JEPARA – Mondes.co.id | Puasa Ramadan adalah hal yang dinanti-nantikan umat Islam di seluruh belahan dunia.
Ibadah puasa ini ternyata telah ada sebelum kenabian Muhammad SAW, termasuk di wilayah Jawa. Seperti apa puasanya?
Ketua Program Studi Kajian Sejarah S2 Unnes Mukhamad Shokeh, Ph.D mengungkapkan, puasa adalah salah satu ibadah yang sama tuanya dengan umur manusia di muka bumi.
Kaum yang telah ada sebelum kenabian Muhammad SAW sudah lama mengamalkan puasa. Namun, puasa mereka berbeda mengikuti kaumnya.
“Kaum Nasrani mengamalkan puasa, bedanya dilakukan 40 hari. Orang Yahudi juga berpuasa dengan cara lain. Sambil berbaring di atas pasir sambil mengingat kesalahan yang pernah dilakukan,” ungkap Mukhamad Shokeh, Sabtu (1/3/2025).
Sebagaimana ditulis M. Shokeh dalam bukunya berjudul Mozaik Peradaban Islam, Lampau, Kini dan Esok tahun 2024, tertulis awal mulanya puasa bulan Ramadan diamalkan ketika tahun kedua Hijriah.
“Tepatnya setelah Rasulullah SAW mengalihkan kiblat orang Islam dari Masjid Al Aqsa ke Masjidil Haram di Mekah, tanggal 10 Syakban,” kata dia.
Hal ini sebagaimana tertulis dalam Surah Al Baqarah, ayat 183 yang berbunyi “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar bertakwa”.
Bagi orang Jawa sebelum masuk Islam, sejak dulu sudah ada kewajiban berpuasa. Jika melihat dari serat Wulangreh tertulis “Padha gulangen ing kalbu ing sasmita amrih lantip aja pijer mangan nendra ing kaprawiran den kesti pesunen sariranira sudanen dhahar lan guling”.
Artinya berlatihlah mengasah kalbu agar kita menjadi waskita (atau arif). Jangan banyak makan dan tidur. Keperwiraan harus menjadi cita-cita. Latihlah dengan tekun dirimu dengan mengurangi makan dan tidur.
Kewajiban melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadan bagi orang Jawa tempo dulu, tidak dapat dipisahkan dari upaya melatih diri mengasah kalbu, memohon ridho Gusti Allah, agar diberi kewaskitaan atau kemampuan menebus hijab sebagai bekal mewujudkan cita-cita keperwiraan, hamemayu hayuning bawono, mensyukuri, melestarikan dan menjaga harmoni alam semesta dengan segenap isinya.
Masyarakat Jawa dalam sejarahnya memiliki tradisi bertapa dan berlatih menempa diri dengan banyak mengurangi makan dan tidur. Latihan seperti itu disebut “tirakat atau prihatin”. Dari asal kata perih atau pedihnya batin.
“Dengan berbagai jenis tirakat (termasuk puasa di dalamnya), Anak-anak Jawa dilatih ikut merasakan penderitaan rakyat kecil dan fakir miskin,” katanya.
Tirakat di samping membuat hati lembut penuh kasih sayang, sekaligus melatih tegar dan kokoh, dilatih tabah menghadapi tantangan.
Tirakat melatih hidup di tengah gemerlap pesona dunia, tetapi dapat membuat jarak dengannya, tidak mengikuti kebiasaan buruknya.
“Bagi orang Jawa puasa bukanlah sekedar perpindahan jam makan dan minum atau sebuah mekanisme untuk mengejar pahala semata. Namun, puasa merupakan proses pembersihan diri,” kata dia.
Setelah orang Jawa memeluk Islam, maka puasa menjadi bagian ibadah. Di dalamnya ada proses latihan menundukkan dan mengendalikan hawa nafsu, serta mengalahkan setan, khususnya setan yang berada di dalam diri manusia.
Oleh karena itu, puasa bukanlah sebuah tujuan, melainkan sarana meraih tujuan pribadi yang bertakwa.
“Bulan Ramadan bagi umat muslim di Jawa ibarat kawah candradimuka, yaitu bulan pendidikan dan latihan agar sebelas bulan berikutnya kita menjadi hamba Allah yang tangguh, ulet, sabar, senantiasa taat, dan tawakal,” kata dia.
Berpuasa dalam konteks kebiasaan orang Jawa masa kini telah terjadi pergeseran.
Orang berpuasa sudah bukan lagi untuk mendapatkan kesaktian seperti masa lampau.
Muslim Jawa menjalankan puasa tidak sebatas mengasah kebenaran, tetapi juga mencari bekal untuk kehidupan sejati, yaitu kehidupan setelah kematian.
Editor: Mila Candra
Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini
Tidak ada komentar