PATI – Mondes.co.id | Petani milenial umumnya berusia 30 hingga 40 tahun, tetapi jiwa milenial itu masih terpancar dalam diri Sudarto, seorang petani top markotop asal Desa Kebonturi, Kecamatan Jaken, Kabupaten Pati.
Meski usianya sudah 50 tahun, ia tetap didapuk dan dipercaya sebagai petani milenial oleh Badan Stadarisasi Instrumen Pertanian (BSIP) Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan).
“Petani milenial idealnya usia 30-40 tahun, sebenarnya kalau saya umur 50 tahun saya ini petani kolonial,” ucapnya sembari tertawa terbahak-bahak.
Ia awalnya merasa kurang cocok, tetapi pepatah mengatakan “Amanah tidak salah memilih pundak”, sehingga Sudarto dipercaya sebagai salah satu petani milenial di Indonesia.
Status petani milenial itu diperolehnya pada tahun 2022 dan pada Oktober 2025 mendatang akan ada penobatan petani milenial lagi.
“Tapi begini, saya ditunjuk BSIP Balintan pada saat sarasehan petani milenial se-Indonesia di Makassar, kebetulan saya dapat surat dari Kementerian Pertanian (Kementan). Saya ke Makassar untuk mencari pengalaman kan oke, terus di 2022 dinobatkan sebagai petani milenial. Nanti akan ada penobatan petani milenial lagi di Papua pada Oktober 2025,” sambung Darto saat diwawancarai Mondes.co.id, Kamis (25/9/2025).
Alasan ditunjuknya menjadi petani milenial karena peran yang amat begitu besar, khususnya di Kecamatan Jaken.
Darto sapaannya, memberikan akses kepada petani dalam hal menuju kesejahteraan.
Seperti koordinasi dengan berbagai stakeholder demi pengadaan sarana-prasarana pertanian di sawah.
Lalu akses pemerataan bantuan-bantuan dari pemerintah yang tertuju kepada petani setempat, dan pemikirannya yang out of the box, membawa inovasi pertanian demi usaha tani lebih maju.
“Penghargaan yang diraih bukan formal, namun menekankan perhatian terkait kondisi pertanian di desa, kita bisa mengakses bantuan DBHCHT (Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau), ada akses ke dinas dan stakeholder untuk pengadaan bantuan infrastruktur pertanian, kita bisa berkomunikasi kalau ada apa-apa dimintai ini dan itu (saran) cepat. Secara formal tidak ada yang saya berikan, tapi ada perhatian supaya kita memotivasi petani lain mengembangkan budidayanya,” ungkapnya dengan haru.
Ia memaparkan salah satu inovasi yang berkesan ketika membawa kemajuan sektor pertanian di Desa Kebonturi dan sekitarnya, yakni berupa jaringan listrik yang masuk ke area persawahan.
Mengingat, kawasan hamparan tadah hujan Kecamatan Jaken jauh dari akses permukiman dan tata jaringan listrik.
Dengan berkoordinasi bersama stakeholder, akhirnya area persawahan Desa Kebonturi dan sekitarnya teraliri arus listrik, guna keperluan pertanian yang tepat guna.
Keadaan sawah yang jauh dari sumber air, memaksa petani mengairi lahan dengan mengandalkan hujan.
Namun, ketika musim hujan tidak kunjung datang, maka jalan satu-satunya melakukan irigasi dengan tenaga diesel untuk menyambungkan sumber air ke sawah yang jauh di sana.
“Inovasi yang saya hadirkan adalah pengetahuan teknologi tepat guna, salah satunya karena di Kebonturi itu sebelum ada listrik masuk ke area sawah, saya dan teman-teman petani memompa air dengan bantuan alat diesel. Awalnya pompa bekas, lalu dipakaikan sanyo gak bisa, maka digerakkanlah pakai diesel, saya yang buat pertama kali,” ucap Darto.
Jauh dari sungai maupun embung, acap kali petani mengairi lahan dengan memanfaatkan tampungan terpal di titik tertentu, supaya tanamannya dekat dengan air.
Awalnya sempat membuat sumur dangkal, tetapi butuh biaya mahal.
Diketahui, mayoritas petani Desa Kebonturi menanam tembakau.
Komoditas dengan nama latin nicotiana tabacum mulai ditanam sejak 2020, apalagi tembakau membutuhkan air yang ideal agar bisa subur.
“Awalnya itu pakai buat tembakau di tahun 2019 ke 2020, efeknya seluruh desa karena kebanyakan petani beli terpal untuk menampung air yang diperlukan menyirami tembakau. Saya pun kepikiran pakai alat dengan biaya produksi yang tak mahal. Lalu kita buat sumur dangkal kalau ditarik pakai alkon pasti bahan bakarnya terlalu boros, jadinya saya berinovasi dengan pompa yang dinamonya diambil, ditarik dengan diesel,” urainya.
Saat menggunakan pompa bertenaga diesel, sehari menghabiskan 1 hingga 2 liter, akhirnya seluruh petani Desa Kebonturi menggunakannya.
Supaya lebih efisien, Darto mengajak rekan-rekan petani mengajukan penataan jaringan listrik untuk memenuhi kebutuhan pertanian.
Pihaknya menyerahkan proposal ke Perusahaan Listrik Negara (PLN).
“Kemudian di 2024 saya mengajukan pengaliran listrik untuk kebutuhan sumur sawah, sehingga kemudian Kebonturi ada jaringan listrik yang ke sawah, kemudian kita ajukan proposal ke PLN, Alhamdulillah dipenuhi. Soalnya kegiatan usaha tani butuh air dari sumur, jadi kita pakainya bukan bahan bakar bensin lagi tetapi listrik,” jelasnya.
Lebih lanjut, PLN menyetujui usulan tersebut, sehingga PLN memberikan aliran listrik ke kawasan persawahan di Desa Kebonturi.
Namun, petani diimbau menjaga keamanan pemakaian jaringan listrik, apalagi letaknya berada di alam terbuka.
PLN meminta agar petani membuat pusat jaringan yang berada di sekitar lokasi, tetapi memiliki tingkat keamanan yang terjamin.
Petani kemudian membuatkan sebuah bangunan untuk mengontrol jaringan listrik ke sawah-sawah.
“Ada syarat-syarat yang harus kita penuhi untuk menjaga jaringan listrik, misal kalau ada pohon yang mengganggu jaringan sedini mungkin diantisipasi, kita bisa kerja bakti amankan kabel, menata gubuk tempat meteran untuk jaga saat panas maupun hujan karena itu bahaya kalau kena air. Syarat dari PLN kita harus membuat rumah untuk meteran yang tidak boleh kena hujan sebagai salah satu cara petani memelihara jaringan listrik,” tuturnya.
Sampai hari ini, di Desa Kebonturi sudah ada 30 titik jaringan listrik untuk mengaliri sumur sawah yang disambungkan dengan kabel.
Biaya listrik ditanggung PLN, tetapi pengelolaan meteran listrik menjadi tanggung jawab petani, sehingga mereka harus menjaga agar tata kelola listrik aman.
Hadirnya jaringan listrik ke sawah meningkatkan hasil pertanian.
Petani merasa ongkos produksi jauh lebih murah dibandingkan sebelum ada jaringan listrik masuk ke sawah.
“Dampaknya peningkatan hasil pertanian karena biaya produksi awal pertumbuhan tembakau butuh air yang banyak, dan kemarin sebelum ada listrik sekali penyiraman habis Rp50 ribu, setiap hari begitu. Maka dari itu, untuk menekan ongkos produksi kita bisa ajukan listrik ke sawah,” ujarnya.
Menurutnya, inovasi ini mencoba diadopsi oleh petani di desa lain yang berada di kawasan tadah hujan.
Desa Kebonturi dan Tegalarum sudah menerapkan, Darto pun bangga karena langkahnya menginspirasi petani lain untuk sejahtera.
“Desa-desa lain mulai mau mengadopsi dan manfaat jadi petani milenial banyak, terutama cara budi daya yang menguntungkan. Kita dapat mengenal banyak teman dari berbagai daerah saling bertukar pikiran, kalau tentang tembakau bertukar pikiran dengan petani Temanggung, Wonosobo, Magelang,” ucapnya.
Selain itu, bertahun-tahun Darto juga dipercaya oleh warga Desa Kebonturi untuk menjadi ketua gabungan kelompok tani (Gapoktan).
Keberadaan Gapoktan yang ia pimpin menebar kebermanfaatan bagi warga Desa Kebonturi.
Editor: Mila Candra
Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini
Tidak ada komentar