dirgahayu ri 80

Gejolak Pati Memanas, Peneliti Kebudayaan Bongkar Akar Kontroversi Sudewo

waktu baca 6 menit
Rabu, 13 Agu 2025 10:36 0 238 Singgih Tri

PATI – Mondes.co.id | Akademisi turut menanggapi fenomena gerakan rakyat di Kabupaten Pati yang berjuang menyuarakan aspirasinya, menuntut Bupati Pati Sudewo lengser dari jabatannya.

Situasi yang tengah memanas di Bumi Mina Tani itu menjadi magnet masyarakat seluruh Indonesia untuk bersolidaritas, sehingga berbagai dukungan aksi secara langsung serta online terjadi.

Menurut peneliti kebudayaan Jawa asal Kabupaten Pati, Sucipto Hadi Purnomo, keadaan yang ada di Kabupaten Pati sekarang, bentuk wujud amarah warga atas tindakan semena-mena Bupati Pati saat ini, yakni Sudewo.

Ia memandang, bupati menganggap dirinya seolah seorang raja yang setiap sabdanya adalah kebenaran.

“Saya melihat pendekatan semiotik, membaca dalam sistem tanda, ada tanda verbal yang bisa didengar dan tanda visual yang bisa diamati atau dilihat, dari dialektika seperti jual-beli pukulan. Ia (Bupati) menafikkan seolah sumber kebenaran hanya ada pada bupati. Makin ke sini, saya melihat ada statement yang kemudian menjadi luar dari koridar penegakan demokrasi yang menempatkan prinsip partisipatif, seolah sumber kebenaran ada pada bupati,” ujarnya saat diwawancarai Mondes.co.id, Rabu, 13 Agustus 2025.

Akademisi Universitas Negeri Semarang itu mengungkapkan bahwa statement Sudewo mulai mengarah pada pengerdilan demokrasi, sebagaimana cita-cita Reformasi.

Sucipto mengatakan jika upaya arogansi Sudewo menekan prinsip partisipatif rakyat dalam berdemokrasi, buktinya pernyataan Sudewo seolah menantang dan mengancam warga sendiri.

“Di satu sisi, saya mencatat beberapa waktu yang lalu, saya melihat ada statement yang kemudian menjadi di luar koridor penegakan demokrasi yang menempatkan prinsip partisipatif. Pertama, siapa pun yang berbeda akan dianggap Sengkuni, semacam oposisi biner,” ujarnya.

“Kedua, ada pernyataan yang menyebutkan ‘yang menghalangi pemerintahan saya adalah pengganggu’. Sudewo punya cara atau model kepemimpinan secara denotatif dan konotatif ancaman,” tutur pria kelahiran Jaken tersebut.

Ia pun tak lupa menyoroti pemantik aksi massa, yang mana kebijakan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) 250 persen kepada masyarakat Bumi Mina Tani, walaupun kebijakan yang menuai kontroversi itu dibatalkan.

BACA JUGA :  Ary Bachtiar Bantah Tuduhan DPUPR Wanprestasi

Namun, masyarakat sudah terlanjur geram dengan upaya arogansi Bupati Pati yang melempar bola panas kepada warganya sendiri.

“Ketiga, ditimpali lagi dengan ketidakbijaksanaan menaikan pajak 250 persen, walaupun sedang coba dikoreksi, tetapi kan cara komunikasinya ini udah terlanjur ada. Pepatah mengatakan ‘Sabdo Brahmana/Pandita Ratu sepisan tan kena wolak-walik’. Sing kepindo, ‘we’e Kresna kang tumetes, kang dlanjang seto’, seperti tinta hitam di kertas,” ujar Sucipto.

Sejumlah langkah kontroversi ini memicu amarah, karena luka yang ditimbulkan atas kebijakan dan pernyataan Bupati Pati.

Ia menganggap Bupati Pati bertindak di luar jalur yang etis, bahkan tindakannya seolah hukum kebenaran yang hakiki.

Pernyataan menantang massa aksi untuk datang ke Kantor Bupati Pati dengan estimasi puluhan ribu itu, langsung disikapi.

Terlebih, masyarakat Kabupaten Pati tak gentar dengan tantangan.

“Ini kan tak lepas dari Bupati menempatkan diri sebagai raja kecil, seolah Bupati seperti peraturan itu sendiri. Beliau (Sudewo) menyatakan bahwa siapa yang akan membatalkan kebijakannya untuk itu, ‘jangankan 5.000 orang, 50.000 tidak akan gentar’. Celakanya, masyarakat Pati udah lekat dengan tantangan, ini terdengar seperti Tembang Palaran,” ungkapnya.

Tantangan pun dijawab selama dua pekan lamanya. Warga Kabupaten Pati memadati Alun-alun Simpang Lima Pati untuk menantang Sudewo.

Ribuan masyarakat bersolidaritas mengecam, serta memantik gerakan aksi di depan Kantor Bupati Pati.

Sejumlah organisasi aksi, serta masyarakat umum dari Kabupaten Pati maupun luar Kabupaten Pati ikut membantu memasok logistik, mulai dari air mineral, makanan ringan, buah-buahan, dan lain sebagainya.

“Saya menyoroti bahwa ini pertama,  fenomena baru di demokrasi Indonesia, partisipasi warga ditandai dengan hadirnya donasi kerakyatan seperti pisang, roti, tape, nasi bungkus. Ini adalah antithesis dengan narasi yang selama ini bahwa rakyat hanya dianggap penghamba Bansos (bantuan sosial), ternyata di Pati enggak. Bahwa saatnya rakyat utuk menunjukkan harga diri, mereka punya solidaritas, punya kekuatan, mereka bukan orang-orang penghamba Bansos,” tegasnya.

BACA JUGA :  Ada 33 Perajin Industri Batik di Pati, Khas Bakaran dan Pesantenan Jadi Andalan

Sucipto menjelaskan jika gerakan massa di Kabupaten Pati sangat unik.

Pasalnya, masyarakat membuktikan bahwa mereka bersatu untuk melawan kezaliman Bupati Pati.

Kekompakan masyarakat Kabupaten Pati dapat guyub di satu titik untuk menggalang logistik dan memberikan support moral kepada demonstran.

Masyarakat dari kalangan atas, menengah, hingga bawah berderap melangkah bersama.

“Fenomena yang terjadi di Pati ini baru di Indonesia, banyak masyarakat bersolidaritas berdonasi kerakyatan, hasil bumi, air minum, buah-buahan, dan lain sebagainya. Membuktikan bahwa mereka yang demo bukan orang-orang yang semata-mata mengharapkan bansos, mereka punya solidaritas, punya power, mereka bukan orang-orang penghamba Bansos,” ucap dosen Bahasa dan Sastra Jawa Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) UNNES itu.

Menurutnya, suara-suara rakyat Kabupaten Pati bermuara ke pusat kota untuk menggelar aksi bersama.

Eskalasi gerakan masyarakat Bumi Pesantenan juga masif di media sosial, bahkan berhari-hari kerap FYP atau berseliweran di semua jejaring sosial mengabarkan kondisi terkini di titik kerumunan massa.

“Pasti koordinator gak membayangkan, saya pikir stakeholder tidak membayangkan soal itu jadi bola salju, dan yang terjadi bener-bener pesta, hampir setiap desa punya spirit yang bermuara ke Alun-alun Pati. Pola kerakyatan ini bisa dilihat eskalasinya, apalagi hadir pada saat dunia tanpa batas, setiap menit, setiap jam viral di medsos,” sambung Sucipto.

Walaupun akhirnya kenaikan tarif pajak batal, akan tetapi gelombang rakyat yang menekan Bupati Sudewo mundur dari jabatannya, tetap mengalir deras.

Masyarakat tetap ingin Sudewo melepas jabatannya sebagai orang nomor satu di Kabupaten Pati.

“Jadi itu kemudian ketika kondisi ini akan dikoreksi menuju kondusifitas, dengan cara dianggap bahwa kalau pajak sudah diturunkan sudah aman, dan ada pula statement keagamaan melibatkan santri untuk pembatalan 5 hari sekolah. Itu dianggap persoalan selesai? Tentu tidak,” bebernya.

Ia memandang birokrasi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pati harus bijaksana dalam membaca situasi.

Justru yang terjadi, Pemkab Pati banyak melakukan tingkah yang bikin geleng-geleng, seperti statement bernada kebohongan, klarifikasi-klarifikasi pembelaan oknum, dan postingan menentang aksi masyarakat.

BACA JUGA :  Pencegahan Korupsi di Jajaran OPD Pati Dilakukan, Tahun Depan Giliran Kecamatan 

“Yang terjadi di birokrasi Humas Pemkab Pati di postingan aksi 13 Agustus dibatalkan, semakin membuat rakyat merasa dibohongi. Mestinya postingan itu sebagai pengingat pejabat Pati, bahkan sampai ada insiden Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja) dan pemecatan Kasatnya, insiden Riyoso (Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah) sebagai pengingat ke pejabat Pemkab Pati termasuk ke para Kades (kepala desa) untuk tidak menjadi pelawak yang tidak lucu, mahasiswa juga termasuk,” pesan mantan aktivis di era pergerakan 1998 itu.

Ia beropini, gaya kepemimpinan Sudewo tidak cocok untuk mendekati masyarakat Kabupaten Pati.

Pasalnya, warga butuh kepemimpinan yang bisa mengambil hati rakyat dengan cara apa adanya, bukan seperti Sudewo yang dengan seni bicaranya.

Ia berharap demo yang dilaksanakan oleh masyarakat Kabupaten Pati hari ini berjalan kondusif, damai, serta seluruh tuntutan terpenuhi.

“Pati gak butuh pemimpin dengan cara ngomong yang mendayu-dayu, kita apa adanya, makanya Husen dan Botok dianggap hero, karena mereka berdua bisa mengambil hati masyarakat. Pesan untuk bupati, bahwa perlu dipikir ulang untuk menjabat sebagai kepala daerah, sebab ada harga yang harus dibayarkan. Kita harapkan demo semua berjalan dengan tertib tidak ada anarkis,” ucapnya.

Meski begitu, ia menyayangkan pendekatan pemerintah yang mengerahkan aparat keamanan berlebihan.

“Bahkan demo yang terjadi ini masih menggunakan pendekatan Orde Baru, menganggap seolah rakyat sebagai musuh, yang dikerahkan security, padahal kita udah tolak pendekatan itu sejak Reformasi,” ungkapnya.

Menutup pernyataannya, Sucipto menganggap masyarakat Kabupaten Pati disakiti oleh kepala daerahnya.

Rasa sakit itu telah menimbulkan luka yang menganga, sehingga pilihannya mengevaluasi kinerja atau dilengserkan

“Harus melakukan perubahan secara radikal 180 derajat. Jadi apalagi ini ada luka, luka ini kan gak sekedar lecet, luka dalam, bukan hanya njarem, tapi menganga yang tidak mudah disembuhkan. Maka ketika luka sudah dalam menganga hingga membusuk, hanya ada kemungkinan, diobati intens atau diamputasi,” pungkas Sucipto.

Editor: Mila Candra 

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA

Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini