REMBANG – Mondes.co.id | Sejak tahun 2009, sebuah kebijakan tak tertulis namun mengakar kuat di industri telekomunikasi Indonesia, terus menjadi momok bagi konsumen.
Salah satunya terkait hangusnya sisa kuota internet setelah masa berlaku habis.
Praktik ini yang telah berlangsung lebih dari satu dekade, memunculkan pertanyaan mendasar yang tak kunjung terjawab.
Ke mana perginya sisa kuota yang telah dibayar lunas oleh pelanggan?
Bayangkan skenario ini, misalnya seorang pengguna membeli paket data 100 GB seharga Rp150.000 untuk 30 hari.
Menjelang akhir periode, misalnya pada hari ke-30 lewat tengah malam, sisa kuota masih 30 GB.
Namun, alih-alih bisa digunakan atau diakumulasikan ke bulan berikutnya, sisa kuota tersebut lenyap begitu saja.
Miliaran gigabyte kuota yang telah dibeli dengan susah payah oleh rakyat Indonesia menguap entah ke mana setiap bulannya.
Menurut catatan sejumlah pengamat, kerugian konsumen akibat praktik ini diperkirakan mencapai angka fantastis, sekitar Rp63 triliun setiap tahun.
Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan representasi dari uang rakyat yang terbuang sia-sia, mengalir ke kantong siapa dan tanpa pertanggungjawaban yang jelas.
Tak cukup sampai di situ, manipulasi digital yang lebih canggih kini kian marak.
Seperti diungkapkan oleh sebuah akun di media sosial yang menjelajahi “zona paramistis”.
“Praktik pembelian paket data seringkali tidak sesuai dengan kenyataan pemakaian. Misalnya kita beli paket 10 GB, yang betul-betul kita pakai itu cuma 2 GB, yang sisanya itu dipecah menjadi kuota malam, kuota lokal, kuota aplikasi,” keluhnya.
Pembagian kuota menjadi berbagai jenis ini, seperti kuota malam yang hanya bisa digunakan di jam-jam tertentu.
Kemudian, kuota lokal yang terbatas pada area geografis tertentu, atau kuota aplikasi yang hanya berlaku untuk aplikasi tertentu, seringkali membuat konsumen merasa tercekik.
Kuota yang dibeli secara penuh menjadi terfragmentasi dan sulit digunakan secara optimal.
Ini bukan hanya menimbulkan kebingungan, tetapi juga secara efektif mengurangi nilai dari paket yang telah dibeli.
“Ini termasuk manipulasi digital bukan?” tanyanya, menyiratkan keresahan mendalam atas praktik yang merugikan ini.
Di tempat berbeda juga diungkapkan pemakai layanan ini, yakni Rian yang merupakan warga asal Rembang.
“Aku sendiri penggunaan kuota 1 rumah 6 HP, bayangkan saja satu HP biasa beli kuota dengan harga Rp70 ribu dikali 6 dan perbulan mencapai Rp420 perbulan untuk kuota saja,” jelasnya.
Bahkan, jika kuota utama sudah habis, ia terpaksa membeli lagi. Sehingga dalam sebulan bisa membeli dua kali.
“Tak hanya sampai di situ, terkadang kuota utama habis sudah lemot buat buka Sosmed, terpaksa belum ada satu bulan beli 2 kali. Kuharap ada kebijakan dari pihak penyedia layanan. Jumlah kuota jangan dibagi-bagi dan sisa kuota bisa digunakan lagi,” sarannya.
Ia pun menilai perlu adanya relugasi sisa kuota.
“Sudah saatnya hadir melindungi rakyat dari semacam pemerasan digital. Sudah saatnya ada regulasi kuota sisa harus bisa dipakai lagi atau dikembalikan dalam bentuk lain,” harapnya.
Harapan akan regulasi yang jelas dan tegas menjadi fokus utama.
Konsumen berharap ada aturan yang mewajibkan sisa kuota dapat diakumulasikan ke periode berikutnya, atau setidaknya dikembalikan dalam bentuk kompensasi lain yang adil.
Transparansi dalam penggunaan kuota dan larangan praktik pembagian kuota yang membingungkan juga menjadi tuntutan utama.
Kerugian kolektif sebesar Rp63 triliun per tahun adalah angka yang tidak bisa diabaikan.
Ini adalah indikasi kuat bahwa pasar telekomunikasi di Indonesia memerlukan intervensi serius untuk memastikan keadilan dan perlindungan bagi konsumen.
Pertanyaannya kini, akankah pemerintah dan regulator bertindak untuk menghentikan praktik yang merugikan ini, ataukah miliaran gigabyte kuota akan terus menguap begitu saja.
Editor: Mila Candra
Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini
Tidak ada komentar