PASANG IKLAN DISINI

Gubuk Monem, Simbol Perlawanan Masyarakat Kendeng untuk Selamatkan Alam dari Dampak Pabrik Semen 

waktu baca 3 menit
Selasa, 24 Okt 2023 08:21 0 762 Singgih TN

REMBANG – Mondes.co.id | Warga yang berada di lereng Pegunungan Kendeng, tepatnya Desa Timbrangan, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang gotong-royong membangun posko sebagai simbol perjuangan penolakan terhadap penambangan pabrik semen di Kabupaten Rembang sejak Senin, 23 Oktober 2023.

Warga yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) maupun warga sekitar, mendirikan sebuah bangunan yang disebut dengan ‘Gubuk Monem’. Mereka bahkan tidak hanya dari Rembang saja, ada pula yang datang dari Blora untuk membantu mendirikan bangunan yang rencananya didesain permanen.

Menurut Joko Prianto selaku perwakilan JMPPK Kabupaten Rembang yang turut menginisiasi pembangunan Gubuk Monem, pendirian bangunan tersebut tengah dilakukan hingga selesai sekitar satu minggu ke depan. Elemen masyarakat yang berasal dari JMPPK maupun warga setempat ikut berpartisipasi.

“Sejak jam 7 pagi sampai sore kami sama-sama membangun posko perjuangan ini. Namanya Gubuk Monem sebagai tempat konsolidasi gerakan dulur-dulur,” katanya.

Joko menyebut, bangunan tersebut berbentuk joglo plong dengan beberapa fasilitas penunjang pertemuan lainnya.

“Gubuk Monem ini bangunannya permanen tembok setengah badan, seluas 5 x 6. Tempat ini sebagai simbol masih adanya kepedulian dulur-dulur pada lingkungan, khususnya Pegunungan Kendeng dari ancaman pertambangan pabrik semen,” ungkapnya saat diwawancarai Mondes.co.id, Selasa, 24 Oktober 2023.

Ada muatan filosofi di balik pemberian nama Gubuk Monem. Joko menjabarkan bahwa pemberian nama tersebut berasal dari kombinasi antara makna Jawa dan Islam.

Pertama, ‘Gubuk’ berasal dari singkatan berbahasa Jawa, berarti ‘Yo Gunem Yo Bukti’. Joko menerangkan bahwa apa yang diucapkan itulah yang harus dibuktikan sehingga bisa dipercaya.

Baca Juga:  Cie Pamer, Ratusan Vespa Mbois Nangkring di Taman Krida

“Apa yang diucapkan dulur-dulur maka dulur-dulur membuktikannya dalam bentuk tindakan, karena itulah kuncinya dapat dipercaya,” ungkapnya.

Kemudian unsur filosofi Jawa juga diterapkan dalam penamaan ‘Monem’ merupakan perpaduan dari ‘Mo’ berarti 5 (Limo) dan ‘Nem’ berarti 6 (Enem). Ia menjabarkan bahwa ‘Mo’ (Limo) diambil dari lima panca indera. Yang mana seluruh panca indera berguna untuk melihat, mencium, mengecap, mendengar, dan merasakan. Kemudian, semuanya diteruskan untuk diresapi di dalam jiwa.

“Artinya ‘Mo’ itu ‘Limo Ponco Driyo’ mulai dari mata, hidung, telinga, dan lain sebagainya seluruh panca indera itu berguna semua hingga bisa merasakan sesuatu ke dalam hati,” terangnya.

Selanjutnya, makna dari ‘Nem’ yang artinye ‘Tinemu’. Maknanya secara umum adalah apa yang dijalankan akan dipertemukan pada tujuan.

“Barang siapa yang bersungguh-sungguh menjalankan apa yang diucapkan, dengan berbekal panca indera maka akan dipertemukan pada tujuanya,” kutipnya.

Selain itu, angka 5 (lima) dan 6 (enam) juga tak lepas dari filosofi agama Islam, yakni rukun Iman dan rukun Islam. Sehingga bukan hanya karena ukuran bangunan saja yang 5 x 6, tetapi ada muatan maknanya antara Jawa dan Islam.

Selama mendirikan bangunan posko itu, pihaknya tak menemukan kendala yang berarti. Hal tersebut dikarenakan, warga sangat mendukung dan memiliki ikatan yang sama dalam berjuang melawan oligarki tambang.

“Meski konflik sosial antara massa pro dan kontra muncul, tapi kami tak memperdulikan itu. Kondisi demikian bukan jadi masalah,” ujarnya.

Di samping itu, Gubuk Monem juga bisa digunakan sebagai ruang pertemuan petani. Dengan adanya bangunan ini, ia bersama rekan-rekan sedulur Kendeng, berharap masyarakat sadar dan lebih berani bersuara memperjuangkan kelestarian lingkungan. Ia mendesak pemerintah untuk segera menonaktifkan izin tambang di kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih.

Baca Juga:  Kera Mengancam Pertanian di Rembang

“Harapan kami, masyarakat sekitar sadar dan berani bersuara. Harapan kami juga pemerintah mencabut izin dan menutup tambang di CAT Watuputih atau area Kendeng lainnya, karena itu bagian dari menjalankan KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis). Sebab, dampak kerugian tambang ini sangat luar biasa,” ucapnya.

Hingga hari ini dan beberapa hari ke depan, warga masih berjibaku mendirikan bangunan tersebut. Bangunan tersebut menjadi sarana membangun kepercayaan satu sama lain, dan membulatkan suara penolakan eksploitasi lingkungan pabrik semen, demi kelestarian ibu bumi.

Editor: Mila Candra

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA

Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini