REMBANG – Mondes.co.id | Pada malam yang hening, langit kembali menyajikan sebuah pertunjukan alam yang memukau.
Gerhana bulan merah atau yang sering disebut super blood moon, terjadi di langit Indonesia pada Minggu (7/9/2025) malam hingga Senin (8/9/2025) dini hari.
Fenomena ini tidak hanya menarik perhatian para astronom dan pengamat langit, tetapi juga membangkitkan kembali berbagai cerita mitologi dan keyakinan spiritual yang telah turun-temurun, terutama di kalangan masyarakat Jawa.
Di sisi lain, dalam ajaran Islam, gerhana dipandang sebagai salah satu tanda kebesaran Allah SWT dan momen untuk introspeksi diri.
Gerhana bulan total terjadi ketika matahari, bumi, dan bulan berada dalam satu garis lurus dan bumi berada di tengah-tengah.
Posisi ini menyebabkan bulan memasuki umbra atau bayangan inti bumi.
Selama fase ini, bulan tidak lagi menerima cahaya langsung dari matahari.
Namun, bulan tidak sepenuhnya hilang dari pandangan.
Ia akan tampak berwarna kemerahan yang muncul karena fenomena optik, hamburan Rayleigh.
Atmosfer bumi membiaskan atau membelokkan cahaya matahari.
Cahaya dengan panjang gelombang pendek seperti biru dan ungu, akan tersebar ke segala arah.
Sementara cahaya dengan panjang gelombang panjang seperti merah dan oranye, akan menembus atmosfer dan dibiaskan menuju bulan.
Cahaya merah inilah yang kemudian dipantulkan kembali ke bumi, membuat bulan terlihat seperti bola merah menyala.
Di Tanah Jawa, gerhana bulan seringkali dikaitkan dengan legenda kuno yang sarat akan makna filosofis.
Salah satu mitos yang paling terkenal adalah kisah Bathara Kala, raksasa yang mencoba menelan bulan atau matahari.
Menurut cerita, Bathara Kala adalah putra Batara Guru (Dewa Siwa) dan Dewi Uma.
Namun, kelahirannya tidaklah normal.
Ia dilahirkan dengan wujud raksasa yang mengerikan karena terlahir dari hasrat Batara Guru yang tidak terkendali.
Batara Kala tumbuh menjadi sosok yang rakus dan tidak terkendali.
Ia bahkan memiliki niat untuk melahap bulan dan matahari.
Ketika gerhana terjadi, masyarakat Jawa zaman dahulu percaya bahwa itu adalah ulah Bathara Kala yang sedang memakan bulan.
Untuk mengusir raksasa tersebut, mereka akan melakukan berbagai ritual, seperti memukul kentongan, lesung, atau alat-alat musik tradisional lainnya sekeras mungkin.
Suara-suara gaduh ini dipercaya dapat membuat Bathara Kala terkejut dan memuntahkan kembali bulan.
Mitos ini bukan sekadar cerita pengantar tidur, di dalamnya terkandung nilai-nilai kearifan lokal.
Bunyi-bunyian keras yang dilakukan masyarakat adalah bentuk solidaritas dan upaya bersama untuk “menyelamatkan” bulan.
Ritual ini juga mengajarkan tentang pentingnya melawan kebatilan atau kejahatan (Bathara Kala yang serakah) dan menjaga keseimbangan alam semesta.
Berbeda dengan mitologi yang penuh dengan kisah raksasa, Islam memandang gerhana sebagai salah satu tanda kebesaran dan kekuasaan Allah SWT.
Dalam Al-Qur’an maupun Hadis, gerhana bukanlah peristiwa yang dikaitkan dengan takhayul atau kejadian gaib, melainkan sebagai fenomena alam yang sudah diatur oleh Sang Pencipta.
Ajakan sholat gerhana membajiri sosial media, seperti yang ditulis Irhamun warga krikilan kecamatan sumber.
“Gerhana sudah mau mulai, mari sholat gerhana dulur-dulur,” ajaknya pada Minggu (8/9/2025) pukul 23.43 WIB.
Ketika terjadi gerhana, umat Islam disunahkan untuk melaksanakan shalat gerhana (sholat khusuf).
Sholat ini dilakukan sebagai bentuk penghambaan dan permohonan ampunan kepada Allah.
Tujuannya adalah untuk mengingat bahwa segala sesuatu, termasuk benda-benda langit yang besar sekalipun, berada dalam genggaman kekuasaan Allah.
Pelaksanaan sholat ini juga menjadi pengingat bagi manusia akan kerapuhan dan keterbatasan diri di hadapan Sang Pencipta.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak gerhana karena kematian seseorang atau karena hidupnya. Jika kalian melihat gerhana, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalatlah, dan bersedekahlah” (HR. Bukhari).
Hadis ini secara tegas menolak keyakinan bahwa gerhana terjadi karena kematian atau kelahiran seseorang.
Sebaliknya, Rasulullah SAW mengajarkan umatnya untuk merespons gerhana dengan perbuatan-perbuatan mulia, seperti sholat, berzikir, bertakbir, dan bersedekah.
Ini adalah momen untuk mendekatkan diri kepada Allah, memohon perlindungan, dan menyadari bahwa kehidupan di dunia hanyalah sementara.
Gerhana juga dimaknai sebagai pengingat akan hari kiamat.
Perubahan mendadak pada matahari atau bulan, dua benda langit yang menjadi sumber cahaya utama di bumi, seakan memberikan gambaran kecil tentang kekacauan yang akan terjadi pada akhir zaman.
Oleh karena itu, momen ini dianjurkan untuk diisi dengan istighfar (memohon ampun), tobat, dan meningkatkan ibadah.
Gerhana bulan merah adalah perpaduan unik antara sains, mitologi, dan spiritualitas.
Dari sudut pandang sains, ia adalah bukti keindahan dan keteraturan alam semesta yang diatur oleh hukum-hukum fisika.
Bagi masyarakat Jawa, ia adalah pengingat akan kisah-kisah kuno yang kaya akan kearifan lokal.
Sementara dalam Islam, ia adalah momen yang sarat dengan makna religius, menyeru umat untuk kembali kepada Allah, memohon ampunan, dan merenungkan kebesaran-Nya.
Dengan demikian, gerhana bulan merah bukan sekadar peristiwa alam biasa, melainkan sebuah cermin yang merefleksikan beragam pandangan dan keyakinan manusia di seluruh dunia.
Editor: Mila Candra
Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini
Tidak ada komentar