JEPARA – Mondes.co.id | Tradisi lomban di Kabupaten Jepara menjadi identitas kultural Jepara yang sudah ada sejak abad ke-19.
Catatan tertulis mengenai Pesta Lomban ditemukan dalam jurnal Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië tahun 1868, dan koran Slompret Melajoe tahun 1893.
Tradisi ini telah menjadi identitas kultural Jepara sejak abad ke-19.
Tradisi lomban di Jepara dilaksanakan hari ini, Senin (7/4/2025) pagi.
Ribuan masyarakat memadati tepi pantai sejak pukul 06.15 WIB untuk menyaksikan sebuah tradisi budaya yang telah berlangsung lebih dari satu abad tersebut.
Riuh rendah sorak-sorai menyambut prosesi ketika kepala kerbau yang telah dipersiapkan dibawa ke atas kapal.
Ditemani doa dan iringan musik tradisional, kepala kerbau kemudian dibawa ke tengah laut menggunakan perahu utama, diikuti ratusan kapal nelayan yang membentuk barisan megah mengarungi laut Jepara.
Prosesi yang diselenggarakan nelayan dan disokong Disparbud Jepara ini selesai sekitar pukul 09.00 WIB, namun semangat masyarakat tak surut sedikit pun.
Momen puncak terjadi saat kepala kerbau dilarung ke laut lepas. Seketika, beberapa pemuda terjun ke laut, berenang sekuat tenaga untuk memperebutkan kepala kerbau tersebut.
Tradisi ini diyakini membawa keberkahan bagi siapapun yang berhasil mengambilnya.
Sorak-sorai pun menggema, menyatu dengan debur ombak dan semangat kebersamaan yang begitu kental terasa.
“Luar biasa! Saya baru pertama kali lihat langsung, dan ini pengalaman yang sangat berkesan,” ujar Lusiana, seorang wisatawan asal Jakarta.
“Tahun depan saya pasti datang lagi. Ternyata di Jepara ada budaya yang tak kalah menarik dari wisata pantainya ataupun seni ukirnya,” tambahnya antusias.
Bupati Jepara Witiarso Utomo mengatakan, larung kepala kerbau bukan sekadar prosesi budaya, tetapi juga wujud syukur masyarakat nelayan Jepara kepada Tuhan atas hasil laut yang telah menjadi sumber penghidupan mereka.
Dari masa ke masa, tradisi ini terus dilestarikan, menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Kabupaten Jepara.
“Larungan ini bukan sekadar simbol, tapi juga filosofi maritim masyarakat Jepara,” jelas Mas Wiwit.
“Laut adalah sahabat. Ia bukan untuk ditakuti, tetapi dihormati dan dijaga. Inilah bentuk sedekah laut, bentuk silaturahmi, dan wujud nyata rasa syukur kami,” sambungnya.
Bupati juga menambahkan bahwa tradisi ini memiliki potensi besar dalam menarik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Ia berencana mengemas kegiatan larungan tahun depan dengan lebih meriah, melibatkan lebih banyak pelaku budaya dan pelaku pariwisata.
“Jepara, dengan lautnya yang kaya dan budayanya yang kuat, kembali membuktikan bahwa warisan leluhur bukan hanya untuk dikenang, tetapi juga untuk dirayakan bersama. Di tengah arus modernisasi, Lomban adalah pengingat bahwa identitas dan rasa syukur adalah dua hal yang tak boleh hilang dari jati diri bangsa,” kata dia.
Editor: Mila Candra
Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini
Tidak ada komentar