Menyusuri Jejak Pembangunan Modern Pati di Masa Lampau, Sempat Jadi Pusat Administrasi Kolonial

waktu baca 6 menit
Jumat, 10 Nov 2023 17:02 0 1386 Singgih Tri

PATI – Mondes.co.id | Pada masa Hindia Belanda, Kabupaten Pati di Provinsi Jawa Tengah, menjadi pilihan strategis sebagai pusat administrasi kolonial berkat potensinya yang bagus. Wilayah ini memberikan kontribusi signifikan terhadap ketahanan pangan, industri, tambang, dan transportasi.

Selain itu, keberadaannya di pesisir serta dilalui jalur poros utama penghubung di Pulau Jawa, memudahkan transportasi barang demi memperkuat posisi sebagai pusat ekonomi. Dengan keseimbangan antara cadangan industri yang produktif dan aksesibilitas yang baik, Kabupaten Pati ditakdirkan menjadi lokasi yang ideal untuk mendukung aktivitas administratif pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.

Berdasarkan penuturan sejarawan asal Pati, Ragil Haryo Yudiartanto, di era awal 1900-an, ketika Kerajaan Belanda menerapkan sistem politik pintu terbuka di kawasan kolonialnya, banyak sektor di Bumi Mina Tani yang dimanfaatkan untuk mengekplorasi sumber daya alam, mulai dari pertanian, industri, bahkan tambang.

“Pada awal 1900 saat pemerintah Belanda menerapkan sistem politik pintu terbuka. Hal ini membuat pemerintah Belanda mengambil pendapatan dari kekayaan dalam negeri, salah satunya di Pati. Itu mengapa Belanda membangun pabrik gula, industri kayu jati, tambang gas, dan pabrik olahan tapioka. Akhirnya Pati menjadi wilayah ibu kota keresidenan,” ungkapnya kepada Mondes.co.id, Jumat, 10 November 2023.

Mengenal Politik Pintu Terbuka

Perlu diketahui, politik pintu terbuka menjadi sebuah kebijakan yang merujuk pada pendekatan izin bagi investor swasta asing untuk secara bebas menanamkan modalnya di wilayah Hindia Belanda. Kebijakan pembangunan ini memungkinkan modal dan barang produksi dari negara lain masuk dengan syarat yang setara dengan modal dan barang produksi yang dikelola oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda di wilayah tersebut.

“Letak Pati yang strategis dijadikan oleh pemerintah Hindia Belanda menjadi pusat administrasi di wilayah pantai utara (Pantura). Dengan demikian, segala kemudahan akses segala sektor, membuat pemerintah Hindia Belanda mudah mengatur segala bentuk transaksi niaga maupun pengelolaan aset di Pati. Makanya lihat, banyak sekali gedung-gedung bergaya Eropa di Pati,” jelas Ragil saat diwawancarai melalui sambungan telepon.

BACA JUGA :  Wakil Ketua III DPRD Pati Dukung Agenda Takbir Keliling Tanpa Sound Horeg

Kondisi demikian disebutkan Ragil bahwa berbagai pabrik didirikan oleh pemerintahan kolonial dengan berkoordinasi bersama Asisten Residen waktu itu, mulai dari pabrik olahan gula, industri kayu jati, pertambangan gas alam, pabrik olahan tapioka, dan beberapa kantor-kantor administrasi, mulai dari kantor pos, kantor sekretariat pemerintah, satuan pendidikan, dan pangkalan militer.

“Sebelum Pati menjadi kawasan pusat keresidenan, pusat pemerintahan ada di Jepara. Karena Belanda kesulitan mengurus administrasi dan operasional, maka dipindahlah pusat pemerintahan di Pati,” kata Ragil.

Menurut keterangannya, Kabupaten Pati menjadi region yang menyatu ketika mulai ada pembangunan Jalan Anyer-Panarukan. Selanjutnya, pedagang-pedagang Tionghoa mulai berniaga, serta pembangunan industri mulai gencar. Karena wilayah di Jepara tak dilalui jalur penting tersebut, maka kantor sekretariat pemerintahan diboyong ke Kabupaten Pati.

“Mengacu peta Belanda, kantor administrasi Asisten Residen (pemimpin daerah lokal) berada di Kaborongan. Itu mengapa istilah ‘Kaborongan’ yang berasal dari ‘Borongan’ alias kepindahan sesuatu secara besar-besaran. Saat itu, memang ada dua kepemimpinan antara pemerintahan lokal dan pemerintahan kolonial, walaupun sebenarnya pemerintahan lokal tunduk pada Belanda,” ucapnya.

Pati Jadi Pusat Pembangunan di Masa Kolonial

Di samping itu, Ragil menunjukkan pula bahwa Pati menjadi salah satu sentral pembangunan di Pulau Jawa. Sejak di bawah kepemimpinan Raden Adipati Aryo Condro Adinegoro, Raden Tumenggung Prawiro Werdoyo, hingga Raden Adipati Ario Soewondo, Kabupaten Pati menjadi kota modern. Terdapat arsitektur gaya barat seperti alun-alun kota, jalan raya, jalur kereta api, gedung pertunjukan, serta rumah sakit.

“Ditunjuknya Pati menjadi ibu kota keresidenan menjadi fokus pusat pembangunan di Jawa, apalagi saat itu Pati dilintasi proyek jalan yang selesai digarap Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada tahun 1807-1810 silam. Saat itu Kabupaten Pati mulai memasuki pembangunan menjadi kota modern kala di bawah pemerintahan lokal dipimpin Raden Adipati Aryo Condro Adinegoro, Raden Tumenggung Prawiro Werdoyo, Raden Adipati Ario Soewondo,” ujarnya.

BACA JUGA :  Para Model Kenakan Karya Neo-Klasik Batik Bakaran Rancangan Desainer Lokal Paling Top, Siapa Dia? 

Kendati demikian, majunya Pati sebagai pusat industri dan barometer ekonomi, tak membuat wilayah tersebut menjadi pusat pendidikan. Bahkan hanya ada sekolah level dasar yang disebut Ongko Loro. Sementara, sekolah level menengah baru ada sejak tentara Nippon masuk ke tanah Nusantara.

“di Pati hanya ada sekolah rakyat setara SD yang saat itu disebut Tweede Inlandsche School atau familiar disebut Ongko Loro berlokasi di Wedarijaksa dan Pati Kidul. Bahkan di Pati belum ada sekolah lanjutan yakni MULO (setara SMP) untuk lanjutan tamatan sekolah dasar. Apalagi Algemeene Middelbare School (AMS), itu belum ada. Para tamatan Ongko Loro yang ingin mengenyam pendidikan lanjut harus ke Semarang dulu untuk mengenyam pendidikan tersebut, karena di Pati belum ada sekolah setingkat menengah maupun tinggi,” sebutnya

Terbatasnya fasilitas penunjang pendidikan, membuat pribumi yang ingin melanjutkan sekolah ke jenjang yang tinggi terpaksa keluar dari Pati. Bahkan banyak orang Pati yang menyekolahkan anaknya untuk menjadi pegawai pemerintahan kolonial, sampai rela mengantarnya ke Magelang, tepatnya di OSVIA yang merupakan kepanjangan dari Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren.

Ragil menjabarkan, OSVIA merupakan sekolah untuk mencetak tenaga pegawai, seperti pamong praja, yang bakal menjadi tenaga kerja pemerintah kolonial Belanda. Lulusan OSVIA kebanyakan menjadi mandor maupun juru tulis.

“Namun, saat itu di Pati belum ada sekolah pergerakan atau sekolah tinggi pencetak tenaga pegawai seperti OSVIA di Magelang,” ucapnya.

Cikal Bakal Tentara Pelajar

Barulah pada era 1940-an, sekolah lanjutan mulai masuk di Kabupaten Pati. Pada 1942, Belanda menyerah dari Jepang sehingga wilayah jajahannya diserahkan kepada Negeri Matahari Terbit. Sejak penjajahan Jepang masuk di Indonesia beragam kebijakan pendidikan mulai digiatkan.

BACA JUGA :  Innalillahi, Bocah 6 Tahun Ditemukan Wafat di Sungai Ndaleman Kayen

Pada 1943 berdirilah SMP Rendole, di sana menjadi sekolah dan asrama bagi angkatan bersenjata pribumi yang dilatih oleh kekaisaran. Bahkan di situlah cikal bakal tentara pelajar terbentuk untuk melawan segala bentuk penjajahan.

“Sejak Jepang mulai masuk, ada yang namanya SMP Rendole. Di sana menjadi sekolah untuk angkatan bersenjata dan ada asramanya. SMP Rendole mencetak tentara pelajar.

Tentara pelajar di Pati tak hanya dari sana, ada pula yang datang dari sekolah luar Pati. Selain itu, ada pula sekolah menengah pertama yang membuka jurusan niaga, pertukangan, dan polisi itu sendiri,” ungkapnya.

Ragil juga menyampaikan jika tentara pelajar yang dihasilkan dari pendidikan tersebut turut serta berangkat menjadi pasukan di Pertempuran Lima Hari di Semarang pada 14-18 Oktober 1945.

Pengaruh di Kependudukan Kolonial

Kembali lagi pada masa kolonial Hindia Belanda. Sejak politik pintu terbuka berhasil diprogramkan, Kabupaten Pati menjadi wilayah yang maju secara peradaban, ekonomi, infrastruktur, dan kemajuan industri.

Bahkan beberapa bangunan peninggalan Hindia Belanda ada banyak tersebar di Pati, seperti Gedung Joeang yang pernah menjadi balai pertemuan pejabat, Bakorwil yang merupakan kantor Residen, dan beberapa kantor bergaya klasik di sepanjang Jalan Panglima Sudirman. Kemudian, ada pangkalan militer di daerah Barakan (sekarang menjadi SMK N Jateng), penjara (sekarang Lapas), kuburan para pejabat Belanda (sekarang menjadi Gedung Korpri), dan masih banyak lagi.

“Sejak zaman Belanda, Pati sudah menjadi wilayah penting sejak politik pintu terbuka. Padahal sebelum itu kawasannya terpecah-pecah, mulai dari beberapa kadipaten, seperti Pati Kulon, Pati Wetan, Pati Kasepuhan, Pati Kanoman, Kadipaten Cengkalsewu, dan Kadipaten Juwana. Lalu pada 1800-akhir baru membentuk sebuah region yang menyatu,” pungkasnya.

Editor: Mila Candra

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA

Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini