Selain Polisi, Sutamto Ternyata Mantan Wasit Liga Indonesia yang Tegas

waktu baca 5 menit
Sabtu, 31 Mei 2025 08:53 0 272 Singgih Tri

PATI – Mondes.co.id | Kompol (Purn) Sutamto, seorang pensiunan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) ini memiliki kisah menarik yang layak untuk disimak, terutama bagi penggila bola.

DBHCHT TRENGGALEK

Pria kelahiran Kabupaten Gunungkidul 58 tahun yang lalu itu merupakan sosok yang berkecimpung di dunia olahraga, khususnya sepak bola.

Sutamto berkecimpung di dunia olahraga selama puluhan tahun, dengan merasakan atmosfer sebagai pemain dan wasit sepak bola.

Lulusan Sekolah Guru Olahraga (SGO) Bengkulu itu sebelum menjadi polisi, pernah menjadi pesepak bola profesional di Persatuan Sepakbola (PS) Bengkulu.

“Awalnya saya masuk SGO, di sana tidak ada hari tanpa olahraga, karena saya tergugah untuk olahraga biar sehat dan prestasi. Waktu itu guru-guru SGO, mantan atlet, wasit takraw, wasit judo, wasit tinju, dan saya sempat tertekan di situ,” ungkapnya saat ditemui awak media.

Debut pertamanya pada turnamen antar pelajar se-Pulau Sumatera mewakili Provinsi Bengkulu pada 1986 di Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan.

Berangkat dari situlah, performanya dilirik dan menghantarkannya ke level nasional.

“Saya main di turnamen SGO antar pelajar Sumatera, saya membawa bendera Bengkulu tahun 1986, pertama kali main di Palembang. Kelihatan saya jadi pemain bola dinilai baik oleh senior,” ucapnya.

Ia kemudian menjadi pemain profesional di PS Bengkulu dalam kancah persepakbolaan regional dan nasional.

Namun, singkat waktu ia banting setir menjadi wasit sepak bola ketika mendapat panggilan ikut kursus wasit di Provinsi Bengkulu.

BACA JUGA :  Audiensi Petani Pundenrejo dengan PT LPI Berakhir Gamang

Kala itu, hanya Sutamto satu-satunya orang SGO yang memilih pelatihan wasit.

“Akhirnya SGO kelas 2 dipanggil kursus penataran wasit, kebetulan Bengkulu ada tiga wasit berlisensi FIFA yaitu Mark Jonathan dari Polandia, Zulkifli Chaniago, Aan Setiawan. Saya tergugah jadi wasit, dan di SGO satu-satunya berani jadi wasit hanya saya, sehingga ada pertandingan antar pelajar saya yang mimpin,” jelasnya.

Di tengah profesinya menjadi pengadil pertandingan, ia berkesempatan meniti karir di dunia kepolisian, karena usai lulus dari SGO malah tak ada keinginan menjadi guru olahraga.

Kemudian, ia menjalani pendidikan kepolisian di Jakarta Timur (Jaktim), dan akhirnya ditempatkan di Kabupaten Pati pada Satuan Brigadir Mobile (Brimob).

“Saat ditanya mau jadi pemain apa wasit, saya putuskan menjadi wasit. Dan menariknya, saya juga gak mau jadi guru olahraga,” tuturnya.

Kala pendidikan, ada 22 orang yang masih aktif bermain di sepak bola, termasuk Sutamto.

Pada 1990-an ia pun akhrinya ditugaskan secara resmi di satuan.

“Saya dikarantina di Jaktim untuk jadi aparat, saya masuk polisi, Alhamdulilah. Saat itu banyak yang mempertanyakan karena KTP (Kartu Tanda Penduduk) saya Yogyakarta tetapi ijazah saya lulusan SGO Bengkulu,” imbuh Sutamto.

Kembali ke Pulau Jawa, sertifikat wasitnya pun tak berlaku, karena sebelumnya ia mengenakan sertifikat wasit Provinsi Jawa Tengah.

Ia mengikuti penataran wasit hingga menjadikannya wasit resmi di kasta tertinggi Liga Indonesia, saat itu bernama Liga Dunhill pada 1994.

“Karena di Jawa Tengah harus ada persamaan, ikutlah lagi penataran sehingga mengulanginya. Saya kemudian jadi wasit nasional memimpin pertandingan Liga Dunhull musim 1994, tepat setelah Era Perserikatan dan Era Galatama,” jelasnya.

Selama berkecimpung di dunia pengadil lapangan profesional, setiap tahun wajib mengikuti penyegaran di ibukota.

BACA JUGA :  DPRD Pati Kedatangan Anggota Baru, Ulin Nuha Sah Gantikan Sosok Almarhum Darbi

Setiap penyegaran ia selalu lolos, hingga prestasi terbaiknya masuk delapan besar wasit terbaik nasional.

Perlu diketahui, Sutamto menjadi wasit selama 18 tahun. Ia mendedikasikan diri sebagai pengadil hingga tahun 2012, dan menutup karir wasitnya pada tahun tersebut sebagai pengawas wasit.

“Tiap tahun saya lolos penyegaran, ada juga yang gak lolos. Saya 18 tahun jadi wasit dari 1994 sampai 2012. Dua tahun terakhir jadi pengawas wasit di setiap pertandingan,” terang Sutamto.

Selama menjadi wasit ia mengantongi lisensi AFF, beberapa kali memimpin berjalannya laga dengan penuh dinamika.

Bahkan, sempat beberapa kali digugat pihak tim karena tidak terima dengan sikapnya yang tegas sebagai wasit.

Ia berhadapan dengan Komisi Disiplin (Komdis) Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) untuk dimintai pertanggungjawaban, menariknya Sutamto selalu menang di persidangan.

“Saya di Depok, ada pemain Persatuan Sepakbola Indonesia Kabupaten Depok (Persikad) ada yang gak terima kena kartu merah, hingga sampai si pemain diskors dan dipulangkan ke negaranya. Kemudian saya disidang di Jakarta karena waktu itu memimpin Persatuan Sepakbola Indonesia Semarang (PSIS) versis Persatuan Sepakbola Makassar (PSM), tuan rumah kalah. Ketika dibawa persidangan saya menang,” ujarnya.

Ia menegaskan, selalu mendapatkan tugas memimpin pertandingan di Liga Indonesia kasta tertinggi.

Rekan seangkatannya seperti Purwanto, Jimmy Napitupulu, dan lain sebagainya sempat menjadi koleganya.

Selama berkarir, beragam ancaman sering ia dapati dari tim-tim tertentu, bahkan saat memimpin pertandingan di Kalimantan Timur ia sampai diteror oleh suporter salah satu tim asal wilayah sana, hingga ia terpaksa tidur di bandara setempat. Sungguh berbahayanya pekerjaan sebagai wasit.

Di sisi lain, tawaran match fixing juga menghinggap. Namun, demi mewujudkan nilai sportivitas, maka hal tersebut ditolaknya dengan tegas.

BACA JUGA :  Seni Tari di Pati Punya Potensi Besar, Sudewo Minta Disdikbud Datangkan Pelatih dari ISI dan STSI

“Saya lisensi AFF memimpin pertandingan luar negeri belum, tetapi pertandingan panas partai besar saya hadapi ketika Persija, Persebaya, Persib, Arema, Persik, Ujung Pandang (Makassar), Bolaang Mongondow (Persibom). Saya hampir selalu memimpin pertandingan besar yang mana tim tuan rumah dikalahkan oleh tim tamu, betapa mencekamnya suasana setelah pertandingan di luar,” bebernya berbagi pengalaman.

Menurutnya, tugas menjadi wasit adalah kebanggaan karena kepercayaan yang ia terima.

Bagi Sutamto, semua kebanggaan bukan karena sekedar uang. Maka dari itu, ia bersama para wasit sangat bangga dengan profesi itu, hingga menentang kebijakan penggunaan wasit asing.

“Saya paling terkesan masuk delapan besar prestasi wasit terbaik, jadi tugas adalah kebanggaan utama, bukan uang. Kalau sudah dapat tugas rasanya bangga dikasih kepercayaan. Dulu angkatan saya tidak pernah makai wasit asing, kalau ada wasit asing kita berhenti saja,” tegasnya.

Pria yang saat ini tinggal di Karangdowo itu mengatakan, kunci utama menjadi wasit yaitu mengendalikan psikologis pemain di lapangan.

Ketika pemain sudah bisa dikontrol, maka wasit akan menegakkan keadilan di lapangan secara leluasa.

“Kunci utama saya jadi wasit, kalau pemain ribut tidak bisa dikendalikan panggil namanya, maka langsung tergugah hatinya. Seperti BP (Bambang Pamungkas), Kurniawan Dwi Julianto, Boaz Solossa ketemu saya nunduk,” pungkasnya.

Editor: Mila Candra

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA

Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini