Arak Kereneng Simbol Kesederhanaan dan Syukur Warga Banjaran

waktu baca 3 menit
Minggu, 9 Jul 2023 08:32 0 832 mondes

JEPARA – Mondes.co.id | Ada tradisi unik yang dilakukan masyarakat Dukuh Kebuk Kidul, Desa Banjaran, Kecamatan Bangsri. Mereka menggelar tradisi manganan setahun sekali. Apa makna tradisi ini sesungguhnya?

Dua ribu lebih warga desa Dukuh Kebuk Kidul dan dukuh-dukuh tetangga ‘tumplek blek’ di area makam, Minggu 9 Juli 2023.

Mereka dengan semarak mengarak kereneng atau keranjang raksasa yang terbuat dari bambu. Kereneng diarak mengelilingi desa.

Menurut kepercayaan, kereneng ini sekaligus sebagai symbol kesederhanaan masyarakat desa.

Selain itu, meremang ini sekaligus untuk berkampanye mengurangi penggunaan plastik.

Warga menggunakan bahan-bahan alami sebagai wadah makanan dalam acara haul leluhur.

Manganan sendiri bermakna selamatan sekaligus makan bersama di Makam Mbah Surojoyo.

Tokoh sekaligus leluhur yang diyakini masyarakat sebagai cikal bakal adanya Dukuh Kebuk Kidul.

Dua buah kereneng raksasa memimpin rombongan masyarakat.

Imitasi Kereneng itu berisi nasi yang terbuat dari sterofom dan lauk-pauk dari kayu yang dihancurkan.

Sementara di area makam, kaum ibu sibuk memasak nasi dan beragam lauk-pauk yang disuguhkan kepada peziarah yang datang dari berbagai desa bahkan luar kota.

Tak terlihat wadah makanan dari plastik. Mereka menggunakan daun jati dan kereneng.

Juru kunci makam, Ngateno menyampaikan, kereneng sendiri memiliki makna kesederhanaan masyarakat Dukuh Kebuk Kidul di zaman dulu.

Sebelum adanya plastik, Manganan selalu identing dengan kereneng.

“Masyarakat memanfaatkan bambu dan dedaunan yang melimpah di sekitar mereka. Bahkan, dulu masyarakat masih menggunakan batok kelapa untuk menyiduk olahan saat Manganan,” kata Ngateno.

BACA JUGA :  Jangan Main-Main, Lampu Kuning untuk Kepala Desa

Seiring berkembangnya zaman, lanjut Ngateno, masyarakat justru menggunakan keranjang yang terbuat dari plastik sebagai wadah makanan. Perilaku itu berjalan bertahun-tahun.

Setidaknya dalam empat tahun terakhir, Ngateno berinisiatif untuk mengembalikan tradisi Manganan dengan menggunakan kereneng.

Alasannya, dia ingin mengajak masyarakat mengurangi penggunaan plastik.

Selain itu, tujuan Ngateno yaitu supaya generasi sekarang tidak lupa dengan tradisi leluhur.

Dampak positifnya, pemuda-pemuda yang sebelumnya tidak bisa membuat kereneng, kini mereka bisa membuatnya sendiri.

“Jadi, sekarang kami sepakat untuk mengurangi penggunaan plastik dengan cara menjalankan tradisi leluhur. Semua yang kami suguhkan kepada masyarakat berbahan alami dari alam di sekitar kita,” tutur Ngateno.

Tahun ini panitia menyediakan sedikitnya 2.500 kereneng.

Nasi yang sudah disiapkan panitia akan diberi lauk-pauk alakadarnya masyarakat desa.

Seperti tahu, tempe, ikan dan sedikit irisan daging kambing.

Ngateno menambahkan, tradisi Manganan Makam Mbah Surojoyo ini rutin dilaksanakan setiap Malam Senin Pahing di bulan Dzulhijjah.

Selain arak-arakan, dilaksanakan juga ziarah bersama, hataman Al-Qur’an, pengajian umum dan pementasan rebana tradisional.

“Masyarakat di sini meyakini bahwa kereneng yang didoakan di acara haul Mbah Sutojoyo membawa keberkahan tersendiri. Berkah untuk masyarakat. Berkah juga untuk lingkungan dan alam,” tutur Ngateno. (Ar/Dr)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA

Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini