PATI – Mondes.co.id | Menulis menjadi jalan baru bagi Fandy Putratama, yang menuangkan pengalaman pribadinya menjadi sebuah karya sastra berjudul ‘Senja di Kota Abu’.
Fandy menuturkan bahwa ‘Senja di Kota Abu’ bukan hanya sekedar fiksi. Karyanya itu adalah potret batin yang tercerai, tersusun dari keping-keping pengalaman pribadi, mulai pengkhianatan, kehilangan, dan harapan yang terus dipaksakan hidup meski hampir padam.
“Karya ini tak hanya menjadi refleksi pribadi, tetapi juga resonansi bagi siapa pun yang pernah merasa tersesat dalam hidup,” kata dia.
Lelaki itu menyuguhkan narasi yang puitis dalam “Senja di Kota Abu”. Meski puitis, kata demi kata dirangkai dengan penuh amarah yang tersembunyi dalam diri.
“Pembaca saya ajak menyusuri lorong-lorong pikiran yang sepi, bertemu tokoh-tokoh simbolik yang menyuarakan sisi gelap manusia,” ucapnya.
Fandy merasa debutnya menciptakan karya sastra ini jadi bukti nyata peralihan ekspresi yang tetap setia pada nilai kejujuran dalam luka.
Pasalnya, selama bertahun-tahun, ia dikenal sebagai pelukis yang menuangkan perasaan dan kritik sosial melalui kuas dan cat.
Sebagai informasi, Fandy adalah pendiri Paw Workshop Studio, yakni sebuah studio seni rupa yang kini berkembang pesat di jantung Bali yang dulunya di Kabupaten Pati.
Namun kini, ia menjelma menjadi penulis yang tak kalah berani dalam menyampaikan kegelisahan dan kejujuran.
“Melukis adalah caraku bicara dalam diam. Tapi menulis-menulis memberiku ruang untuk menjerit tanpa suara,” katanya.
Sambil terus menjalankan studio gambar, Fandy terus menulis. Ia menyebut proses menulis sebagai terapi, sekaligus bentuk perlawanan terhadap sunyi.
“Kreativitas tidak harus dibatasi oleh satu medium. Dari kanvas ke kertas, dari garis ke kalimat membuktikan bahwa kisah hidup, jika diolah dengan jujur, akan selalu menemukan jalannya untuk menyentuh hati,” pungkasnya.
Editor: Mila Candra
Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini
Tidak ada komentar