PATI – Mondes.co.id | Termasuk dalam satu golongan Bahasa Jawa, namun punya ciri khas yang berbeda dengan Bahasa Jawa lainnya karena memiliki dialek yang khas.
Inilah dialek Pati, yang di dalamnya ada kosakata maupun struktur bahasa unik di antara dialek lainnya, yang semakin membuktikan bahwa Bahasa Jawa kaya akan kerberagaman.
Kata ‘go’, ‘leh’, ‘em’, ‘gage’ menjadi penanda jika penutur kata-kata tersebut berasal dari Kabupaten Pati dan sekitarnya yang terpengaruh dengan dialek Bumi Pesantenan. Inilah yang merupakan ciri khas dialek Pati.
Menurut Dosen Bahasa dan Satra Jawa Universitas Negeri Semarang (UNNES) Dr. Sucipto Hadi Purnomo, dialek merupakan bagian dari bahasa yang mencakup aspek lesan dan tulisan dalam sebuah sub unit kebahasaan.
Dalam Bahasa Jawa terdiri dari unsur kewilayahan yang membedakan bahasa tersebut di setiap daerah.
Contoh, Bahasa Jawa dialek Tegal berbeda dengan dialek Semarangan, dialek Mataram, dialek Arekan, maupun dialek Pati (daerah pesisir Jawa Tengah bagian timur).
“Dialek adalah bagian dari bahasa yang mencakup aspek lesan dan tertulis dalam sebuah sub unit kebahasaan. Jadi misalnya dalam Bahasa Jawa ada terdiri dari unsur secara kewilayahan yang membedakan antar wilayah lainnya, contoh sekalipun sama-sama Jawa, antara Tegal dan Pati pasti berbeda, antara Tegal dan Surakarta berbeda,” ungkapnya.
“Dialek Pati ditandai dengan menyebut ‘go’ , ‘leh’, kemudian ditandai juga dengan penggunaan ‘mu’ menjadi ‘em’, itu salah satu penanda yang membedakan Pati dengan daerah lainnya mengucapkan ‘em’. Biasanya juga muncul istilah ‘gagego’, lalu ada ucapan ‘ndak yo leh’, ini mesti orang Pati atau Rembang, Blora, Kudus. Adanya ‘go’ dan ‘leh’ bagi Pati sebagai bentuk penekanan, sejajar seperti kalau di Semarang ada akhiran ‘to’ ataupun ‘ik’,” lanjut akademisi atau pakar kebahasaan tersebut.
Selain dialek, Pati juga terkenal dengan logat yang amat sangat kental.
Dikatakannya, logat berbeda dengan dialek, karena logat merupakan ucapan lesan terhadap dialek itu sendiri, yang memiliki irama serta nada berbeda dengan Bahasa Jawa lainnya.
Umumnya, logat Bahasa Jawa penutur Pati dianggap kasar dibandingkan penutur Surakarta, akan tetapi kasar atau halus sangat relatif dan terkesan subjektif.
Contoh logat yang paling terkenal di Bahasa Jawa adalah logat Ngapak yang familiar terdengar oleh penutur asal Tegal, Pemalang, Brebes, Banyumas, Banjarnegara, Purbalingga, Kebumen, dan Cilacap.
“Tetapi dialek sendiri ada sub dialek bahkan ada kemudian ciri khas pengucapannya setiap desa sering ada penanda, sedangkan kalau logat berkaitan dengan nada dan irama, naik-turunnya kata yang diucapkan. Kalau almarhum Ki Seno Nugroho mencontohkan logat Jawa Timur asal srogal-srogol, kalau ke warung nggak mungkin dengan mempersilahkan ‘monggo’ karena ada istilah lain yang singkat, berbeda dengan Yogyakarta yang mengucapkan ‘monggo’,” ujarnya.
Di samping itu, karakteristik penutur dialek Pati ditandai dengan tembung lancah, seperti beberapa kata yang hanya diambil bagian belakang saja.
Contoh tembung lancah di antaranya ‘durung’ menjadi ‘rung’, ‘mlebu omah’ menjadi ‘bomah’, ‘ora’ menjadi ‘ra’, ‘disek’ menjadi ‘sek’, dan lain-lain.
Ciri lainnya, orang Pati menyebut ‘putih’ dengan ‘puteh’ dan ‘waluh’ dengan ‘waloh’.
“Penanda lainnya, kata diambil belakangnya saja bahkan ada yang sangat ekstrem, tembung ‘mlebu omah’ menjadi ‘bomah’, yang awalnya hanya untuk masuk rumah menjadi bahasa untuk masuk kemanapun termasuk di angkot atau mobil, sehingga menjadi kata baru ‘bomah’ artinya ‘masuk’,” terangnya. Ciri lainnya orang Pati tidak pernah mengucapkan ‘waluh’ melainkan ‘waloh’, ‘putih’ melainkan ‘puteh’. Termasuk uniknya orang Pati kalau tertawa menyebutnya ‘kudu ngguyu’,” urai pria yang menghabiskan masa kecilnya di Desa Trikoyo, Kecamatan Jaken itu.
Sebagai informasi, Sucipto mendedikasikan diri sebagai akademisi di kampus negeri ternama di Kota Atlas, yang mana telah bertahun-tahun meninggalkan kota berjuluk Bumi Mina Tani.
Walau demikian, kecintaan terhadap Pati ia buktikan dengan menulis 800 seri cerita bersambung berbahasa Jawa dengan dialek Pati tentang kisah Saridin, melalui risetnya ke berbagai tempat umum di Kabupaten Pati.
Dirinya mengaku belum meneliti secara komprehensif tentang klasifikasi penanda dialek di sebuah daerah.
Oleh karena itu, ia mempelajari lagi karakteristik dialek asalnya dengan menyempatkan pulang untuk mengingat kembali keunikan bahasanya orang Pati.
“Saya bertahun-tahun meninggalkan Pati merasa perlu recharge kosakata Pati dengan cara pulang ke Pati dan menyempatkan diri masuk ke pasar tradisional ke Juwana, Ngulakan, naik angkudes (angkutan desa). Beberapa kata saya catat agar menjadi identitas mengingat kembali ketika menulis cerita bersambung dalam bahasa berdialek Pati di Suara Merdeka tentang Saridin sampai 800 seri, sejak 20 tahun silam,” jelasnya.
Membahas tentang dominasi dialek Mataram di Bahasa Jawa, ia menyatakan jika kondisi ini sangat lumrah.
Pengaruh Keraton Solo dan Yogyakarta sangat kuat seantero Jawa, apalagi banyak pujangga utusan keraton yang berkarya sastra.
Selain itu, banyak pula penulis Bahasa Jawa yang berasal dari daerah Surakarta.
Adapun berbagai literatur Bahasa Jawa yang memakai dialek Mataram seperti buku pelajaran sekolah maupun cerita-cerita rakyat.
Kenyataan itu ada lantaran dialek Mataram sudah menjadi standar Bahasa Jawa.
“Diakui bahwa Surakarta dan Yogyakarta menjadi pusat kebudayaan Jawa sampai sekarang karena peran masa lalu yang dilakukan pujangga keraton, sehingga kitab-kitab Jawa lahir dari rahim keraton. Bahkan Babad Pati dan Serat Syekh Jangkung tidak ditulis dengan dialek Pati melainkan ditulis oleh penulis Surakarta dengan dialek Mataram,” terangnya.
Di setiap pementasan, dialek Pati pernah eksis ketika dunia perwayangan menghadirkan dalang bernama Mbah Toyo (era 1980-an).
Namun, setelah masanya habis, tak ada lagi yang menggunakan dialek Pati dalam pagelaran wayang kulit.
“Misalkan ada dalang Mbah Toyo di era 80-an, namun era dalang berikutnya justru saya ndak pernah mendengar dialek Pati di pagelaran. Kalau dialek Tegal-Banyumasan ada Ki Entus Susmono yang adegan punokawannya meriah dengan khasnya, ataupun dialek Kebumen dari dalang Eko Suwaryo,” sebutnya.
Di pentas seni ketoptak, grup Wahyu Manggolo sangat kental membawakan dialek Pati di sesi humor, kondisi demikian menyebabkan ketoprak Wahyu Manggolo menjadi yang paling laris ditanggap.
Bahkan, di masa-masa sedekah bumi maupun event tertentu, Wahyu Manggolo memiliki jadwal yang lebih padat daripada ketoprak lainnya, seperti Siswo Budoyo, Wahyu Budoyo, dan lain-lain.
“Kalau ketoprak dengan eksis dialek Pati Wahyu Manggolo. Menariknya dalam pementasan sering menggunakan format humor dagelan, misalkan lakon Mendut Boyong tentang geger Pati Pesantenan berujung pertikaian Wasis Wijoyokusumo melawan Panembahan Senopati. Hampir sepanjang pertunjukkan humor disajikan erat lekat dengan dialek Pati,” ungkap putra seniman ketoprak Trisno Budoyo tersebut.
Ternyata dialek Pati juga menyebar secara signifikan di Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang.
Beberapa warga setempat memiliki dialek dan logat yang mirip orang asal Kabupaten Pati, seperti menyebut kata ‘waloh’ hingga menyebut warna ‘putih’ dengan ‘puteh’.
Situasi ini tak lepas dari unsur historis yang pernah ada.
“Saya nggak khawatir tentang kelestarian dialek Pati, justru saya yakin bahwa salah satu kata pada Kecamatan Gunungpati (‘Pati’) tak lepas dari Pati benar adanya. Dari aspek kebahasaan, banyak warga sana yang memiliki penuturan kata beda dari orang Semarang biasanya, ini sebagai pewarisan mitos yang berkembang,” katanya.
Sucipto mengatakan bahwa pernah ada sejarah tokoh dari Kadipaten Pati, yakni Wasis Wijoyokusumo bersama pengikutnya menjauh dari tempat asal karena kalah perang dari Kerajaan Mataram, kemudian bertapa di wilayah yang dikenal sebagai Gunungpati.
Namun, ada versi cerita yang berbeda yang menyebut jika Wasis Wijoyokusumo terbunuh oleh raja Mataram, Panembahan Senopati.
Diketahui, Makam Wasis Wijoyokusumo berlokasi di Jalan Raya Gunungpati, No. 29 yang berada di Kecamatan Gunungpati.
Makamnya berjarak 7 kilometer dari UNNES.
Wasis Wijoyokusumo atau dikenal sebagai Pragola I merupakan seorang Adipati Pati, ia meneruskan posisi ayahnya yakni Ki Ageng Penjawi.
“Ada keyakinan Wasis Wijoyokusumo mati terbunuh oleh Panembahan Senopati yang sakti mandraguna, namun di cerita lain Wasis Wijoyokusumo tidak terbunh, melainkan mencoba minggir ke Gunungpati menjadi pertapa dan menyebarkan agama maupun masuk arena politik,” ungkapnya.
Penutur dialek Pati tidak hanya orang Kabupaten Pati saja, ada juga dari Kabupaten Rembang, Kudus, Blora, serta sebagian Jepara dan salah satu kecamatan di Kota Semarang.
Editor: Mila Candra
Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini
Tidak ada komentar