PATI – Mondes.co.id | Septyana Candra Puspita, seorang gadis asal Desa Karangkonang, Kecamatan Winong, Kabupaten Pati memberikan kisah inspirasi bagi kalangan muda.
Bagaimana tidak? Di usianya yang masih 23 tahun, dirinya telah menjadi seorang dosen.
Kini Septyana mengajar mahasiswa/mahasiswi di Universitas Sragen (UNISSRA).
Cita-cita sebagai dosen sudah ia targetkan sejak berkuliah, sehingga ia menempa diri di bidang akademik, organisasi, dan berbagai kegiatan penunjang portofolio.
Menurutnya, menjadi seorang dosen di usia muda penuh dengan tantangan.
Berbagai tanggung jawab dijalankannya dengan cukup ekstra.
“Sejak semester awal kuliah, saya sudah menetapkan tujuan ingin menjadi dosen, maka saya serius di akademik, aktif organisasi, dan ikut berbagai kegiatan yang bisa menunjang portofolio saya. Menjadi dosen di usia 23 tahun tentu bukan hal yang mudah, tapi juga bukan hal yang mustahil. Ada beberapa tips dan trik yang saya jalani hingga bisa sampai ke titik ini,” ucapnya kepada Mondes.co.id, Selasa, 1 Juli 2025.
Ia menyampaikan, derap langkahnya berjuang menjadi seorang dosen yang dimulainya sejak Mei 2024 lalu.
Dengan keyakinan dari dalam hati dan dorongan orang tua, Septyana berproses dengan baik untuk menuju langkah menjadi orang sukses seperti lulus kuliah tepat waktu dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) cumlaude, aktif menulis, membangun relasi, dan tak pernah berhenti belajar.
“Yang memotivasi saya hingga bisa melangkah sejauh ini adalah semata-mata hanya untuk kedua orang tua, keyakinan bahwa setiap langkah kecil jika dilakukan dengan konsisten dan penuh makna akan membawa perubahan besar. Saya selalu percaya bahwa proses belajar tidak pernah berhenti dan setiap tantangan adalah peluang untuk tumbuh,” ungkapnya.
Menurutnya, jadi dosen muda perlu dilengkapi dengan kesiapan mental, kapasitas, dan komitmen.
Ia bertekad memberikan pengaruh positif di lingkungannya selama menjadi seorang akademisi.
“Menjadi dosen muda bukan hanya soal usia, tapi tentang kesiapan mental, keilmuan, dan komitmen untuk terus berkembang. Usia muda justru menjadi kekuatan kalau kita bisa manfaatkan energi dan kreativitas dengan baik,” tuturnya.
Diketahui, Septyana merupakan lulusan terbaik Sarjana (S1) Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi (FIPP) Universitas Negeri Semarang (UNNES) pada 2023.
Setelah itu, ia melanjutkan studi Magister (S2) di kampus yang sama dan lulus pada Desember 2024.
“Saya meyakini bahwa keberhasilan bukan hanya soal pencapaian pribadi, tapi tentang dampak yang bisa kita hadirkan untuk lingkungan, pendidikan, dan generasi setelah kita. Itulah yang mendorong saya untuk terus melangkah, belajar, dan berkembang,” tuturnya.
Diketahui, pencapaian sebagai lulusan terbaik menghantarkan Septyana semakin percaya diri menatap langkah karirnya.
Track recordnya di dalam penulisan artikel ilmiah mendorongnya memperkaya basic keilmuan di bidang pendidikan tinggi.
“IPK bukan segalanya, tapi dalam seleksi dosen, itu adalah pintu awal, karena saya targetkan lulus S1 tepat waktu, bahkan langsung lanjut ke jenjang Magister tanpa jeda. Saya pun membiasakan menulis sejak mahasiswa seperti artikel, jurnal, opini, atau makalah seminar, memperkuat CV (Curriculum Vitae) saya dan membuka banyak jaringan akademik,” jelasnya.
Ia tetap rendah hati dan meluaskan jejaring untuk melalui tahap karirnya.
Pasalnya, menjadi sukses harus bisa memberikan dampak yang baik untuk orang lain dan dukungan orang banyak, mulai dari keluarga, rekan, dan para dosen.
“Orang tua, keluarga besar, guru-guru, dosen-dosen saya tidak lupa teman-teman yang selalu menyemangati mendorong saya. Relasi bukan sekadar kenal, tapi membangun reputasi positif sejak jadi mahasiswa, seperti saat ada lowongan dosen, saya sudah dinilai punya kapasitas dan karakter yang cocok,” urainya.
Septyana bercerita bahwa ia terlahir dari keluarga sederhana, yang mana orang tuanya bekerja sebagai petani di desa. Dari situ, ia terbiasa hidup sederhana.
Saat kuliah, ia kerap menemukan kesulitan dalam menjalani kesehariannya.
Berkuliah di kota orang, baginya sebuah kisah tentang kerja keras, air mata, keteguhan hati, dan harapan untuk memajukan pendidikan.
“Perjalanan saya menempuh pendidikan dari S1 hingga S2 bukanlah perjalanan yang mulus. Saya lahir dan tumbuh dalam keluarga yang sangat sederhana, ayah dan ibu saya bukan orang yang bergelimang harta, tapi mereka kaya akan semangat, doa, dan harapan, dari merekalah saya belajar bahwa keterbatasan bukan alasan untuk menyerah,” ucap wanita yang hobi membaca tersebut.
Sebelumnya, ia berkuliah S1 pada jurusan keguruan, selanjutnya melalui fast track ia lanjut studi S2.
Ia bisa seperti ini karena dukungan yang total dari sang orang tua.
Meski dari desa, kedua orang tuanya memiliki pola pikir yang maju tentang pendidikan.
“Saat kuliah S1, saya merasakan rasanya harus memilih makan enak atau mencetak tugas, kadang saya rela tidak membeli makan siang agar bisa menyisihkan uang untuk keperluan akademik. Saya bertemu banyak orang hebat, belajar dari dosen inspiratif, dan perlahan bisa membuktikan bahwa latar belakang bukan penentu masa depan,” terang wanita yang sering menjadi moderator acara.
Ia menjadi dosen di usia muda bukan karena privilege, melainkan karena usaha keras dari nol.
Sebagai dosen, dirinya senantiasa terbuka untuk sharing ilmu dan bertukar pikiran dengan siapapun.
“Saat ini saya sedang ingin bertekad lanjut S3 dengan beasiswa. Kesan yang saya petik, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sebab kesulitan tidak akan datang sendirian, selalu ada jalan keluar yang disiapkan oleh Allah. Jika kita sabar dan tetap berusaha menjadi pengingat yang luar biasa bagi siapa pun yang sedang berada dalam fase berat, bahwa kemudahan sudah menunggu dan bahkan sedang berjalan bersamaan dengan ujian tersebut,” pungkasnya.
Editor: Mila Candra
Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini
Tidak ada komentar