JEPARA – Mondes.co.id | Ribuan warga menyaksikan tradisi Jembul Tulakan, yang digelar di Desa Tulakan, Kecamatan Donorojo, pada Senin 5 Juni 2023.
Tradisi ini berkaitan erat dengan cerita kesetian para prajurit Ratu Kalinyamat, sang penguasa Jepara.
Keberhasilan warga masyarakat menjaga tradisi inis ecara turun-temurun berbuah manis.
Saat ini jembul Tulakan telah menjadi Warisan Budaya Takbenda bangsa Indonesia.
Petinggi Desa Tulakan Budi Sutrisno mengungkapkan, tradisi Jembul Tulakan ini bukan saja untuk nguri-uri budaya dan kearifan lokal desa Tulakan, tetapi juga untuk menggerakan perekonomian masyarakat.
“Juga pembelajaran karakter, penghormatan warga kepada pemimpin dan tokoh-tokoh yang telah berjasa dalam pembangunan desa,” katanya.
Dalam tradisi ini, tidak lepas dari kisah kesetiaan para pengawal Ratu Kalinyamat.
Sebagaimana Jembul yang tampil pertama ini berasal dari dukuh Krajan, tempat kediaman Ki Demang Barata yang kala itu merupakan pimpinan pemerintahan di kademangan tersebut.
Jembul ini mempunyai ciri khas berupa golek kayu atau patung yang diletakkan dipuncak gunungan.
Golek ini menggambarkan seorang tokoh bernama Sayyid Usman, seorang ulama yang ikut menyertai Ratu Kalinyamat bertapa di Siti Wangi.
“Jembul ini tidak leaps dari tokoh Sayyid usman, yang menyertai Ratu Kalinyamat bertapa di Siti Wangi,” kata dia.
Kedua, dengan diiringi gending Jembul Ngemplak yang meliputi dukuh Ngemplak, Tanggulasi dan Kedondong.
Jembul ini merupakan wujud dari penghargaan Ki Leboh kepala dukuh Ngemplak kepada Ki Barata yang telah mengijinkan membuka perdukuhan Ngemplak dan sekitarnya.
Pada gunungan jembul ini juga dipasang sebuah golek kayu atau patung yang menggambarkan Ki Suto Mangunjoyo, pimpinan prajurit yang mengawal Ratu Kalinyamat bertapa di hutan Alas Tuwo yang kini dikenal sebagai pertapaan Sonder.
Sonder ini, adalah tempat pertapan Ratu Kalinyamat, setelah Sultan Gadlirin, dibunuh oleh Arya Penangsang.
Ketiga, Jembul Winong menggambarkan penghargaan Ki Buntari kepada Ki Barata yang telah mengijinkan ia merintis membuka Dukuh Winong, Dung Pucung dan Dung Gayam.
Pada puncak gunungan jembul ini dipasang golek dari pelepah rumbia atau gabus yang merupakan wujud dari beberapa prajurit yang mengawal Ratu Kalinyamat.
Keempat, adalah Jembul Drojo merupakan penghargaan Ki Purwo kepada Ki Barata atas segala jasanya yang telah mengijinkan ia membuka pedukuhan Drojo.
Pada puncak gunungan jembul dipasang golek kayu atau patung yang mengambarkan seorang prajurit pilih tanding bernama Ki Leseh yang menyertai Ratu Kalinyamat bertapa.
Setelah semua jembul datang di depan panggung utama, maka ritual berikutnya adalah pertunjukan tari tayub.
Ini sebagai perlambang peristiwa saat para pimpinan padukuhan waktu menghadap Ratu Kalinyamat saat bertapa.
Setelah menyampaikan bulu bekti kemudian dipertunjukkan tari tayub.
Kemudian dilakukan prosesi mencuci atau “mijiki” kaki petinggi dengan air kembang setaman oleh semua perangkat desa.
Ini merupakan gambaran simbolis penghormatan kepada Ratu Kalinyamat pada masa lalu yang diberikan oleh para pimpinan padukuhan.
Namun dalam perkembangannya ritual ini sebagai lambang agar petinggi dalam memimpin desa selalu bersih sikap dan tindakannya.
Juga agar masyarakat dijauhkan dari malapetaka dan gangguan.
“Kami berharap melalui ritual pencucian kaki petinggi tersebut, desa Tulakan bersih dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh pemerintah dan agama,” katanya.
Usai kirab Jembul, dilanjutkan dengan selamatan sebagai ungkapan syukur dan doa kepada Tuhan agar masyarakat senantiasa hidup dalam ketentraman dan kesejahteraan.
Juga ucapan syukur atas segala rejeki yang diberikan disepanjang tahun.
Ritual berikutnya setelah itu adalah prosesi mengelilingi jembul sebanyak tiga kali putaran oleh petinggi disertai dengan perangkat desa dan para penari tayub.
Penari tayub ini melambangkan Nyi Roro Kuning, istri Ki Demang Barata yang sudah mendampingi Ki Demang dan mengelola harta kedemangan dengan baik.
Ritual ini sebagai lambang bahwa istri petinggi harus bisa menjadi pendamping suami dalam memimpin desa serta perlambang seorang petinggi atau perangkat harus senantiasa berada ditengah-tengah masyarakat yang dipimpinnya.
Setelah dilakukan inti dari upacara Jembul Tulakan, maka sebagai penutup dilakukan resikan yaitu kegiatan membersihkan tempat yang telah dipakai untuk melakukan Upacara.
Aktivitas ini dilakukan oleh warga masyarakat desa Tulakan secara beramai-ramai.
Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk pengusiran terhadap penyakit-penyakit dan kejahatan-kejahatan di desa Tulakan. (Ar/Dr)
Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini
Tidak ada komentar