Foto: Ilustrasi budaya Jawa ngalungi sapi (Mondes/AI) REMBANG – Mondes co.id | Memasuki hari Jumat Pahing di bulan Rajab, suasana di pedesaan Jawa terasa berbeda.
Sejak fajar menyingsing, para peternak tidak langsung membawa hewan mereka ke sawah atau mencari rumput.
Para peternak sibuk menyiapkan sesaji dan untaian janur kuning guna melaksanakan tradisi leluhur yang dikenal dengan sebutan Ngalungi Kewan.
Tradisi Ngalungi Kewan (mengalungkan janur pada hewan) adalah upacara adat yang ditujukan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kesehatan dan keselamatan hewan ternak.
Dalam filosofi masyarakat Jawa, hewan ternak seperti sapi, kerbau, dan kambing dianggap sebagai “rojo koyo” atau raja kekayaan yang menjadi penopang utama ekonomi keluarga.
Pemilihan waktu pada bulan Rajab, tepatnya pada hari Jumat Pahing, dipercaya sebagai waktu yang paling sakral atau weton yang baik untuk memanjatkan doa agar hewan ternak terhindar dari penyakit (pagebluk) dan dapat berkembang biak dengan baik.
Ritual ini biasanya melibatkan beberapa tahapan yang sarat akan simbolisme.
Para peternak membuat kalung dari janur (daun kelapa muda) yang dianyam menyerupai ketupat atau hiasan sederhana.
Janur melambangkan “jatining nur” atau cahaya sejati yang membawa harapan kebaikan.
Di pelataran rumah atau dekat kandang, disiapkan nasi tumpeng lengkap dengan sayur mayur, lauk pauk, dan jajan pasar.
Tak lupa disertakan kembang setaman dan kemenyan yang dibakar untuk menambah kesakralan.
Tetangga sekitar diundang untuk mengikuti doa bersama yang biasanya dipimpin oleh sesepuh desa.
Doa yang dipanjatkan merupakan campuran antara ayat-ayat suci dan rapalan doa bahasa Jawa (ujub) yang memohon keselamatan bagi pemilik dan hewan ternaknya.
Setelah doa usai, pemilik ternak akan mengalungkan janur tersebut ke leher sapi atau kerbau mereka.
Terkadang, hewan-hewan tersebut juga diusap dengan air yang telah dicampur kembang.
Selain aspek spiritual, tradisi ini berfungsi sebagai sarana mempererat tali silaturahmi antar warga.
Melalui kenduri, warga berkumpul, berbagi makanan, dan saling bertukar kabar tentang kondisi ternak mereka.
“Ini adalah cara kami berterima kasih. Sapi-sapi ini sudah membantu dulu membajak sawah dan memberi hasil untuk menyekolahkan anak. Maka, setahun sekali mereka kami ‘muliakan’ dengan ritual ini,” ujar Mbah Ngadiman warga Rembang, Jumat (26/12/2025).
Meskipun mekanisasi pertanian kini mulai menggantikan peran sapi dan kerbau dalam membajak sawah, tradisi Ngalungi Kewan tetap bertahan.
Bagi masyarakat, tradisi ini bukan lagi soal fungsi alat bantu kerja, melainkan penghormatan terhadap mahluk hidup yang berbagi ruang kehidupan dengan manusia.
Pelestarian tradisi ini diharapkan dapat memperkuat jati diri masyarakat Rembang dan sekitarnya sebagai bangsa yang menghargai alam dan seisinya.
Editor: Mila Candra
Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini
Tidak ada komentar