PATI – Mondes.co.id | Dia adalah Jarono, seorang kakek berusia 94 tahun asal Desa Jrahi, Kecamatan Gunungwungkal, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Jarono adalah mantan seorang pejuang yang turut berperang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, saat penjajah Belanda mencoba merebut kembali tanah air pada Agresi Militer Belanda ke 2 tahun 1928.
Di bangku teras rumah sederhana di lereng Pegunungan Muria, Jarono berapi-api ketika menyeritakan, perjuangannya bersama para gerilyawan saat mengusir penjajah Belanda pada agresi militer ke 2 pada masa mudanya.
Kakek kelahiran tahun 1928 ini mengaku turut bertempur melawan belanda pada tahun 1948. Air mata dan darah berkali-kali ia kucurkan demi menjaga kemerdekaan Indonesia, bersama pejuang lainnya.
“Tahun 1948 ikut gerilya agresi belanda ke dua. Setelah ikut berperang di Ciamis, Cikuning, Jawa Barat saya dipindah untuk ikut berperang di Jawa Timur, Mojokerto, lalu ke Jombang, habis itu ke daerah Bence. Lalu ke Semarang. Lasem Rembang pernah berbulan-bulan,” kata Jarono, Senin (8/8/2022).
Kurang lebih dua tahun lamanya ia ikut berperang demi kejayaan dan kemerdekaan tanah air Indonesia.
“Ikut berperang kurang lebih dua tahun, bersama Jenderal Sudirman saat di Magelang. Setelah itu saya diajak berperang ke Semarang oleh Pak Amir Syarifudin,” ungkapnya.
Acap kali, Jarono serta para pejuang lain masuk dan keluar hutan, untuk menghindari endusan tentara Belanda dan para anteknya.
“Setiap ada orang masuk kawasan kami, tanpa memiliki tanda dan kode tertentu, langsung kita tembak di tempat. Tak peduli itu pribumi maupun Belanda. Perang itu kejam, nyawa kita atau nyawa mereka yang hilang, karena banyak juga pribumi yang jadi antek Belanda,” sebutnya.
Saat menjalani relawan dalam perang gerilya itu, Jarono dan kelompoknya hanya menggunakan senjata seadanya. Seperti pedang, tombak, alat pertanian, dan bambu runcing.
“Kita gunakan senjata seadanya, ada senjata api tetapi terbatas. Dapat senapan dan amunisi itu kalau berhasil mengalahkan tentara Belanda,” jelasnya.
Jarono mengaku, sempat diberikan surat penghargaan atas jasanya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di Semarang.
“Relawan, usai perang saya sempat dikasih surat penghargaan di Semarang, harusnya saya mendapatkan dana pensiun tetapi saya tolak. Saya memang tidak punya pangkat, saya hanya seorang gerilyawan angkatan perang,” tuturnya.
Baginya, memperjuangan kedaulatan tanah air Indonesia adalah yang utama. Sehingga anak cucunya tidak menderita, seperti yang ia alami di masa penjajahan Belanda.
“Semboyan kita sebagai pejuang, kami tidak pamrih apapun, tetapi bagaimana negara Indonesia ini tegak berdiri dan tidak dijajah lagi,” tegasnya.
Jarono berpesan agar generasi sekarang, utamanya Gen Z agar mengisi kemerdekaan Indonesia dengan karya positif, yang dapat mengharumkan nama bangsa di mata dunia.
“Kesopanan, kewaskitaan (ketajaman pikiran), dan tujuan hidup nampak mulai hilang di generasi sekarang. Saya harap tiga poin itu bisa dipakai agar hidup para pemuda sekarang mudah,” imbaunya. (Dr)
Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini
Tidak ada komentar