Ternyata Pesta Lomban Jepara Tercatat dalam Jurnal Hindia Belanda Tahun 1868

waktu baca 5 menit
Sabtu, 29 Apr 2023 07:36 0 1201 mondes

JEPARA – Mondes.co.id | Pesta Lomban Jepara ini sudah ada sejak ratsuan tahun silam. Bahkan tradisi masyarakat nelayan ini tercatat dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie (TNI) atau Jurnal Hindia Belanda yang terbit pada tahun 1868.

Judul artikel dalam TNI ini adalah Het Loemban Feest Te Japara atau Kegiatan pada Lomban di Jepara.

Jurnal ini juga menyebutkan, pesta lomban yang berasal dari Jepara tidak pernah terdengar di tempat lain.

Artinya bahwa pada tahun 1868, Pesta lomban di Jepara adalah satu-satunya pesta lomban di pesisir pantai.

Tradisi atau Pesta Lomban inilah yang sampai sekarang dilestarikan oleh masyarakat Jepara.

Sebelum tahun 1868, Pesta Lomban sudah digelar oleh masyarakat Jepara.

Berdasarkan cerita tutur, larungan sesaji ini telah dimulai saat Adipati Citrosomo VII berkuasa.

Ia menjabat sebagai penguasa Jepara sejak tahun 1837 hingga 1857.

Diceritakan Penjabat Bupati Jepara Edy Supriyanta, Sabtu 29April 2023, larungan sesaji ini konon bermula dari kisah dua pejabat kadipaten Jepara yang akan ke Karimunjawa pada tahun 1855.

Mereka naik perahu dari Teluk Jepara.

Namun setelah berlayar beberapa waktu, datang badai yang sangat besar yang membuat perahu mereka terombang-ambing.

Beruntung Ki Ronggo Mulyo dan Cik Lanang mengetahui peristiwa tersebut dan keduanya segera memberikan pertolongan hingga kedua pejabat tersebut berhasil diselamatkan dari amukan badai.

Mereka kemudian menyelenggarakan syukuran dengan melarung sesaji ke laut.

Larungan sesaji itu kemudian menjadi sebuah acara tahunan yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat dengan nama Lomban.

BACA JUGA :  Toleransi Kebaktian Kenaikan Yesus di Gereja Berbagi Kanopi dengan Masjid

Bahkan 13 tahun kemudian yaitu tahun 1868, acara tersebut telah ramai dan dikunjungi bukan saja masyarakat Jepara tetapi juga dari Rembang, Juana dan Demak.

Dr Alamsyah, M.Hum Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro dalam penelitiannya berjudul Budaya Syawalan atau Lomban di Jepara Studi Komparasi Akhir Abad Ke–19 dan Tahun 2013 menguraikan, catatan tentang lomban yang ada Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie (TNI) atau Jurnal Hindia Belanda Dalam tulisan yang berjudul Het Loemban Feest Te Japara tahun 1868 digambarkan saat lomban perahu-perahu yang terlibat dalam kegiatan tersebut dihiasi dengan indah.

Pada lunas depan, belakang, dan tiang perahu dihiasi dengan rangkaian bunga pandan, kenanga, soka, dan ketupat yang saling terikat.

Selanjutnya orang menggantungkannya dengan bendera atau panji yang terbuat dari kain dan selendang dengan berbagai warna.

Umumnya bendera atau panji ini berwarna hijau.

Beberapa orang menempatkan sebuah boneka seperti manusia di lunas depan perahu.

Boneka ini disebut kedawangan, yang terbuat dari kedobos atau tulang daun nibung, yang juga digunakan bagi sangkar burung.

Selain itu berbagai perahu di Jepara dihiasi dengan boreh.

Boreh adalah sejenis adonan cat yang berwarna kuning.

Pada kegiatan lomban ini masyarakat memasak ketupat yang dikemas secara khusus.

Selain ketupat juga ada telur itik, kolang-kaling atau buah pohon aren yang berwarna hijau dan bulat.

Seluruh keranjang penuh ketupat diangkut dengan perahu.

Ketupat, telur itik, dan kolang-kaling digunakan dalam prosesi saling lempar-melempar.

Telur yang busuk digunakan untuk saling lempar dan menyebarkan bau tidak sedap.

Begitu pula kolang-kaling yang digunakan dapat menyebabkan gatal-gatal di kulit atau rasa terbakar karena terkena sentuhan getah.

Permainan ini masih dilakukan oleh orang secara sembunyi-sembunyi.

BACA JUGA :  Polisi Hadang Suporter Persijap yang Hendak ke Lamongan

Sementara itu kaum wanita harus menyiapkan makanan yang diperlukan.

Makanan yang disiapkan kebanyakan terdiri atas lauk-pauk dan serbat.

Oleh para petinggi atau kepala desa, sejumlah besar ketupat disampaikan sebagai hadiah bagi pesta kepada bupati.

Para kepala desa mengiringi bupati sebagai pengiring, ke tempat acara digelar yaitu di Pulau Teluk

Dalam kegiatan ini bupati membawa dua belas payung atau penyekat dari bambu yang beroda.

Kendaraan ini dilumuri dengan kapur dan kadang-kadang ditandai dengan gambar harimau, naga, dan ikan (TNI, 1868: 87).

Beberapa orang membawa serta gamelan dalam perahu. Bupati biasanya memiliki gamelan termahal dan termerdu.

Bupati, kepala desa, dan masyarakat berlayar dengan iringan tabuh giro, musik Jawa, menyusuri sungai Jepara sampai laut.

Sesampai di laut, dalam waktu singkat ratusan perahu yang penuh dengan muatan manusia berada di atas air yang jernih.

Mereka berada di segala arah dan berteriak ramai-ramai sambil terus berlayar.

Perjalanan ini mencapai pulau yang jauh yaitu Pulau Panjang dan Pulau Tengah.

Dalam pelayaran ke Pulau tersebut, warga saling bercanda ancaman dan gurauan, saling mengejar, saling melempar dengan sebagian ketupat, telor kotor dan kolang-kaling, menembak dengan pistol yang berpeluru kosong dan petasan Cina.

Mereka terus berpesta hingga waktunya tiba untuk makan bersama. Ketika sampai di pantai pulau Encik Lanang ini orang singgah, memasak dan membakar ikan atau membeli makanan pada pedagang keliling (TNI, 1868: 88).

Pada hari pelaksanaan pesta lomban ini meskipun tidak ada pasar di Jepara, tetapi banyak kedai dan penjaja buah, lauk-pauk, minuman, dan barang dagangan yang lain berangkat ke tempat perlombaan.

Setelah melaksanakan makan siang, warga berziarah ke makam Melayu yang ditemukan di pulau itu.

BACA JUGA :  Jadi Bahan Olokan, Penjual Salad Nekat Habisi Nyawa Tetangga

Di tempat pemakaman ini, warga berdoa, meletakkan bunga dan dupa.

Sementara itu dua belas penyekat bambu dipasang dalam sebuah lingkaran.

Bupati bersama beberapa orang Eropa, bangsawan Jawa, dan keluarganya duduk di sebuah pendopo yang telah dirancang sebagai tempat beristirahat dan tempat menikmati pesta. Persediaan ketupat disiapkan.

Beberapa bangsawan duduk di belakang pelindung atau aling-alingan. Yang lain berlindung dengan perisai bulat.

Pertandingan dimulai dengan ditandai ribuan telor dan ketupat dilemparkan ke udara. Telor dan ketupat berjatuhan di semua tempat.

Warga yang mengikuti pesta ini berlarian mencari kolang-kaling (TNI, 1868: 88).

Kegiatan akan selesai ketika bupati memberikan tanda berhenti.

Ketika kegiatan di Pulau ini selesai, semua orang kembali menuju kapal dan berlayar atau berdayung ke daratan di Jepara.

Proses kembalinya ke daratan ini iringan bunyi gamelan.

Menjelang pukul tiga sore, semua aktivitas selesai dan tidak ada bekas yang menandakan keramaian kegiatan bada lomban.

Demikian sepenggal cerita Pesta Lomban, yang sampai sekarang terus dilestarikan masyarakat nelayan Jepara.

Bagi mereka yang bekerja luar kota, belum akan kembali ke perantauan sebelum Pesta Lomban digelar.

Mereka percaya, Pesta Lomban ini memberikan keberkahan bagi seluruh masyarakat Jepara. (Ar/Dr)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA

Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini