JEPARA – Mondes.co.id | Butuh komitmen bersama untuk mempertahankan rumah tangga.
Namun, dalam perjalanannya, kadang berbagai permasalahan muncul hingga menyebabkan perpecahan rumah tangga.
Akibatnya pasangan tersebut memutuskan untuk berpisah (bercerai).
Di Kabupaten Jepara, angka perceraian terus meningkat.
Dari jumlah kasus tersebut, banyak istri yang menggugat suaminya agar putus ikatan nikah.
Banyak faktor yang melatarbelakanginya, mulai faktor ekonomi, hingga perselingkuhan.
Berkaca dari tahun lalu, jumlah angka perceraian yang telah diputus di Pengadilan Agama Jepara tercatat sebanyak 147 kasus.
Sementara pada awal tahun Januari 2023 meningkat menjadi 157 kasus.
Pada bulan Januari, juga tercatat 257 kasus pengajuan perceraian di Pengadilan Agama Jepara yang terdiri dari cerai talak 48 kasus dan 209 kasus cerai gugat.
Dari 157 kasus perceraian, cerai talak 34 kasus atau 21,65 persen dan cerai gugat 123 kasus atau 78,34 persen.
Ketua Pengadilan Agama Jepara, Hendi Rustandi membenarkan tingginya prosentase angka perceraian yang diajukan oleh pihak istri.
Walaupun pada bulan Januari 2023 terdapat penurunan prosentase.
Namun ia menjelaskan, fenomena tingginya angka perceraian gugat yang diajukan oleh pihak istri ini juga terjadi di banyak daerah, bukan hanya Jepara.
“Ada sejumlah faktor penyebab perceraian. Namun tiga besar faktor penyebabnya perceraian tetap sama, yaitu perselisihan dan pertengkaran terus menerus, persoalan ekonomi dan meninggalkan salah satu pihak,” kata dia baru-baru ini.
Dari 157 kasus perceraian yang telah diputus di Pengadilan Agama Jepara tercatat 66 kasus perceraian karena perselisihan dan pertengkaran terus menerus, persoalan ekonomi 37 kasus dan meninggalkan salah satu pihak 22 kasus.
Disamping itu ada faktor penyebab madat tiga kasus, di hukum penjara dua kasus dan kekerasan dala rumah tangga satu kasus.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Unisnu Jepara dan Ketua Forum Kesetaraan dan Keadilan Gender Jepara Mayadina RM mengatakan, apapun faktor penyebab perceraian, seringkali pemicunya tidak tunggal alias kompleks.
“Dalam pandangan saya, fenomena tingginya angka perceraian di Jepara mengindikasikan lemahnya ketahanan (resiliensi) dan kesejahteraan keluarga,” kata dia.
Sebagai anggota masyarakat dan keluarga penting melakukan refleksi dan mawas diri.
Tak perlu melakukan ‘stigmatisasi’ terhadap orang lain yang mengalami perceraian.
Namun perlu mendorong upaya kolaboratif antara masyarakat, tokoh agama, tokoh masyarakat, pemerintah, lembaga pendidikan, perguruan tinggi dan berbagai mitra terkait untuk terus melakukan penguatan terhadap keluarga minimal sesuai dengan lima dimensi di atas. (Ar/Dr)
Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini
Tidak ada komentar