REMBANG – Mondes.co.id | Pernikahan merupakan momen sakral yang dirayakan dengan beragam tradisi unik di berbagai belahan dunia.
Di Jawa, salah satu tradisi yang menarik perhatian adalah konsep “pring sedapur”. Istilah ini merujuk pada pasangan calon pengantin yang memiliki weton hari lahir Minggu Pon (12) bertemu pasangan yang juga Minggu Pon (12) yang sama persis.
Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, weton memiliki peran penting dalam menentukan karakter seseorang, termasuk kompatibilitas dalam hubungan.
Pasangan pring sedapur dianggap memiliki ikatan batin yang sangat kuat, namun di sisi lain juga diyakini membawa sejumlah konsekuensi yang kurang baik bagi kehidupan rumah tangga keduanya.
Konsep pring sedapur ini berakar dari pandangan bahwa kesamaan terlalu ekstrem, dapat menimbulkan ketidakseimbangan dan konflik dalam hubungan.
Mbah Wagiman, warga Rembang yang merupakan pakar pretung menjelaskan, bahwa tradisi ini sarat akan makna.
“Sebenarnya satuan pernikahan pring sedapur mengandung nasehat, coba amati pring (bambu) yang tumbuh satu dapuran (satu tempat), pasti saling bersenggolan ketika diterpa angin, bahkan menimbulkan gesekan, tapi dengan adanya bambu lain yang tumbuh, justru makin kuat jika diterpa angin,” ujarnya.
Pasangan dengan weton yang sama dianggap cenderung memiliki sifat yang serupa, sehingga sulit bagi mereka untuk saling melengkapi dan menemukan dinamika yang sehat dalam pernikahan.
Tradisi pring sedapur ini telah menjadi topik perdebatan yang panjang di kalangan masyarakat Jawa. Ada yang masih mempercayai sepenuhnya akan dampak buruk dari pernikahan pring sedapur, sementara yang lainnya menganggap bahwa itu hanyalah mitos belaka.
Mereka yang mendukung kepercayaan ini berargumen bahwa banyak pasangan pring sedapur yang mengalami kesulitan dalam pernikahan, seperti sering bertengkar, sulit mencapai kesepakatan, atau bahkan berujung pada perceraian.
Mereka percaya bahwa weton memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap kehidupan seseorang, sehingga tidak bisa diabaikan begitu saja.
Di sisi lain, banyak juga yang skeptis terhadap kepercayaan ini. Mereka berpendapat bahwa keberhasilan sebuah pernikahan tidak hanya ditentukan oleh weton, tetapi juga oleh faktor-faktor lain seperti komunikasi, komitmen, dan dukungan keluarga.
Mereka menganggap bahwa kepercayaan pada pring sedapur dapat menjadi penghalang bagi pasangan yang ingin menikah, padahal mereka sebenarnya memiliki perasaan yang tulus satu sama lain.
Dari sudut pandang psikologi, konsep pring sedapur dapat dikaitkan dengan teori tentang kepribadian dan dinamika hubungan interpersonal.
Kesamaan yang terlalu ekstrem memang dapat menimbulkan tantangan dalam sebuah hubungan, karena kurangnya perbedaan dapat membatasi pertumbuhan dan perkembangan individu.
Ia juga menjelaskan, begitu pula dengan pengantin yang jatuh pring sedapur (bambu satu tempat).
“Diharapkan ketika terjadi perbedaan pendapat meski tujuannya sama, ketika diterpa ujian diharapakan bisa saling menguatkan layaknya pring sedapur (bambu satu tempat),” tambahnya.
Sementara itu, dari perspektif sosiologi, kepercayaan pada pring sedapur dapat dipandang sebagai bentuk kontrol sosial.
Tradisi ini dapat berfungsi untuk menjaga stabilitas dan harmoni dalam masyarakat dengan cara mengatur perilaku pernikahan.
Pada era modern ini, kepercayaan pada pring sedapur semakin terkikis oleh pengaruh globalisasi dan modernisasi.
Banyak pasangan muda yang lebih memilih untuk mengandalkan perasaan dan logika dalam mengambil keputusan untuk menikah, daripada terpaku pada tradisi yang sudah ada sejak lama.
“Aku sendiri satuan pring sedapur mas, tapi gak ada masalah selama pernikahan, ya wajar berbeda pendapat dan pandangan dengan pasangan, tergantung melihatnya dari sudut pandang mana kita menilai, mengamati dan memutuskan,” tambahnya.
Dalam hal ini, ia memberikan perumpaan seperti manusia yang melihat sebuah rumah dari berbagai sudut.
“Contoh orang melihat rumah dari sisi selatan, belum tentu mengetahui sepenuhnya sisi utaranya begitu sebaliknya. Yang terpenting kita sadar sisi selatan dan utara adalah bagian dari rumah, begitu pun dengan perkawinan di dalam rumah tangga. Susah senang, suka duka adalah bagian dari berumah tangga, maka jangan dilihat jeleknya saja atau susahnya saja. Sandarkan diri dengan Tuhan sepenuhnya dan seutuhnya,” tegasnya.
Namun demikian, tradisi pring sedapur masih tetap hidup di sebagian masyarakat Jawa, terutama di daerah-daerah pedesaan.
Hal ini menunjukkan bahwa tradisi memiliki kekuatan yang kuat untuk bertahan, meskipun menghadapi berbagai tantangan.
Konsep pring sedapur merupakan salah satu contoh menarik tentang bagaimana kepercayaan tradisional dapat memengaruhi kehidupan masyarakat.
Meskipun masih menjadi perdebatan, tradisi ini tetap menjadi bagian penting dari warisan budaya Jawa.
Editor: Mila Candra
Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini
Tidak ada komentar