JEPARA – Mondes.co.id | Batik Jepara dikembangkan oleh para Srikandi batik. Mulai dari masa Raden Ajeng Kartini, kemudian diteruskan kepada murid-muridnya di sekitar Pendopo Kabupaten Jepara, dan kini mulai dikembangkan di berbagai wilayah kecamatan di Jepara.
Selain Suyanti Jatmiko (Narendra Batik), Batik Jepara juga dikembangkan oleh Dewi Irawati (Batik Sekar). Perajin batik, yang tinggal di Jl. H.M Sahid Gang Kusuma 2, Panggang RT 1 RW 5 Jepara.
Ia menceritakan, awal mula menekuni batik Jepara ini. Dewi Irawati juga memiliki galery batik di kawasan patung Mulyoharjo.
Berbagai koleksi batik dari harga ratusan ribu hingga jutaan rupiah tersedia di galerinya.
Mulai tahun 2010, ia mencoba untuk mengembangkan karya batik bersama Suyanti Jatmiko. Bahkan Ia belajar memperkaya ilmu batiknya ke kampung batik Semarang, Yogyakarta, Solo, dan Pekalongan yang merupakan daerah penghasil batik ternama.
Upaya tersebut dilakukan untuk membuat batik karyanya lebih berkualitas.
“Saya banyak belajar dari senior-senior batik. Termasuk belajar ke sejumlah daerah,” ungkap Dewi Irawati, kemarin.
Bagi Dewi Irawati, membatik ini merupakan sebuah proses relaksasi. Ada ketenangan-ketanangan jiwa yang ia dapatkan saat melakukan proses membatik.
Hasil karya batik yang dibuat pembatik, juga dipengaruhi dengan perasaan yang saat itu mereka rasakan. Jika saat membatik dalam perasaan bahagia, tentu hasil yang didapat akan menjadi karya yang memancarkan pesona.
Namun, sebaliknya, jika saat pembatik dalam kondisi sedih atau kacau, tentu karya yang dihasilkan tidak akan maksimal.
“Sehingga penting bagi pembatik ini, saat menggoreskan canting di permukaan kain, harus dalam kondisi tenang, dan bahagia,” kata dia.
Selain dirinya dan Suyanti Jatmiko, yang sudah menjadi pakar batik Jepara. Juga ada rekannya yang lain Tina dan Lisa, yang ikut andil mengembangkan batik Jepara.
Pihak pemerintah daerah melalui Dinas UMKM Jepara, intensif melakukan pembinaan bagi para perajin batik di Jepara.
Menurut Ira, batik Jepara mempunyai spesifikasi dan berbeda dengan batik yang dikembangkan di Solo, Yogyakarta, Pekalongan, atau daerah penghasil batik lainnya.
Batik Jepara memiliki ciri khusus dan terdapat unsur filosofis di dalamnya.
Batik Jepara merupakan karya masyarakat yang lahir dan berkembang di Jepara.
Ada dua jenis batik Jepara. Pertama, batik dengan tema ukir-ukiran khas Jepara. Batik ini, sama halnya dengan motif atau ragam hias ukir di Jepara.
Kedua, batik Kartini. Batik Kartini ini, merupakan batik kasil karya R.A Kartini di Jepara. Batik ini muncul saat Kartini mengajarkan putri daerah Jepara, di belakang pendopo Kabupaten.
Berdasarkan klasifikasi, batik Kartini merupakan batik pengaruh keraton. Karena Jepara merupakan kabupaten/kota yang memiliki hubungan dengan Keraton Mataram di Yogyakarta.
Meskipun Jepara berada di wilayah pesisir utara Jawa, bukan berarti batik yang dihasilkan Kartini merupakan batik berciri pesisiran.
Akan tetapi, batik yang dihasilkan Kartini ini, adalah batik berlatar belakang keraton Mataram, dengan motif yang menyesuaikan lingkungan alam sekitar Jepara, dan pergaulan Kartini.
Motif yang muncul antara lain, lung hitam sogan, kombinasi tumbuhan merambat dengan hewan gajah, elang, bimo, kurdo, sido arum, dan lainnya.
Sedangkan batik dengan tema ukiran Jepara, sudah lama ada di Jepara. Seperti parang poro, lung-lungan, kembang setaman, dan lain-lain.
Proses regenerasi batik Jepara, kata Ira tidak lepas dari pengajaran yang dilakukan R.A Kartini di belakang Pendopo Kabupaten Jepara.
Dengan saudara perempuannya, Kartini mengajari anak-anak Jepara. Selain membaca, mereka juga dilatih untuk membatik.
Satu hal yang diharapkan Dewi Irawati adalah pengkaderan. Ada generasi muda yang ingin mengembangkan batik.
Jika tidak ada generasi penerus yang belajar membatik, ini akan menjadi sangat berbahaya bagi keberlangsung batik Jepara.
Sebagai pelaku batik, Dewi Irawati tidak pelit ilmu. Ia membuka lebar siapa saja yang ingin belajar membatik kepada dirinya. Ia juga sudah menyiapkan kelas-kelas khusus, bagi mereka yang ingin belajar.
Bahkan beberapa waktu lalu, ia sering mendapatkan kunjungan dari sekolah-sekolah lokal, bahkan dari luar daerah. Meraka sangat antusias dan tertarik untuk belajar batik Jepara.
Memang, untuk belajar membatik tidak bisa dilakukan secara instan. Butuh waktu dan kesabaran. Namun, apapun yang dilakukan atau dikerjakan pasti akan membuahkan hasil.
“Jika hanya sekedar bisa membatik, setidaknya butuh waktu belajar sekitar 10 hari intensif. Namun, jika ingin belajar lebih dalam, setidaknya butuh waktu sebulan bahkan lebih. Tergantung kemampuan dari masing-masing orangnya,” kata dia.
Saat ini, sudah ada lebih dari 30 orang yang mengantongi sertifikat sebagai pembatik tulis di Jepara. Tahun ini, (2024), akan diusulkan kembali sebanyak 15 perajin batik.
Sedangkan untuk tempat, ada sekitar 30 galery di Jepara yang memproduksi batik Jepara.
Ini artinya, pasar batik Jepara masih terbuka lebar. Meksipun saat ini, 80 persen masih didominasi oleh penjualan lokal.
Biasanya untuk seragam Aparatur Sipil negara (ASN), dan lembaga perkantoran yang ada di Jepara, termasuk perusahaan swasta. Ke luar daerah juga ada, namun jumlahnya tidak begitu banyak.
Batik tulis Jepara ini, dijual dengan harga antara Rp500 ribu hingga Rp2,5 juta rupiah. Tergantung kerumitan motif.
Sedangkan untuk kombinasi tulis dan cap, dijual dengan harga antara Rp200 hingga Rp300 ribu. Lalu untuk batik yang cap dijual Rp135 ribu sampai Rp170 ribu.
Dewi Irawati berharap, batik Jepara ini bisa terus lestari. Menurutnya, prospek ke depan industri batik Jepara masih terbuka lebar.
Sehingga, para pelaku batik di Jepara tidak perlu khawatir, akan masa depan batik Jepara. Ia juga berharap, Jepara memiliki museum batik untuk bisa diwariskan ke generasi mendatang.
Tepat jika batik ini, menjadi Warisan Budaya Tak bedna (WBTB), sebagai karya masyarakat Jepara yang patut dilestarikan.
Editor: Mila Candra
Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini
Tidak ada komentar