JEPARA – Mondes.co.id | Program “Mageri Segoro” yang digagas oleh Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah, lahir dari filosofi sederhana namun sarat makna.
Sebagaimana rumah perlu pagar untuk melindungi penghuninya, laut pun perlu pagar, yakni mangrove untuk menjaga kehidupan di sekitarnya.
Hingga Mei 2025, sebanyak 260.102 batang mangrove telah ditanam di atas lahan seluas 35 hektare.
Melibatkan berbagai unsur pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan komunitas masyarakat di Jawa Tengah.
Angka ini terus bertambah menuju target 1,5 juta batang mangrove di area 150 hektare hingga Oktober 2025.
Kabupaten Jepara menjadi salah satu daerah yang aktif mendukung keberhasilan program ini.
Berdasarkan data penanaman mangrove tahun 2025, Jepara telah menyumbang 19.000 batang mangrove atau sekitar 7,3 persen dari total penanaman di Jawa Tengah.
Tidak berhenti di situ, pada tahun ini kembali dilakukan penanaman serentak sebanyak 23.000 batang mangrove jenis Rhizophora sp.
Tersebar di lima lokasi strategis.
1. Desa Kedungmalang, Kecamatan Kedung – 6.000 batang
2. Desa Mororejo, Kecamatan Mlonggo – 5.000 batang
3. Desa Ujungwatu, Kecamatan Donorojo – 8.000 batang
4. Desa Clering, Kecamatan Donorojo – 2.000 batang
5. Desa Tanggultlare, Kecamatan Kedung – 2.000 batang
Langkah ini menjadi bagian dari komitmen Jepara dalam memperkuat garis pertahanan ekologisnya.
Melalui kegiatan ini, masyarakat diajak untuk memahami tiga pesan utama “Mageri Segoro”.
1. Menjaga garis pantai dari abrasi dengan melestarikan mangrove dan mengelola sampah pesisir;
2. Mengembalikan ekosistem pesisir dengan tidak membuang sampah di laut, serta menjaga habitat laut dari eksploitasi berlebih;
3. Merehabilitasi hutan pantai melalui edukasi dan penanaman berkelanjutan bersama masyarakat.
Namun perjuangan menjaga garis pantai bukan tanpa tantangan.
Menurut Nexson Hasiholan Manullang, Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Pemeliharaan Lingkungan Hidup DLH Kabupaten Jepara, upaya pelindungan pantai Tanggultlare telah dimulai sejak 2013 dengan penanaman cemara laut.
Awalnya, barisan cemara itu diharapkan mampu menahan gelombang, namun pada tahun 2020 pohon-pohon tersebut meranggas dan mati, diduga karena tingginya intrusi air laut yang telah mencapai akar tanaman.
Kini, penanaman mangrove dipilih sebagai solusi lanjutan karena spesies ini lebih adaptif terhadap kondisi air payau dan ombak yang dinamis.
“Lokasi Tanggultlare memiliki tingkat abrasi yang parah, namun relatif mudah untuk ditanami mangrove. Sayangnya, sebagian mangrove yang sudah tumbuh hingga dua meter sempat hilang diterpa angin baratan,” ungkap Nexson.
Pernyataan ini menegaskan bahwa rehabilitasi pesisir membutuhkan ketekunan dan kesinambungan, bukan sekadar seremoni penanaman.
Sementara itu, semangat menjaga laut juga datang dari masyarakat sendiri.
Sadimin, Ketua Pokdarwis Tanggul Samudra di Desa Tanggultlare, menceritakan bagaimana warga bergotong royong membuat pagar bambu di sepanjang pantai
Inisiatif sederhana ini ternyata membuahkan hasil nyata karena adanya lapisan sedimen yang memperlambat laju abrasi.
“Dulunya setebal 100 Cm, kini berkurang menjadi 90 Cm,” terang Sadimin.
Pagar tersebut dibangun dengan dukungan dana CSR dari dua perusahaan, memperlihatkan kolaborasi nyata antara masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha.
Penanaman mangrove bukan hanya tentang menghijaukan pesisir, tetapi juga tentang menjaga warisan alam bagi generasi mendatang, sebuah pagar yang menahan abrasi sekaligus menyuburkan harapan.
Editor; Mila Candra
Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini
Tidak ada komentar