PASANG IKLAN DISINI

Konflik Agragia Desa Pundenrejo Tayu Terus Berlanjut, Siapa Saja yang Terlibat?

waktu baca 3 menit
Jumat, 19 Apr 2024 12:05 0 111 Singgih TN

PATI – Mondes.co.id | Konflik agraria di Desa Pundenrejo, Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati diduga ada keterlibatan militer dan korporasi besar dalam perampasan lahan di masa lalu.

Ditinjau dari sejarah, tanah di Desa Pundenrejo dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda. Pasca kemerdekaan, lahan dikuasai oleh pengusaha di sektor perkebunan tebu, yakni Oei Tiong Ham. Awalnya, tanah tersebut direncanakan untuk pembangunan pabrik gula, akan tetapi batal karena kekurangan sumber mata air. Alhasil, tanah itu terlantar.

Menurut penjelasan dari salah seorang warga setempat, Basit Sutiyono, melalui hasil kajian bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, warga Desa Pundenrejo menguasai lahan yang ditelantarkan oleh Oei Tiong Ham pada 1950-an.

“Pada 1950-an petani menguasai lahan yang ditelantarkan dengan menanami padi, jagung, ketela dan lain sebagainya,” ujarnya belum lama ini.

Dikatakannya, pihak petani dan LBH Semarang pun memaparkan bahwa meletusnya peristiwa Gerakan 30 September (G30S), petani mendapat pengusiran dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), kini Tentara Nasioal Indonesia (TNI). Dilanjutkannya, bahwa petani dilabeli ikut partai tertentu dan diancam kena hukuman jika masih menggarap lahan.

“Petani Pundenrejo diusir militer, petani mendapatkan labelisasi terhadap partai tertentu, diancam akan dihukum apabila tidak keluar dari lahan garapan. Sehingga pengusiran itu tepatnya 1965 meninggalkan ketakutan dan trauma yang mendalam sehingga membuat petani tidak melakukan aktivitas penggarapan di lahan,” urainya saat dikonfirmasi Mondes.co.id.

Singkat cerita, pada masa pemerintahan Orde Baru (Orba) tepatnya 1973, tanah dengan total luas 7,3 hektar berubah menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) PT. Badan Usaha Milik Kodam IV Diponegoro (Bappipundip). Kawasan itu lalu menjadi emplasment dan perumahan karyawan hingga 1994. Lebih lanjut, HGB diperpanjang sampai 2024 meski tidak dibangun apa-apa.

Baca Juga:  Hati-hati Lur, Jalan Winong - Gabus Hancur Lebur

“HGB diperpanjang dari 1994 selama 30 tahun sampai tahun ini. PT Bappipundip tidak mendirikan bangunan apapun di atas tanah HGB konflik. Alih-alih mengembalikan tanah nenek moyang kepada petani Pundenrejo, pada tahun 1994 negara justru memperpanjang HGB perusahaan milik TNI walau kondisi lahan terlantar,” ungkapnya.

Kemudian, PT Bappipundip menjual lahan terlantar itu kepada PT Laju Perdana Indah yang diduga melanggengkan penguasaan lahan petani. Sebagai informasi, PT Laju Perdana Indah adalah perusahaan pabrik gula di bawah perusahaan agribisnis yang bergerak di sektor perkebunan tebu dan pengolahan gula di bawah PT Salim Invomas Pratama Tbk (Salim Group). Namun, sejak memegang HGB pada 2001, PT Laju Perdana Indah kembali menelantarkan tanah tersebut, sehingga lahan diduduki oleh petani untuk bercocok tanam.

“PT LPI (Laju Perdana Indah) kembali menelantarkan lahan tersebut, kini lahan nenek moyang dikuasai petani Pundenrejo,” kata Basit.

Pada tahun 2020, petaka pengusiran kembali terulang, petani Pundenrejo diusir oleh pihak PT Laju Perdana Indah yang dikawal aparat kepolisian dan tentara. Lebih parahnya, tanaman petani dirusak dengan alat berat.

“Pada 2020, kami diusir oleh pihak perusahaan bersama aparat, tanaman kami dirusak. Petani kembali mengalami trauma dan tidak dapat lagi mengakses lahan garapannya,” bebernya.

Berangkat dari situ, PT Laju Perdana Indah menanami lahan dengan komoditas tebu. Padahal menurut pendalaman LBH, aktivitas penanaman tebu di lahan HGB konflik merupakan bentuk pelanggaran terhadap Pasal 86 Peraturan Menteri Agraria Nomor 18 Tahun 2021, yang intinya berisi pelarangan HGB dimanfaatkan menjadi sektor pertanian maupun perkebunan.

Editor: Mila Candra

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA

Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini