Peneliti Kebudayaan Asal Pati Ungkap Cara Pulihkan Nama Baik Sukolilo 

waktu baca 5 menit
Minggu, 30 Jun 2024 12:21 0 467 Singgih Tri

PATI – Mondes.co.id | Viralnya Sukolilo ditanggapi akademisi asal Bumi Mina Tani, Sucipto Hadi Purnomo.

Dirinya yang merupakan dosen Universitas Negeri Semarang (UNNES) mengungkap bahwa pelabelan Sukolilo sebagai ‘Kampung Maling’ merupakan cara berpikir massa yang nir-daya kritis, yang mana sematan itu tanpa check and re-check, dilakukan sebagian besar masyarakat karena tergiring framing massa.

“Netizen dan sejumlah kelompok masyarakat bersikap dan bertindak seperti kemudian menyebut Sukolilo ‘Kampung Maling’. Beberapa orang melakukan replikasi pengulangan dan tanpa daya berpikir kritis sampai akhirnya mewabah ke banyak orang. Mereka memberi stigma negatif seolah satu kesalahan individu menjadi kesalahan kolektif,” ujar Sucipto Hadi Purnomo kepada Mondes.co.id, Sabtu (29/6/2024).

Sisi Lain Warga Sukolilo

Peneliti budaya kelahiran Kabupaten Pati itu mengatakan, jika secara spesifik warga Kecamatan Sukolilo menjunjung tinggi tatanan nilai yang positif, ramah kepada masyarakat umum, dan menjunjung tinggi warisan leluhur.

Acap kali, ditemukan warga sering menyambut baik tamu dari daerah lain tanpa ada gesekan apapun, kemudian lahir konten kreator yang dapat meng-influence kearifan lokal daerah Bumi Mina Tani ke publik. Hal ini berbanding terbalik dengan asumsi orang-orang pada umumnya.

Adanya tragedi yang dilakukan oleh oknum tertentu, menyebabkan Sukolilo disorot buruk oleh kebanyakan orang.

Kondisi ini diibaratkan, jika satu titik tubuh gatal, maka semuanya seolah terasa gatal.

Ia khawatir, situasi demikian menjelma menjadi realitas yang dibenarkan oleh publik, sehingga kejadian yang tidak mencerminkan fakta Sukolilo sesungguhnya dilipatgandakan.

BACA JUGA :  Ibu-ibu PKK se-Kecamatan Pati Gelar Lomba Cipta Menu Makan Siang

“Kalau badan kita gatal di satu titik, seolah yang lain ikut gatal. Maka kejadian di Sukolilo analoginya seperti itu, meskipun di lain sisi, masyarakat Pati bagian Selatan, khususnya Sukolilo baik-baik saja. Ketika kita ke sana kita sering dapat sapaan tanpa ada salah sangka, nilai-nilai kehidupan yang mereka junjung baik, YouTuber-nya juga baik. Akan tetapi ketika disorot, maka masyarakat tersugesti pada insiden beberapa waktu lalu yang mencerminkan fakta sesungguhya Sukolilo. Lebih bahayanya, ketika diproduksi dan dilipatgandakan, akan menjelma menjadi kebenaran baru bahwa Sukolilo seperti yang dikatakan ‘Kampung Maling’,” ujarnya.

Ia menuturkan bahwa dunia tersusun atas tatanan sistem yang seimbang, bila ada baik, maka ada buruk. Serta bila ada hitam, maka ada putih.

Menurutnya, kultur yang baik diselingi dengan perilaku keburukan karena pengaruh lingkungan, seperti teori yang dicetuskan oleh John Locke.

“Ada baik ada buruk, ketika ada budaya baik yang begitu banyak tidak bertahan karena pengaruh nilai-nilai buruk. Maka kebaikan yang muncul di kehidupan sehari-hari menghilang. Ibaratnya setiap bayi lahir merupakan kertas putih yang tanpa dosa, hanya pengaruh lingkungan saja yang menyebabkan seseorang individu bertingkah buruk,” urainya.

Memulihkan Nama Baik Sukolilo Pati

Dirinya menekankan fakta sandingan yang perlu digencarkan demi menata kehidupan sosial masyarakat Sukolilo lewat pendekatan humanis.

Baginya, cara memulihkan nama Sukolilo bisa melalui gerakan-gerakan penyadaran bahwa Kecamatan Sukolilo itu baik.

Berdasarkan tradisi yang ia telaah, kawasan Sukolilo menjadi tempat bermukimnya keturunan Samin Surosentiko.

Seperti diketahui, ajaran Samin Suronsentiko perlu ditekankan seperti aja drengki srei, tukar padu, kemeren, aja kutil jumput, bedhog nyolong. Namun, ajaran tersebut jauh dari imajinasi publik saat ini.

BACA JUGA :  Belasan Pengedar dan Pemakai Sabu di Pati Diringkus Polisi

Di samping itu, pengenalan karakter Saridin yang amat melekat di Bumi Pesantenan, bisa dijadikan rujukan penggambaran leluhur warga Kabupaten Pati, khususnya bagian selatan.

Publik perlu tahu, di Kabupaten Pati pernah melahirkan tokoh ulama kondang, sehingga nilai-nilai ideologis Saridin diharap mampu mencerminkan warga Kabupaten Pati.

“Kalau mengacu pada sejarah serta tradisi, maka kawasan Sukolilo pernah ada keturunan Samin Surosentiko. Nilai yang dianut oleh Samin Surosentiko jauh dari kondisi yang digambarkan sejumlah publik saat ini, karena nilai yang diajarkan Samin Surosentiko. Ditambah, kondisi Pati Kidul dahulu pernah ada tokoh wali besar yakni Saridin, maka masyarakat Pati dikenal sebagai cucu Mbah Saridin,” terangnya.

Menanggapi kampanye Pati Cinta Damai, menurutnya, bisa menunjukkan keramahan, kerukunan, dan identitas Kabupaten Pati.

Ia berpendapat bahwa fondasi agama, budaya, dan kesenian masyarakat Kabupaten Pati, mendukung ketangguhan Kabupaten Pati itu sendiri.

Pasalnya, ketiga unsur itu mampu menjadi rujukan dalam melakukan rekonsiliasi perbaikan nilai-nilai.

Adapun beberapa tradisi masyarakat Kabupaten Pati yang mampu ditunjukkan seperti sedekah bumi, meron, lamporan, dan lain sebagainya. Kemudian ada pula kesenian yang khas, yakni kethoprak, barongan, serta tembang-tembang.

“Ketangguhan Pati itu ditentukan oleh fondasi yakni agama, kesenian, kebudayaan masyarakat. Namun, ditekuk-tekuk menjadi dangdutan untuk mengungkapkan ekspresi estetik, alhasil rawan bentrokan. Sebetulnya masih ada rujukan kesenian, semacam kethoprak dan tembang-tembang, barongan juga ada sebagai rujukan melakukan rekonsiliasi perbaikan tata nilai. Perlu ada elaborasi fakta-fakta sandingan lainnya, berupa kampanye Pati Cinta Damai untuk memperlihatkan keramahan dan kerukunan,” tegas dosen Program Doktor Pendidikan Seni UNNES tersebut.

Perlu Pendekatan yang Humanis, Bukan Sweeping Aparat!

Dirinya menyayangkan pendekatan aparat yang berjaga-jaga memantau aktivitas warga sehari-hari di sana.

BACA JUGA :  Sudewo Minta PDAM Pati Berbenah dan Tingkatkan Pelayanan

Ia memandang, pendekatan humanis bisa lebih efisien untuk mengasah budi luhur warga setempat, sebab perlu ada kesadaran stakeholder dalam melakukan pendekatan kepada masyarakat, demi meminimalisir risiko negatif.

“Upaya sweeping kurang tepat, saya kurang setuju, karena stakeholder harus sadar bahwa pendekatan kultural jauh lebih efektif, daripada pendekatan keamanan yang sifatnya yuridis formal. Pendekatan kultural lebih humanis. Karena melalui kebudayaan dan seni, dapat mengasah budi luhur serta meminimalisir risiko negatif. Spirit untuk rekonsiliasi perbaikan kembali khittahnya kudu dikuatkan,” pungkas Sucipto Hadi Purnomo.

Editor: Mila Candra

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA

Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini