DBD Intai Warga di Musim Hujan, Dinkes Pati: Lakukan PSN Secara Masif

waktu baca 3 menit
Kamis, 7 Des 2023 21:52 0 702 Singgih Tri

WASPADA: Kabid P2P Dinas Kesehatan Pati, dr. Joko Leksono Widodo, MM saat diwawancarai Mondes.co.id. (Mondes/Singgih)

PATI – Mondes.co.id | Dinas Kesehatan Kabupaten Pati mencatat data sebaran Demam Berdarah Dengue (DBD) dari Januari hingga Oktober 2023 sebanyak 411 kasus. Kasus terbanyak terjadi pada Januari ketika kondisi kelembaban sedang tinggi-tingginya. Apalagi DBD sangat erat kaitannya dengan musim penghujan yang tiba pada musimnya terhitung di antara bulan Oktober sampai dengan April.

 

Menurut Kepala Bidang (Kabid) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kabupaten Pati, dr. Joko Leksono Widodo, MM., kasus DBD paling banyak pada Januari, kemudian berangsur turun di bulan-bulan berikutnya. Namun, kasus perlu diwaspadai lagi ketika musim penghujan kembali datang pada November ini. Pasalnya, nyamuk Aides Aygepti membutuhkan kondisi lembab untuk melakukan perindukkan.

 

“Kewaspadaan pergantian musim ini ketika sudah memasuki penghujan, Oktober sampai dengan April. Di November sampai Desember ini musim hujan sudah datang, kondisi sudah lembab. Kelembaban tersebut menyebabkan nyamuk Aides Aygepti untuk melakukan perindukan,” ujarnya kepada Mondes.co.id, kemarin.

 

“Kasus DBD di Pati mengalami penurunan, pada Januari tertinggi di tahun 2023. Kemudian turun terus hingga terendah Agustus dan September, karena faktor alam. Ketika musim kemarau mereka tidak ada tempat perindukan,” sambungnya saat ditemui di kantor.

 

Menurutnya mencegah penyebaran wabah DBD dapat dilakukan dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Seluruh masyarakat di Kabupaten Pati menurutnya perlu sadar kebersihan lingkungan sebagai pembiasaan memutus rantai penyebaran DBD. Dengan PSN ini menjadi antisipasi yang efektif karena minim biaya, mudah diterapkan, dan bisa dilakukan kapanpun serta dimanapun.

BACA JUGA :  Puskesmas Bangsri Terima Estafet Pendampingan Balita Stunting dari IDI

 

Selama satu minggu sekali, masyarakat bisa melakukan PSN karena siklus perkembangbiakan nyamuk Aides Aygepti dari telur, larva, menuju dewasa membutuhkan waktu 6-7 hari. Di samping itu, pihaknya bersama dengan tim promkes senantiasa menggencarkan edukasi ke masyarakat di desa-desa akan pentingnya PSN sebagai upaya jitu mencegah penyebaran DBD.

 

“Yang utama PSN, di Pati itu ada ‘Sikat Wae’ yang sudah diluncurkan oleh Pak Bupati sejak 2017. Istilah ini merujuk agar elemen masyarakat Pati, tidak hanya Dinkes (Dinas Kesehatan), dokter, puskesmas (pusat kesehatan masyarakat) yang terlibat, melainkan semuanya termasuk pramuka maupun LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) untuk turut membiasakan PSN. Daripada mengandalkan fogging, itu sangat tidak efektif,” terangnya.

 

Ia menekankan agar masyarakat tidak merasa ketergantungan pada permintaan fogging karena fogging hanya mampu memberantas nyamuk yang sudah tumbuh dewasa, fogging tidak dapat menjangkau jentik-jentik yang berada di titik-titik tertentu, seperti genangan air, tempat pembuangan, kolam, dan tempat penampungan air lainnya. Ia menegaskan jika pilihan fogging kurang tepat untuk memberantas sarang nyamuk sampai ke perindukannya, bahkan dirinya merasa masyarakat Kabupaten Pati sedikit-sedikit minta fogging yang justru hanya berdampak kecil.

 

Perlu diketahui, fogging biasanya dilakukan selama dua kali di minggu pertama dan kedua. Sehingga, jika penyemprotan pertama hanya membunuh nyamuk dewasa, maka penyemprotan kedua juga hanya membasmi nyamuk dewasa yang sebelumnya masih di masa jentik-jentik.

 

“Kami mempunyai tenaga yang turun ke desa, mereka merupakan promkes yang bertugas setiap minggu mengedukasi masyarakat tentanhg kesadaran PSN daripada fogging. Kinerja mereka ditunjang oleh adanya BOK (Bantuan Operasional Kesehatan), dan bila kewalahan, maka kami akan membantu dengan tenaga dari dinas,” ucapnya.

BACA JUGA :  Antisipasi Kejahatan Saat Mudik Lebaran, Polresta Pati Bakal Patroli 24 Jam Non-Stop

 

Ia menjelaskan ketidak efektifan penggunaan fogging mulai dari biaya operasional mahal, tenaga ahli yang terbatas, serta bahaya pencemaran udara, terutama bila menggunakan malation di sembarang tempat.

Editor: redaksi

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA

Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini