dirgahayu ri 80

Tradisi Lamporan, Kepercayaan Warisan Nenek Moyang untuk Tolak Bala di Pati

waktu baca 3 menit
Selasa, 2 Apr 2024 16:47 0 1001 Singgih Tri

PATI – Mondes.co.id | Sebagai tradisi tolak bala yang diwariskan oleh nenek moyang, setiap tahun di Kabupaten Pati ada sebuah tradisi unik yang dilakukan beberapa desa, tradisi ini dinamakan Lamporan.

Ketika menyaksikan sebuah tampilan unggahan video yang di-posting oleh warga Desa Gunungsari, Kecamatan Tlogowungu, tradisi lamporan berlangsung cukup sakral.

Terlihat sosok wanita anggun berjalan di tengah gelapnya malam dengan pandangan mata terpana. Wanita yang menari dengan dibalut pakaian berselendang kuning muncul di tengah keramaian.

Dalam arak-arakan itu, dua bidadari cantik nan menawan itu tampil dengan disorot cahaya lampu yang terang-benederang. Satu wanita dengan penampilan rambut diikat dan satunya mengenakan jilbab.

Salah seorang bertindak sebagai pengiring membawa obor bambu dengan api yang menyala. Adapun 10 bambu diikat dengan rotan supaya tak terpisahkan. Lalu dibakarlah obor tersebut di aspal.

Acara adat diiringi tabuhan alat musik khas pedesaan. Kentongan dan bedug saling bersahutan diikuti oleh tiga barongan yang berjalan memisah, masing-masing berwarna putih, hitam, dan kuning.

Arak-arakan diikuti oleh warga mulai dari pemuda sampai orang tua dengan mengelilingi desa sejauh 2,6 kilometer. Beberapa di antaranya membawa obor api.

Menurut keterangan warga setempat, lamporan menjadi bentuk ritual pengusiran energi gaib, terutama pengganggu binatang peliharaan warga di Desa Gunungsari.

”Lamporan sudah dari nenek moyang ini diadakan setiap tahun sekali. Tepatnya, malam Jumat Wage bulan Syuro. Berlangsung selama sepekan. Beberapa rangkaian acaranya mulai dari ruwatan, teater, lapak baca, dan menanam pohon,” ungkap warga bernama Waharto yang pernah bertindak selaku panitia acara Lamporan kepada Mondes.co.id, Selasa (2/4/2024).

BACA JUGA :  Pemetaan Transportasi di Rembang, Soroti Terminal hingga Trayek Angkutan

Sebelumnya, tradisi Lamporan diikuti oleh hanya warga yang memelihara binatang ternak, terutama sapi. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, seluruh warga ikut berpartisipasi.

Kini tradisi Lamporan mulai menyesuaikan perkembangan zaman, yang mana kearifan lokal diusung dengan balutan kesenian hiburan. Hal ini menyebabkan tradisi Lamporan semakin populer.

”Dalam perjalanan waktu, sudah ada berbagai macam kesenian daerah yang juga ikut ditampilkan. Yang terpenting adalah kekompakan antar warga. Tetap terjaga dan kegiatan gotong royong senantiasa terjalin dengan baik,” jelasnya.

Terpantau, saat ini tradisi Lamporan di Bumi Mina Tani tidak seeksis dahulu. Hanya ada tiga desa yang masih melestarikan tradisi nenek moyang ini.

”Saat ini yang masih melestarikan tiga desa itu, antara lain Gunungsari (Tlogowungu), Sonean (Margoyoso) dan Kedumult (Sukolilo),” sebut pengamat sejarah asal Kabupaten Pati, Ragil Haryo Yudiartanto.

Ia menegaskan bahwa tradisi Lamporan memiliki fokus utama yakni tolak bala. Namun, setiap desa mempunya versi berbeda-beda merayakannya.

“Intinya tradisi Lamporan itu ritual tolak bala. Tapi caranya yang berbeda-beda, tradisi lamporan itu biasanya di Bulan Suro dalam penanggalan Jawa,” tandasnya.

Editor: Mila Candra

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA

Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini