SEMARANG – Mondes.co.id | RUU Pilkada santer diperbincangkan, setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengajukan batas usia paling rendah calon gubernur adalah 30 tahun dan batas usia calon wali kota/bupati adalah 25 tahun ketika resmi dilantik.
Hal ini, tentunya bertentangan dengan aturan yang telah ditetapkan Mahkamah Konstitusi (MK), dan justru DPR malah abai.
Usaha pengesahan RUU Pilkada menjadi tugas dan kewenangan DPR, hanya saja berbagai pihak heran, mengapa pembahasan regulasi tersebut bak sulap.
Padahal jika melihat pembahasan RUU yang lain, cenderung membutuhkan waktu cukup panjang karena perlu kajian yang matang. Namun, berbeda dengan RUU Pilkada yang amat sangat cepat.
Menurut pandangan Guru Besar Antropologi Budaya Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik (FISIP) Universitas Negeri Semarang (UNNES), Prof. Dr. Tri Marhaeni Pudji Astuti, M. Hum., cepatnya pembahasan RUU Pilkada ini, ada logika yang tidak dipakai karena di balik banyaknya penolakan dari rakyat.
Proses pembahasannya hanya makan waktu sekitar tujuh jam. Waktu pembahasan RUU Pilkada pada Rabu, 21 Agustus 2024 yang sangat singkat, lantas menutup ruang bagi partisipasi publik untuk bisa mengawal penyusunan. Dilangsungkan usai putusan MK sehari sebelumnya.
“Kalau pembahasan RUU yang lain bertele-tele, tetapi di sisi lain, belum ada 24 jam RUU ini (RUU Pilkada) sudah disahkan. Ini merupakan logika yang kurang waras, maksudnya apa? Menurut saya tentu logika sangat dipertaruhkan, tanpa tendensi kami melihat RUU Pilkada ini tiba-tiba. Menurut saya, ada sesuatu entah apa dan ini tidak wajar, meski begitu saya tidak mau menjustifikasi,” ujarnya ketika dihubungi Mondes.co.id, Sabtu (24/8/2024).
Menggagalkan putusan MK sangat bertentangan pada konstitusi, ia mengira ada misi tertentu untuk menguntungkan salah satu pihak.
Sebagai akademisi, dirinya bersuara untuk kepentingan umum agar jejak-jejak kebijakan dan demokrasi tidak semakin runyam. Belum lagi, masyarakat sempat terluka akibat dipermainkan oleh keputusan MK ketika masa-masa Pemilihan Umum (Pemilu) beberapa bulan lalu.
“Setiap pemerintah membuat suatu aturan ada tujuannya, terlepas dari tujuan baik atau buruk. Menurut saya menggagalkan putusan MK, jadi misi yang menguntungkan siapa masyarakat sudah tahu, saya tidak menyebut nama dan partai. Kami sebagai akademisi bersuara untuk kepentingan umum agar arah kebijakan-kebijakan dan demokrasi tidak semakin runyam, kami berusaha bersuara,” tegasnya dengan lantang.
Ia memandang, masyarakat tak mau kecolongan kedua kalinya atas pembahasan aturan yang tertutup dan tiba-tiba ini. Masyarakat mulai berani, sehingga pengalaman majunya calon wakil presiden (Cawapres) di pesta demokrasi sebelumnya, membuat mereka menyadari ada yang mengotori kewarasan berpikir di negeri tercinta Indonesia.
“Ketika ada seseorang di bawah batas usia tiba-tiba jadi Cawapres, masyarakat kecolongan karena secara timeline pembahasan peraturan itu tiba-tiba, makanya kita tidak menyangka dan tidak sempat bergerak. Masyarakat tidak mau hal itu terjadi lagi, kini mereka melek,” ujarnya.
Dalam situasi seperti ini masyarakat dianggap bodoh oleh pemerintah, oleh karenanya pemerintah melakukan langkah apa saja demi mewujudkan keinginannya, padahal masyarakat sudah cerdas.
Buktinya pada Kamis, 22 Agustus 2024 kemarin, masyarakat di berbagai penjuru menolak pengesahan RUU Pilkada, fenomena ini menegaskan bahwa masyarakat memiliki power.
Ia menegaskan, kini masyarakat kritis menolak adanya RUU Pilkada yang membahayakan negara. Seketika DPR pun membatalkannya.
“RUU Pilkada harus dipertimbangkan, jangan anggap masyarakat bodoh, nanti kalau masyarakat bodoh pemerintahnya marah, padahal pemerintah berusaha membodohi masyarakat, kan lucu. DPR jelas paling bertanggung jawab atas disahkannya aturan tersebut, tetapi bersama pemerintah. Kalau aturan itu disahkan, maka ada aturan yang bertentangan dengan MK. Kita lihat saja, karena saya tidak bisa memprediksi,” ucapnya.
Para akademisi menilai, gejolak di masyarakat dalam bereaksi atas adanya kemunculan RUU Pilkada sangat murni dari hati nurani.
Akademisi senantiasa menyuarakan kegelisahan rakyat melalui arah petimbangan kebijakan pemerintah, serta tak pernah berhenti memberi pendidikan politik ke mahasiswa.
“Sebagai akademisi, saya tidak akan berhenti meski dianggap angin lalu, akademisi tetap menyuarakan dan memberikan pendidikan politik kepada mahasiswa, mana yang benar dan mana yang salah. Apalagi kini mahasiswa sudah bisa berpikir ada keanehan, mereka sudah mengerti. Kami lihat dan rasakan masyarakat bersuara bukan dorongan elit, tapi murni untuk keadilan dan kebenaran,” tuturnya.
Dirinya memandang, tergesa-gesanya pembahasan RUU Pilkada ada maksud tujuan tertentu. Bahkan, masyarakat umum mencoba mengaitkan dengan Pilkada Jawa Tengah, tetapi asumsi itu enggan ditanggapi, karena ranah akademisi bukanlah ke ranah praktik politik.
Selain itu, persoalan reshuffle Kabinet Indonesia Maju, menjadi hak prerogatif Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Kami tidak mau mengaitkan dengan Pilkada, terutama di Jateng, yang kami lihat tergesanya RUU Pilkada dibahas ada tujuan tertentu, saya tidak mau ke ranah praktik politik. Selain itu, bagi saya reshuffle hak prerogatif presiden, kecewa boleh, namun masyarakat tidak bisa apa-apa,” terangnya.
Ia mengatakan, para guru besar turut mengawal kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, termasuk RUU Pilkada ini. Mereka pun sudah mulai menyatakan sikap.
“Masyarakat kompak karena kecewa akibat logika yang tersakiti dan kewarasan yang tersakiti. Para komika, seniman, artis, akademisi, dan tokoh-tokoh sudah turun ke jalan jadi warning bagi pemerintah. Realitanya, akademisi kerap dianggap angin lalu yang diabaikan, ‘alah suara guru besar apa’, itu bisa bahaya untuk negara. Kalau kami tersakiti, kami sama akan bergerak dan kami sudah mulai menyatakan sikap,” pungkasnya.
Editor: Mila Candra
Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini
Tidak ada komentar