Mitos Eyang Semar dan Pantangan Wayangan di Desa Tempur

waktu baca 3 menit
Kamis, 3 Agu 2023 16:15 0 1836 Dian A.

JEPARA – Mondes.co.id | Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, merupakan salah satu desa yang berada di lereng Pegunungan Muria.

Selain keindahan alam pedesaan yang masih terjaga, desa Tempur memiliki segudang misteri berupa peninggalan sejarah yang terus digali.

Masyarakat pun masih memegang kuat aturan dan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun.

Beberapa waktu lalu, reporter Mondes.co.id berkesempatan untuk mengunjungi Desa Tempur.

Sepanjang perjalanan, mata akan dimanjakan dengan pemandangan alam yang luar biasa.

Suasana dingin serta kabut tipis yang menyelimuti kawasan tersebut, menambah eksotika desa di lereng Muria ini.

Ada yang menyebut Desa Tempur ini disebut juga dengan Desa Tersembunyi, Sebab desa ini di kelilingi gunung di timur, selatan, utara dan barat. Selain sebagai Panorama alam yang indah.

Dibalik keindahannya tersebut, tersimpan mitos yang sampai saat ini diyakni warga Desa Tempur.

Hingga kini masyarakat Tempur, tidak ada yang berani nanggap atau mementaskan wayang kulit di wilayah tersebut.

Warga menganggap ini, sebuah pantangan yang tidak boleh dilakukan.

Hal ini sebagaimana disampaikan Sekretaris Desa (Sekdes) Tempur Mahfudz Ali.

Ia membenarkan adanya mitos tersebut. Bahkan, mitos itu sudah mandarah daging bagi masyarakat setempat hingga anak cucu mereka.

’’Keyakinan kami sejak dulu, memang tidak ada yang berani nanggap (mementaskan, red) wayang kulit,’’ ungkap Ali, Jumat 14 Juli 2023.

Dikatakan, pernah ada warga Desa Tempur yang melanggar mitos itu. Saat itu, Ali masih berusia 15 tahun. Saat ini, ia sudah berusia 40 tahun.

BACA JUGA :  Kesakralan Sendang Mbah Sureni dan Kearifan Lokal Pohijo

Di mana, salah seorang warga menggelar wayang kulit saat mengadakan pesta pernikahan.

Padahal, jauh sebelum itu sudah ada keyakinan ihwal pantangan tersebut. Saat wayang kulit dipentaskan, kata Ali, memang tidak ada masalah.

Tak ada tanda-tanda apapun. Tapi selang beberapa lama setelah hajat itu. Muncul kekacauan.

Sehingga, sampai sekarang masyarakat tidak ada yang berani nanggap wayang kulit. Mitos yang jadi pantangan itu bukan tanpa dasar.

Ali menjelaskan, leluhur Desa Tempur mewanti-wanti agar tidak mementaskan wayang secara langsung.

Alasannya, gunung-gunung di Desa Tempur dinamai dengan nama-nama tokoh dalam dunia pewayangan. Salah satunya Puncak Abiyasa.

Masyarakat setempat meyakini di gunung dan puncak itu merupakan tempat pertapaan Eyang Semar.

Salah satu agung penting dalam peyawangan sehingga, masyarakat tidak berani mementaskan wayang dalam acara apapun.

“Masyarakat yakin bahwa masih ada Eyang Semar di wilayah Desa Tempur. Sehingga, tidka berani nanggap wayang,” katanya.

Mitos itu masih dipegang erat masyarakat desa sampai sekarang. Bahkan, ada beberapa warga yang berkeyakinan memasang gambar wayang di rumah pun menjadi suatu pantangan yang haram dilanggar.

Memang, Ali dan masyarakat tidak bisa menjelaskan fenomena itu secara ilmiah. Tetapi, mereka meyakini bahwa apa yang sudah dituturkan leluhur itu adalah hal baik yang mesti dipegang teguh.

Keanehan lain yang ditunjukkan Mahfudz Ali, jika dilihat seksama peta Desa Tempur, jika gambarnya dibalik menyerupai gambar tokoh Eyang Semar.

Sehingga, masyarakat percaya ada kedekatan tersendiri antara tokoh Semar ini dengan Desa Tempur.

Editor: Harold Ahmad

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA

Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini