjadi lebih aktif pada malam ini, sehingga memerlukan penghormatan melalui sesaji.
Jumat Legi dianggap sebagai waktu yang paling tepat untuk melakukan ruwatan, yaitu ritual pembersihan diri secara spiritual dari energi negatif.
Meskipun zaman terus bergerak maju, mitos-mitos ini tetap hidup berdampingan dengan praktik keagamaan modern, menambah warna tersendiri dalam kehidupan masyarakat Jawa.
Menariknya, kalender Jawa itu sendiri merupakan hasil perpaduan yang indah antara sistem penanggalan Hindu-Buddha (Saka) dan Hijriah Islam, yang diinisiasi oleh Sultan Agung Mataram pada abad ke-17.
Sistem ini melahirkan konsep weton, sebuah kombinasi unik antara tujuh hari dalam seminggu dan lima pasaran Jawa (Wage, Kliwon, Legi, Pahing, Pon).
Setiap kombinasi weton diyakini membawa karakter dan energi yang berbeda.
Jumat Legi, sebagai salah satu kombinasi yang dianggap memiliki kekuatan spiritual tertinggi, tak heran jika dipilih oleh banyak orang untuk menggelar berbagai acara penting seperti doa bersama, mujahadah (perjuangan spiritual), hingga selamatan (syukuran) rumah.
“Agar mendapatkan berkah,” menjadi alasan yang seringkali terucap.
Malam ini, Kamis malam yang bertransformasi menjadi Jumat Legi, 8 Mei 2025, kembali hadir sebagai penanda waktu yang istimewa dalam budaya Jawa.
Di balik keheningan malam, terpancar cahaya tradisi dan kearifan lokal yang terus dijaga dan dilestarikan.
Bagi siapapun yang memiliki keinginan untuk nyekar, memanjatkan doa, atau sekadar merenungkan warisan leluhur, malam Jumat Legi diyakini sebagai waktu yang paling tepat dan penuh dengan limpahan berkah.
Editor: Mila Candra
Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini
Tidak ada komentar