dirgahayu ri 80

Tradisi Kupatan Jadi Aksi Simbolik, Panggilan untuk Pemerintah Berpihak Pada Petani dan Alam Kendeng 

waktu baca 3 menit
Senin, 15 Apr 2024 20:32 0 876 Singgih Tri

REMBANG – Mondes.co.id | Petani yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) mengadakan ritual budaya Kupatan Kendeng bertempat di Desa Tegaldowo dan Desa Timbrangan, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang.

Kegiatan rutin ini dimulai dengan prosesi Temon Banyu Beras di Sumber Mata Air Brubulan dan Lamporan di Pisowanan pada hari Minggu, (14/4/2024) kemarin.

Acara berlanjut dengan arak-arakan atau mereka menyebutnya Dono Weweh Kupat Lepat pada Senin (15/4/2024).

Diketahui, tradisi yang dilakukan pada hari ke-5 Syawal mengusung tema “Kendeng Nguripi Kwalat Lamun Ora Ngopeni”.

Menurut JMPPK, tema tersebut menjadi refleksi bersama bahwa pasca relokasi industri secara masif ke Jawa Tengah yang kemudian diakomodir melalui Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah (PP) Proyek Strategis Nasional (PSN) serta aturan turunan lainnya, membuat salah satu provinsi penyumbang pangan terbesar nasional ini berada dalam kondisi kritis akut.

“Masifnya alih fungsi lahan-lahan produktif untuk kantong pabrik, Tol, dan pembangunan lainnya berdampak terhadap kebencanaan selama beberapa tahun terakhir ini. Terlebih untuk menyuplai kebutuhan pembangunan serakah tersebut, daerah tambang makin diperluas tidak terkecuali di Pegunungan Kendeng,” ujar Joko Prianto yang merupakan perwakilan JMPPK.

Keberadaan alih fungsi lahan besar-besaran menyebabkan datangnya bencana yang kian mengancam. Apalagi dalam waktu dekat, bencana banjir dan tanah longsor kerap mengintai Provinsi Jawa Tengah.

“Akibatnya bisa dirasakan sendiri, sejak akhir tahun 2023 dan awal tahun 2024 saja setidaknya berita banjir, rob, tanah longsor, dan bencana lainnya masif di pemberitaan maupun memenuhi timeline media sosial. Contoh kecilnya banjir bandang yang setidaknya tiga kali melumpuhkan Pantura khususnya di wilayah Demak-Kudus. Banjir ini bukan hanya berdampak terhadap putaran ekonomi saja, hilangnya ruang hidup masyarakat terdampak serta tergenangnya lahan-lahan persawahan membuat ancaman puso krisis pangan makin kerap terjadi di Jawa Tengah,” sambungnya.

BACA JUGA :  SD Kurang dari 120 Siswa, Sekolah Bakal Dilakukan Regrouping

Pihak JMPPK mempertanyakan langkah pencegahan yang komprehensif dari pemerintah atas kondisi tersebut melalui acara kupatan.

Disinggung pula adanya Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang pernah dijanjikan pemerintah pada 2017 silam.

“KLHS Pegunungan Kendeng ini komprehensif, dikarenakan sudah membaca bahwa eksploitasi yang akan dan telah terjadi adalah ancaman bagi ribuan sumber-sumber mata air abadi di dalamnya. Padahal yang bergantung pada keutuhan ketersediaan air bukan hanya petani tetapi seluruh rakyat di Rembang, Pati, Blora, Grobogan, dan wilayah lain serta semua makhluk yang ada di dalam ekosistem Kendeng,” sebutnya.

Selain itu, petani mendesak agar lahan-lahan produktif di Jawa Tengah terus dilindungi dengan kebijakan yang berpihak kepada para petani, seperti halnya kemudahan akses pupuk, bibit, dan harga pasar yang saling menguntungkan berbagai pihak.

“Melestarikan Pegunungan Kendeng, mengusir pabrik dan tambang menjadi hal yang mutlak wajib dieksekusi oleh pemerintah bersama dengan masyarakat,” tegasnya.

Editor: Mila Candra

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA

Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini