dirgahayu ri 80

Kekerasan dan Pembungkaman Jurnalis saat Demo 25-30 Agustus, AJI Nyatakan Sikap

waktu baca 4 menit
Senin, 1 Sep 2025 14:39 0 74 Redaksi

JAKARTA – Mondes.co.id | Aliansi Jurnalis Independen (AJI) akhirnya menyatakan sikap atas segala aksi kekerasan dan pembungkaman yang dialami oleh para jurnalis dan media selama meliput aksi demonstrasi 25-30 Agustus 2025.

Selain itu, aksi yang berlangsung juga diiringi dengan arogansi aparat penegak hukum saat menangani eskalasi demonstrasi di berbagai daerah.

Hal ini menyebabkan ketidakamanan bagi para jurnalis yang tengah melakukan peliputan, sebagaimana dilansir dari beritasatu.com.

“Situasi ini tak hanya menimbulkan kerugian bagi warga, tetapi menempatkan jurnalis pada posisi rentan saat meliput,” kata Ketua Umum AJI Indonesia Nany Afrida di Jakarta, Senin (1/9/2025).

Rentetan Peristiwa

Situasi mulai memanas sejak 25 Agustus 2025 di Jakarta dan meluas ke beberapa daerah hingga hari ini.

Aksi demonstrasi ini merupakan respons rakyat atas kebijakan yang ugal-ugalan dari pemerintah, presiden, DPR dan aparat penegak hukum (TNI/Polri).

Sayangnya, aspirasi warga tersebut direspons secara brutal oleh aparat kepolisian dengan tembakan gas air mata.

Kemudian, insiden kendaraan taktis Brimob menabrak dan melindas pengemudi ojek online.

Disertai kekerasan, pengeroyokan, hingga penangkapan warga oleh aparat, tak terkecuali jurnalis.

AJI mencatat selama 1 Januari-31 Agustus 2025, ada 60 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media, termasuk teror, intimidasi, dan serangan digital ke website dan akun media sosial media.

Sebagian besar serangan dan kekerasan tersebut diduga pelakunya dari institusi militer dan kepolisian.

Dalam satu pekan terakhir, AJI menerima beberapa laporan kekerasan terhadap jurnalis saat meliput aksi unjuk rasa di Gedung DPR/MPR, Senayan dan Markas Komando Brimob, Kwitang, Jakarta.

BACA JUGA :  Karhutla Sering Terjadi, Polsek Suruh Siagakan Personel Khusus

Jurnalis foto Antara Bayu Pratama S mengalami kekerasan ketika meliput demonstrasi di depan Gedung DPR Senayan, Jakarta pada Senin (25/8/2025).

Kemudian dua jurnalis foto dari Tempo dan Antara dipukul orang tidak dikenal saat meliput demonstrasi di sekitar Mako Brimob Kwitang, Jakarta Pusat pada Kamis (28/8/2025) malam.

Pada hari yang sama, jurnalis dari sebuah media online mengalami intimidasi saat merekam aksi demonstrasi yang ricuh di Gedung DPR, Senayan, Jakarta pada Kamis (28/8/2025) malam.

Pada Sabtu (30/8/2025) malam, dua jurnalis di Jambi terperangkap di Gedung Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jambi saat memantau kerusuhan aksi massa yang melakukan demonstrasi di Gedung DPRD Provinsi Jambi.

Sabtu dini harinya, mobil operasional sebuah media di Jambi yang diparkir di Kejati Jambi, dibakar massa anarkis yang baru datang pada malam harinya.

Kemudian pada Minggu (31/8/2025) dini hari, jurnalis sebuah stasiun televisi berita ditangkap, dipukul, serta mengalami intimidasi saat melakukan siaran langsung melalui akun media sosialnya.

Selain itu, jurnalis dari pers mahasiswa disiram air keras saat meliput di Polda Metro Jaya.

“Kasus tersebut menambah daftar panjang kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. Padahal, di tengah gejolak politik-sosial yang memanas, publik justru membutuhkan liputan yang akurat, independen, dan bisa dipercaya,” ujar Nany Afrida.

Pembungkaman Kebebasan Pers

Selain kekerasan, jurnalis dan media di Indonesia juga mengalami pelarangan dan pembatasan yang dilakukan, baik individu maupun lembaga pemerintah.

Media didesak untuk menyajikan berita yang “sejuk” dan “damai” tentang aksi massa yang sangat berbeda dengan kenyataan di lapangan.

Media juga “diimbau” untuk tidak melakukan live streaming.

Hal ini bisa menghambat kebebasan pers atau kemerdekaan media dalam menyampaikan informasi secara langsung kepada publik.

BACA JUGA :  Seruan Blacklist Perental Sukolilo Pati, PJR Sebut Belum Ada Prosedur Resmi

Media harus bisa bekerja tanpa tekanan dari pihak manapun, agar demokrasi dan kebebasan berekspresi tetap terjaga.

Nany mengatakan dampak lainnya, publik banyak mencari informasi melalui media sosial yang kebenarannya meragukan.

Selain itu, dikhawatirkan akan menyesatkan masyarakat yang belum memiliki literasi dalam penggunaan media sosial.

AJI menilai pelarangan dan pembatasan ini sebagai upaya pembungkaman dan intervensi pada pers yang seharusnya memberikan informasi sebenar-benarnya pada masyarakat.

AJI Indonesia menyatakan sikap

1. Mengecam keras segala bentuk kekerasan, intimidasi, dan perusakan terhadap jurnalis. Para penegak hukum harus mengusut tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi selama demonstrasi berlangsung.

2. Menangkap dan mengadili pelaku, termasuk aparat yang terlibat dalam kekerasan terhadap jurnalis.

3. Mengecam upaya pembungkaman yang dilakukan untuk membatasi kerja jurnalis dan media, sehingga menyuburkan disinformasi dan hoaks yang meresahkan masyarakat.

4. Mengingatkan kepada semua pihak untuk menghormati kerja jurnalistik, tidak menghalangi jurnalis dalam memberitakan informasi aksi demonstrasi kepada publik.

5. Mengingatkan semua pihak, termasuk aparat kepolisian dan perusahaan bahwa kerja-kerja jurnalis dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis adalah pelanggaran hukum dan demokrasi.

Nany menegaskan di tengah banjir informasi dan situasi yang tidak menentu, jurnalis dan karya jurnalistik yang kredibel adalah benteng utama melawan hoaks dan disinformasi.

“Upaya pembungkaman media dan platform hari-hari ini mengingatkan kita pada praktik represif Orde Baru. AJI menegaskan kebebasan pers adalah syarat demokrasi, bukan barang yang bisa dinegosiasikan,” pungkas Nany Afrida.

Editor: Mila Candra

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA

Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini