Melacak Peran Selat Muria dalam Sejarah Pati: Antara Bencana dan Kemajuan Ekonomi 

waktu baca 7 menit
Sabtu, 23 Mar 2024 18:36 0 1349 Singgih Tri

PATI – Mondes.co.id | Selama dua bulan terakhir, wilayah jalur pantai utara (Pantura) diterjang banjir parah. Kejadian bermula awal Februari 2024 lalu.

Kala itu, air bah mengalir dari Kabupaten Grobogan yang harusnya mampu ditampung daerah aliran sungai, malah membanjiri sebagian area sekitarnya.

Debit air yang telalu besar menyebabkan sungai meluap hingga membanjiri permukiman penduduk dari Kabupaten Grobogan sampai Kabupaten Demak.

Situasi diperparah dengan tanggul jebol, sehingga terjadilah banjir bandang di sepanjang jalur Pantura Kabupaten Demak, Kudus, dan Pati.

Kondisi itu mengakibatkan akses lalu lintas nasional lumpuh. Alhasil sejumlah jalur alternatif disiapkan. Kala itu, titik terparah berada di Kecamatan Karanganyar, tepatnya di jalan Pantura perbatasan Demak dan Kudus.

Selama sepekan banjir menggenangi wilayah tersebut, hingga surut karena faktor cuaca dan penanganan dari petugas.

Beberapa minggu berselang tepatnya 14 Maret 2024, hujan intensitas deras berdurasi lama melanda hampir seluruh wilayah Jawa Tengah, hingga menyebabkan berbagai daerah mengalami genangan.

Fenomena itu disinyalir karena badai siklon tropis. Beberapa wilayah kembali terkena banjir, bahkan jumlahnya jauh lebih banyak. Kabupaten Grobogan, Kota Semarang, Kabupaten Kudus, Kabupaten Pati, Kabupaten Jepara, bahkan Kabupaten Demak pun terendam air banjir gara-gara fenomena tahunan ini.

Kondisi semakin tragis ketika sebagian besar wilayah Kabupaten Demak terendam. Tampak pusat kota, makam para ulama, beberapa pedesaan tenggelam oleh air banjir yang terus menggenang di kawasan Kota Wali.

Sampai berita ini dibuat, terpantau wilayah Kabupaten Demak, Kudus, dan Pati masih terdapat genangan air di jalanan, permukiman, maupun ladang pertanian.

Lantas mengapa ketiga daerah itu tak kunjung surut di saat wilayah lainnya aman dari banjir?

Ternyata ketiga kabupaten tersebut berada di daratan yang dahulu kala merupakan sebuah aliran selat di Pulau Jawa. Selat tersebut dulunya adalah Selat Muria, di mana bentang alam berada tepat di ketiga kabupaten tersebut.

Sebagai informasi, Selat Muria memisahkan antara Pulau Jawa dengan Pulau Muria (kini menjadi Gunung Muria dan wilayah Kabupaten Jepara).

Menurut penuturan Sejarawan asal Kabupaten Pati, Ragil Haryo Yudiartanto, wilayah Pati dahulu merupakan selat yang memisahkan Pulau Jawa dengan kawasan Muria. Oleh karenanya, Daerah Aliran Sungai (DAS) Silugonggo rawan terjadi banjir.

BACA JUGA :  Tiga Desa di Pati Bakal Gelar Pilkades PAW

“Secara geologis, beberapa kali kawasan Pati mengalami genangan lalu mengering dan berkali-kali seperti itu. Karena memang kawasan tersebut, dataran rendah sehingga selat kembali melebar kemudian menyempit lagi. Makanya daerah tepi Silugonggo sering banjir, dan masyarakat sekitar sudah survive karena sejak lama daerah itu terkena banjir terus-menerus,” ungkapnya saat diwawancarai Mondes.co.id, Sabtu (23/3/2024).

Temuan Fosil Purba 

Bukti Kabupaten Pati dilalui Selat Muria terdapat pada Museum Patiayam. Menurut Ragil, di sana terdapat fosil molusca, penyu, kura-kura.

Selanjutnya, masyarakat terheran-heran karena di Pegunungan Kendeng kerap kali ditemukan fosil kerang, padahal Pegunungan Kendeng jauh dari laut.

Jelas menguatkan proyeksi jika Kendeng dahulu dekat dengan Selat Muria. Di samping itu, ada toponimi wilayah yang jauh dari laut namun menunjukkan identitas yang erat dengan kawasan pesisir, seperti penamaan ‘Tambakromo’.

“Bukti bahwa Pati sempat dilalui Selat Muria bisa kita saksikan di Museum Patiayam, di sana kita bisa melihat fosil molusca. Lalu ketika kita ke Kayen dan Sukolilo kadang menemukan fosil kerang, sehingga hal ini menunjukkan ada bekas lautan atau selat. Toponimi wilayah juga menunjukkan daerah ini daerah pinggir laut, contohnya Tambakromo. Saat musim kemarau, daerah Jakenan dan Gabus disuling, namun ternyata airnya terasa asin padahal jauh dari laut,” ungkapnya.

Selat Muria di Era Kolonial 

Penyebab hilangnya Selat Muria dipengaruhi pergeseran Sesar Muria dan Sesar Kendeng. Selain itu, ada kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda menutup aliran air yang harusnya bermuara ke selat.

Aliran air dibendung dengan bangunan Bendungan Seloromo dan Bendungan Gunungrowo yang berada di Kecamatan Gembong.

Air tersebut digunakan untuk mengairi sawah dan kebun milik pemerintah kolonial Hindia Belanda, sehingga debit air yang berada di Selat Muria berkurang.

Bersamaan dengan adanya Selat Muria yang mulai menyusut, saat itu wilayah Pati berada di bawah kekuasaan Wasis Joyokusumo hingga Adipati Pragolo.

“Selat Muria bisa muncul maupun hilang karena faktor pergeseran Sesar Muria dan Sesar Kendeng. Selat Muria kerap mengalami sedimentasi, yang salah satunya disebabkan ketika masa kolonial, aliran air yang masuk ke selat dibendung melalui Bendungan Seloromo dan Gunungrowo,” bebernya.

Pengaruh sedimentasi sangat kuat hingga berlanjut sampai sekarang. Selama ini lahan hutan di lereng Muria dan Kendeng semakin minim, menyebabkan tidak adanya penahan air di kawasan hulu.

BACA JUGA :  33 SD di Jepara Diregrouping, Ternyata Diizinkan Cairkan Dana BOS

Sehingga jika air datang mengalir deras dari wilayah tersebut, maka langsung membanjiri permukiman penduduk di hilir.

Semasa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, pemerintah kolonial melakukan perjalanan ketika membangun Jalan Anyer-Panarukan.

Dalam riwayat, pernah menceritakan rombongan pejabat Hindia Belanda menyeberangi Sungai Juwana dengan menaiki rakit.

“Tidak ada korelasi antara dibuatnya jalur Pantura yang melintasi wilayah bekas Selat Muria. Karena pada masa pemerintahan Daendels ketika pembangunan Jalan Anyer-Panarukan, dikisahkan kendaraan darat milik Belanda menyeberangi Sungai Juwana dengan diangkut menggunakan rakit. Itu artinya, saat itu bekas selat masih ada. Baru di era Kekaisaran Jepang dibangun Jembatan Juwana yang menghubungkan dua daratan tersebut,” imbuhnya.

Bukti Geografis Keberadaan Selat Muria

Di era Kerajaan Demak di bawah kepemimpinan Raden Patah, keadaan geografis Demak berada di pesisir. Ada temuan cerita Raden Patah sedang melakukan penyeberangan perairan melalui rawa-rawa menuju pulau-pulau kecil di wilayah tersebut.

Namun, perairan yang dilaluinya tak seluas laut pada umumnya, karena medan perairan hanya mampu dilalui kapal kecil saat berlayar.

Perlu diketahui, Kerajaan Demak pada masanya dikenal sebagai kerjaan maritim, padahal saat ini Demak lokasinya tidak berada di pesisir laut.

Kendati demikian, ternyata sistem kerajaan maritim pada masanya ditinjau berdasarkan tempatnya yang berada di pinggir Selat Muria.

“Selat Muria memang ada. Pada era Kerajaan Islam Demak perkiraan 1700 sampai 1800-an, kapal besar sudah tak bisa melintasi wilayah Selat Muria. Di era masa pemerintahan Raden Patah tampak ada momen dirinya menyeberang perairan di Demak yang terdapat sebagian wilayah yang terdiri dari pulau-pulau kecil,” ungkap Ragil.

Lebih lanjut, studi antropologi oleh Hermanus Johannes de Graaf dan Pigeaud, serta sejarawan Prancis Lombard berpendapat bahwa Gunung Muria sebelumnya merupakan pulau yang terpisah dari Pulau Jawa.

Pada periode sebelum abad ke-17, kedua pulau dipisahkan oleh sebuah selat. Terdapat kota-kota tua seperti Demak, Jepara, Kudus, Pati, Juwana, dan Rembang merupakan pelabuhan-pelabuhan utama yang penting di sepanjang wilayah pesisir utara Selat Muria yang memisahkan Jawa dan Muria.

Di lain tempat, Sungai Lusi yang ada di Kabupaten Grobogan bermuara ke Selat Muria yang sangat dangkal sepanjang Demak, Pati, dan Juwana yang memisahkan Jawa dan Muria.

Pada periode abad ke-16, kota-kota pelabuhan ini merupakan jalur pelayaran pintas yang menghubungkan Demak di bagian barat Muria dengan Pati-Juwana di bagian timur Muria, dan memainkan peran penting dalam masalah ekonomi, politik, dan wilayah pada era Pangeran Trenggana, tepatnya di tahun 1504 sampai 1546.

BACA JUGA :  Kebakaran Kembali Terjadi di Kabupaten Pati

“Menurut catatan, muara sungai besar di Jawa ada yang menuju ke Selat Muria. Lalu ada pula catatan yang menyebut penggalian terusan, sehingga mengindikasi bahwa Selat Muria menyempit, tak bisa lagi dilintasi kapal besar, hanya bisa dilintasi kapal kecil dengan waktu tempuh 2 sampai 3 hari,” ujarnya Ragil menjelaskan.

Ia mengatakan, pergeseran Sesar Muria dan Sesar Kendeng berpotensi memunculkan kembali Selat Muria. Maka dari itu, daerah setempat seringkali mengalami penurunan permukaan yang mengakibatkan rawan terjadi genangan banjir.

Pengaruh Selat Muria bagi Peradaban Pati 

Secara historis, Kabupaten Pati memiliki jejak sejarah yang bisa dilihat dari peninggalan Situs Candi Pomahan di Dukuh Buloh, Desa Kayen.

Adanya Situs Pomahan membuktikan bahwa dahulu Kabupaten Pati pernah bermukim penduduk penganut ajaran Hindu maupun Buddha beberapa tahun silam. Ini berarti Kabupaten Pati sudah memiliki peradaban yang cukup maju di masa lampau.

Ragil memaparkan, kemajuan peradaban itu juga ditandai karena lokasinya strategis. Sejak ada Selat Muria, Pati berada di kawasan ujung utara Pulau Jawa dan ujung selatan Pulau Muria.

Menyadur dari catatan Sejarawan asal Belanda, Johannes de Graaf, Kabupaten Pati menjadi lumbung beras di Pulau Jawa dan menjadi pusat perdagangan. Kemudian, Pati menjadi jalur distribusi barang dari pedalaman menuju ke berbagai pulau.

“Menurut tulisan de Graaf, Pati menjadi wilayah strategis karena menjadi lumbung beras. Dan menjadi pusat perdagangan dari pedalaman melintasi beberapa pulau-pulau sampai ke Sulawesi dan Maluku. Kala itu, beras dari Pati dibawa kapal ke wilayah lain untuk kemudian ditukarkan dengan rempah-rempah, lalu dibawa kembali. Di sistem perdagangan maritim, kapal yang berlayar tidak boleh kosong, sehingga harus ada alat tukar untuk berlayar,” terangnya.

Ia mengungkapkan bahwa Kabupaten Pati sempat menjadi wilayah yang diperebutkan oleh kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa karena potensi ekonominya.

“Itu sebabnya Pati menjadi daerah rebutan oleh para raja-raja zaman dulu, karena potensi ekonominya yang sangat besar terlebih wilayahnya di pesisir. Timbul perang Mataram yang tak terlepas dari politik,” pungkasnya.

Editor: Mila Candra

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA

Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini