TRENGGALEK – Mondes.co.id | Belasan mahasiswa yang mengatasnamakan diri Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Trenggalek, geruduk gedung DPRD.
Mereka menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor wakil rakyat daerah untuk menyampaikan aspirasi.
Sejumlah tuntutan disampaikan oleh para mahasiswa, agar didengar oleh pemerintah.
Salah satunya, penolakan politisasi dalam dunia pendidikan melalui pemanfaatan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Kemudian, masih sulitnya akses pendidikan gratis yang seharusnya dinikmati masyarakat.
Pengunjuk rasa juga memberikan kritik keras terhadap kebijakan-kebijakan yang dinilai membebani sekolah melalui program-program titipan yang diduga bermuatan kepentingan tertentu.
Kepada awak media, Genta Aditya Pranayan, salah satu peserta aksi, menyampaikan jika pemicu gerakan GMNI ini berawal dari adanya dugaan politisasi dalam dunia pendidikan.
Pihaknya sangat prihatin, mengingat akan muncul banyak dampak buruk yang terjadi jika dibiarkan.
“Ketika politisasi sudah masuk dunia pendidikan, maka akan muncul banyak dampak buruk. Seperti, tidak adanya kebebasan akademik dan pola semacam ini berbahaya, karena bisa membatasi ruang berpikir kritis di lingkungan pendidikan,” sebut Genta, Senin, 5 Mei 2025.
Menurut dia, GMNI kali ini fokus mengkritisi pengadaan dua jenis buku melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di Trenggalek. Pasalnya, dinilai tidak relevan dengan kebutuhan pembelajaran siswa.
Buku dimaksud adalah buku tentang disiplin lalu lintas seharga Rp350 ribu dan buku anti korupsi seharga Rp1,5 juta.
Patut diduga, pengadaannya (buku tersebut) berpotensi untuk menyusupkan program-program titipan yang justru jauh dari kebutuhan prioritas pendidikan.
“Menurut data dari lapangan, ada dugaan monopoli program di sektor pendidikan lewat dana BOS. Dua buku ini contohnya, dibeli dengan harga fantastis, padahal masih banyak kebutuhan mendesak lain di sekolah-sekolah,” ujarnya.
Pengadaan buku seperti itu, tandas dia, sangat berpotensi menurunkan kualitas pendidikan.
Sebab, anggaran yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan sarana belajar atau membeli buku pelajaran pokok dialokasikan pada hal yang tak menyentuh langsung kebutuhan siswa.
“Seharusnya, dana BOS itu diprioritaskan untuk kebutuhan mendesak siswa. Seperti perbaikan sarana belajar atau buku penunjang kurikulum, bukan untuk proyek yang tidak prioritas,” kata Genta.
Tak berhenti sampai disitu, tambahnya, GMNI menyoroti pula adanya kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, serta penurunan kualitas pembelajaran.
Itu merupakan tanggung jawab pemerintah agar tidak terjadi lagi kasus-kasus serupa, termasuk cara mengantisipasinya.
“Saat kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan masih marak, berarti pemerintah abai terhadap hak siswa. Belum lagi, adanya penurunan kualitas pembelajaran di sekolah. Pemerintah harus bertanggung jawab,” pungkasnya.
Editor: Mila Candra
Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini
Tidak ada komentar