Dulu Saksi Perjuangan, Jembatan Jaken-Sumber Kini Jadi Jalur Alternatif Antar Provinsi

waktu baca 4 menit
Jumat, 28 Jun 2024 16:14 0 664 Singgih Tri

PATI – Mondes.co.id | Perbatasan antara Kabupaten Pati dan Rembang, terdapat sebuah bangunan berusia tua yang masih menjadi penopang lalu lintas penghubung kedua wilayah itu.

Bangunan itu ialah Jembatan Randugunting, yang mana sebuah bangunan bertahun-tahun dengan komponen infrastruktur peninggalan pemerintah kolonial, tepatnya berada di Desa Srikaton Kecamatan Jaken dan Desa Sekarsari Kecamatan Sumber.

Jembatan Randugunting sendiri memiliki bentuk khas desain Eropa, berwarna merah muda dan dibentuk dengan pagar yang melengkung membawa kesan epic. Dilengkapi rangkaian besi tua yang tersambung dengan pemandangan tanaman rimbun di sekitar.

Meski tampak estetik, tetapi bangunan tersebut hanya mampu digunakan satu lajur kendaraan saja, kondisi yang sempit tak mampu untuk berpapasan dua kendaraan.

Jembatan Randugunting berukuran panjang 20 meter dan lebar 2,10 meter, berdiri di atas Sungai Randugunting dengan jarak ketinggian 10 meter.

Sampai saat ini, jembatan masih berfungsi sebagai penghubung jalur alternatif pengguna jalan, jikalau kondisi Pantura macet. Kerap kali ditemukan kendaraan roda empat, seperti truk, bus antar kota, dan bus antar provinsi yang melintas jembatan kecil nan tua tersebut.

Di samping itu, kendaraan bermuatan yang berasal dari Jawa Timur untuk menuju ke Jawa Tengah maupun ke wilayah lain yang harusnya melintasi Pantura, memilih jalur Kecamatan Sumber ke Kecamatan Jaken.

Letak jembatan tersebut membagi dua wilayah kabupaten, sisi barat Kabupaten Pati dan sisi timur Kabupaten Rembang.

Menurut penuturan sesepuh desa setempat, Sudarko, jembatan itu sudah berdiri sejak masa-masa pemerintahan kolonial Belanda. Namun, karena semangat pejuang Indonesia ingin memutus jalur ekonomi penjajah, maka jembatan pun dibongkar.

BACA JUGA :  Ratusan Anggota Polisi Jalani Tes Kesehatan, Termasuk Kelebihan Berat Badan

Pria yang menjabat sebagai Kepala Desa Srikaton pada 1989-2008 itu mengungkap jika jembatan dibangun lagi oleh pemuda setempat di tahun 1972, ketika pihak Belanda meninggalkan Indonesia.

“Dulu sewaktu Belanda menjajah negeri kita dari wilayah ke wilayah melewati jalan atau jembatan agar bisa lancar, salah satuya jembatan itu (Jembatan Randugunting). Kalau lancar kita selalu dijajah, makanya jalan jembatan ini sengaja dibongkar,” ujarnya kepada Mondes.co.id, Jumat (28/6/2024).

“Saya masih menyaksikan puing-puing itu pada 1960-an. Seiring berjalannya waktu Indonesia Belanda pergi, pejuang ingin ekonomi bangkit kembali biar akses ke berbagai daerah lancar, jembatan itu dibangun lagi di 1972,” imbuh Sudarko.

Ia mendeskripsikan bahwa konstruksi bangunan masih dirangkai dengan pondasi strauss pile. Dibangun dengan cara menggali tanah secara manual memanfaatkan bor. Proses tersebut menggunakan tenaga manusia.

“Itu semi Belanda karena ada sebagian material peninggalan Belanda, kemudian dilengkapi pihak kita, makanya istilah ‘jembatan londo’ masih melekat. Komponen pondasi strauss pile dengan kedalaman tertentu mencapai tanah keras, dikasih rangkaian besi, baru dicor. Tidak seperti sekarang canggih, makanya pakai paku bumi tetapi dulu dibor dulu,” terang mantan Kepala Desa Srikaton saat diwawancarai.

Menurutnya, bangunan semi Belanda itu memiliki fungsi yang sangat vital mendukung akses ekonomi nasional. Akses lalu lintas antar kota dan antar provinsi melintasi Jembatan Randugunting menjadi alternatif yang dipilih, lantaran paling dekat dengan jalur Pantura, jika bermasalah.

“Meski bangunan ini sudah 52 tahun, namun bus masih bisa lewat. Bukan hanya kepentingan masyarakat sini, tetapi bisa jadi jalur alternatif yang pertama. Kalau Pantura macet, bagaimanapun bus antar wilayah pada memilih lewat sini. Saya lihat sendiri dari dulu bus malam antar pulau juga lewat, harus mengantre,” terangnya.

BACA JUGA :  Pendapa Alit Direnovasi, Wacana Bakal Jadi Rumah Dinas Bupati Jepara 

Namun, kondisi jembatan yang berusia puluhan tahun tidak direkomendasikan untuk truk bermuatan berat, karena dikhawatirkan jembatan tak mampu menahan beban kendaraan. Dikarenakan, jalan jembatan hanya bisa dilintasi satu lajur saja, maka warga setempat berjaga di sisi jembatan mengarahkan kendaraan yang melaju.

“Kendaraan besar bisa lewat, tetapi truk berat tidak boleh, paling maksimal truk tebu. Ada warga sekitar yang sukarela membantu lalu lintas sini, karena ada antrean agar pengguna jalan tertib tidak semaunya sendiri,” ungkap pria yang kini aktif di Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

Masyarakat setempat memanfaatkan untuk jalur pertanian maupun ekonomi. Terkadang para petani tebu yang berasal dari timur jembatan melewatinya, guna distribusi hasil pertanian ke pabrik gula yang ada di Kecamatan Tayu maupun Kecamatan Trangkil.

“Biasanya dimanfaatkan warga untuk ke sawah, ladang, yang jelas untuk lalu lintas perekonomian, apalagi kini musim tebu. Sehingga petani tebu dari Rembang yang mau kirim pabrik gula lewatnya sini. Itu kebutuhan masyarakat yang harus diperhatikan pemerintah, karena andaikan jembatan rusak, ekonomi rugi,” katanya.

Pihaknya mendorong supaya pemerintah memerhatikan kondisi Jembatan Randugunting agar jembatan yang berusia tua layak dilintasi pengguna jalan dengan aman dan nyaman.

“Kami imbau pemeritah karena jembatan ini kurang layak, umurnya juga lama. Selain itu, demi memperlancar lalu lintas, harus dibangun jembatan yang sesuai kebutuhan saat ini, karena jembatan yang sudah lama ini kurang layak,” pungkasnya.

Editor: Mila Candra

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA

Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini