Bahasa Ibu Mulai Terasa Asing, Guru dan Siswa di Sekolah Bingung Nulis Aksara Jawa

waktu baca 2 menit
Sabtu, 20 Jul 2024 16:48 0 535 Singgih Tri

PATI – Mondes.co.id | Di tengah gempuran globalisasi yang menyelimuti Indonesia zaman sekarang, menyebabkan pembiasaan masyarakat melestarikan Bahasa Jawa sebagai Bahasa Ibu minim. Bahkan, materi Bahasa Jawa yang ada di satuan pendidikan kini berkurang.

Menurut Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Pati, Paryanto, pengaruh masifnya globalisasi menyebabkan perubahan kebiasaan generasi. Ia membandingkan generasi kini dengan masa lalu yang sangat jauh berbeda.

“Era sekarang beda sekali dengan generasi kita zaman dulu, karena pengaruh globalisasi yang masif. Kemudian pembelajaran Bahasa Jawa di sekolah sangat berkurang,” sebutnya saat ditemui awak media belum lama ini.

Paryanto yang sebelumnya pernah menjabat Kepala Bidang (Kabid) Kebudayaan Disdikbud Kabupaten Pati mengakui, banyak guru di sekolah yang kurang mengimplementasikan ajaran-ajaran tradisi dalam Suku Jawa, seperti bahasa, tata krama, serta unggah-ungguh.

Ia amat menyayangkan hal tersebut, apalagi peranan guru sangat penting untuk mendidik generasi penerus bangsa.

Kendati demikian, berbagai agenda dilangsungkan untuk mengarahkan program pembelajaran Bahasa Jawa agar Bahasa Ibu ini bisa tetap lestari.

“Dan guru kami juga tidak paham dengan Bahasa Jawa sendiri, mengajarkan subasita (sopan santun), unggah-ungguh, tata krama agak kurang. Sopan santun di anak-anak belum sesuai yang kita harapkan karena kami akui guru Bahasa Jawa kami banyak tidak tahu,” ungkapnya.

Di samping itu, materi pelajaran Aksara Jawa terhambat untuk bisa dikenali oleh peserta didik bahkan guru sendiri pun kesulitan. Menurutnya, masih banyak institusi pendidikan yang kurang berkompeten mengajarkan Bahasa Jawa, karena kualitas tenaga pendidik yang kurang mumpuni.

BACA JUGA :  BPS Gandeng Pelajar SMA N 1 Pati Melek Statistik 

“Walaupun masih banyak sekolah yang Bahasa Jawa, khususnya Aksara Jawa buruk karena gurunya kurang menguasai, beda dengan zaman saya dulu. Contoh ‘saya makan dulu’ dan ‘saya pulang dulu’ diterapkan dengan Bahasa Krama ‘kula dhahar riyen’ dan ‘kula kundur riyen’, padahal itu keliru,” tegas Paryanto.

Dengan demikian, setiap tahun pemerintah selalu menggelar Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) sebagai sarana pelestarian Bahasa Ibu yang melibatkan pelajar untuk menampilkan capaian belajar bahasa daerahnya melalui berbagai pertunjukkan menarik. Di samping itu, penataran kerap digelar oleh guru-guru Bahasa Jawa untuk melestarikan bahasa asli Indonesia ini.

“Tiap tahun ada FTBI yang sudah sering diadakan, mulai dari pidato Bahas Jawa, penuturan Bahasa Krama yang tepat, penulisan Aksara Jawa. Lalu guru-guru mengikuti penataran untuk melestarikan Bahasa Ibu ini,” paparnya.

Editor: Mila Candra

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA

Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini