PATI – Mondes.co.id | Kesenian Gongcik hadir sebagai warisan budaya yang memadukan irama, gerak, dan makna.
Gongcik menggema di setiap dentingnya.
Mochtar Faqih (40), seniman Gongcik asal Desa Pasucen, Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, menuturkan kesenian Gongcik harus dilestarikan sebagai budaya lokal asli Kabupaten Pati yang hampir tergerus zaman.
Pasalnya, kesenian yang pernah ia gandrungi semasa kecil, sempat vakum karena kurangnya minat masyarakat.
“Saya menyaksikan Gongcik sejak kelas 1 atau 2 SD (Sekolah Dasar), tetapi sempat punah menghilang. Kemudian saya menekuni lagi Gongcik sejak 2012. Dari tahun itu, Gongcik kembali dimunculkan untuk tampil di permukaan,” ujarnya kepada Mondes.co.id, Jumat, 17 Oktober 2025.
Sejak bertahun-tahun tergerus zaman, barulah di 2012 Gongcik reborn, masyarakat Kabupaten Pati kembali dikenalkan dengan Gongcik untuk ditampilkan di berbagai acara maupun sarana edukasi masyarakat.
Kesenian ini pun kembali digandrungi masyarakat di Kabupaten Pati bagian utara, salah satunya di Desa Pasucen, Kecamatan Trangkil.
Gongcik ini bermula dari inisiatif Komunitas Gosek Tontonan yang mencari kesenian di setiap daerah dengan status hampir punah.
Kemudian, Kecamatan Trangkil mengajukan kesenian Gongcik dan Mandailing.
Namun, karena masyarakat lebih mudah mempelajari Gongcik, sehingga kesenian itulah yang eksis.
“Ada yang namanya Gosek Tontonan mencari kesenian yang hampir punah di tiap kecamatan, kemudian di Kecamatan Trangkil memunculkan kembali kesenian ini, ada Gongcik dan Mandailing, tetapi yang bisa cuma Gongcik. Setelah itu, sempat vakum sebentar lalu muncul lagi dan kini berkembang lagi di wilayah Trangkil, Wedarijaksa, Margoyoso, Gunungwungkal, bahkan Dukuhseti,” katanya.
Faqih menceritakan asal usul Gongcik bermula ketika masa kolonial.
Pada waktu itu, masyarakat menyembunyikan gerakan-gerakan bela diri yang mereka kuasai dengan kemasan seni tari Gongcik.
“Dari cerita yang diturunkan dari zaman penjajahan Belanda karena dikhawatirkan dilarang, makanya dikamuflase jadikan kesenian tari dengan diiringi gamelan. Musik iringan ada gong kempul, gong kecil, kendang sepasang (lanang dan wedok), bedug,” urainya.
Diketahui, gerakan Gongcik mulai dari salam hormat, lalu gerakan pembukaan.
“Gerakannya ada salam hormat, lalu gerakan pembukaan, bahkan setiap daerah ada khasnya sendiri, di desa saya desa lain berbeda. Kemudian ada tendangan sebagai tarian pemanis, disebut laku-laku, ada gibas,” paparnya.
Dalam Gongcik memadukan gerakan tangan dan kaki.
Kombinasi antara gerakan tangan dan kaki semakin indah ketika dimainkan secara seimbang dan penuh atraksi.
“Kemudian membuat kotak imajiner, dan lawannya masuk, lalu gerakan pembukaan lagi, masuk gerakan tendangan. Mereka saling adu pojok, kemudian saling bertemu, lalu memasuki gerakan pertarungan, lalu pisah lagi, lalu gerakan penutup,” imbuhnya.
Di dalam gerakan Gongcik, dimainkan secara adu tunggal dan beregu.
Kesenian ini mempertontonkan gerakan pertarungan dengan durasi 3 sampai 6 menit.
Perlu diketahui, kesenian Gongcik biasa dimainkan pada waktu acara sedekah bumi di desa-desa.
Untuk di Desa Pasucen, Gongcik dipertunjukkan secara rutin di peringatan 1 Muharram.
“Waktu Hari Jadi Pati Gongcik sempat dimainkan di Pendopo Kantor Bupati Pati. Kalau di desa pas bersih desa, sedekah bumi, pas Suronan atau 1 Suro di Pasucen sering menampilkan Gongcik. Di Desa Pasucen ada perkumpulan Gongcik Singo Padi, kalau di desa lain ada juga,” lanjutnya.
Faqih sendiri juga memiliki anak didik yang berminat melestarikan Gongcik.
Selama dua tahun ia melatih anak-anak untuk menguasai Gongcik di Desa Pagerharjo, Kecamatan Wedarijaksa.
“Yang sudah saya ajarkan di Sanggar Dolanan di Pagerharjo kurang lebih dua tahunan, cuma sekarang mereka (anak-anak) berhenti karena kesibukan sekolah, dan udah malas melanjutkan. Ada sekitar 20 anak,” ungkapnya.
Ia pun mendorong kepada pemerintah daerah (Pemda) supaya Gongcik ini didukung supaya tetap lestari dan beregenerasi.
Pasalnya, kesenian ini menjadi warisan budaya Kabupaten Pati atau identitas daerah yang menjadi kebanggaan.
Faqih juga turut mengajak seniman agar lebih kreatif dalam memainkan Gongcik, agar ada perkembangan yang lebih modern terutama gerakan.
Ia menjajal berbagai variasi gerakan supaya Gongcik semakin menghibur dan diminati anak muda.
“Gongcik perlu pengembangan, jangan melulu seperti itu, lama-lama orang bosan juga. Ada tantangan lain juga karena anak-anak jarang minat, gak gampang regenerasi ke anak muda sekarang,” beber Faqih.
Sebagai informasi, Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia menetapkan Gongcik sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) khas Kabupaten Pati.
Membuktikan kesenian yang sudah langka ini perlu dilestarikan sebagai tradisi kebudayaan lokal Bumi Mina Tani.
Sebagai seniman, ia bangga dengan penobatan tersebut.
Pasalnya, memperjuangkan kesenian lokal untuk berbicara banyak di kancah nasional, bukan sesuatu yang mudah.
“Awalnya Disdikbud (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan) Kabupaten Pati ada beberapa kebudayaan yang diusulkan, yang sampai masuk ke sana Gongcik. Gongcik dipresentasikan dengan jelas dan lancar, sehingga ditetapkanlah Gongcik sebagai WBTB. Menariknya, saat presentasi di hadapan umum tidak ada yang meragukan Gongcik, beda dengan seni lain yang dipertanyakan berkali-kali, kalau Gongcik ini lancar tanpa ada kendala,” terangnya.
Usai ditetapkan sebagai WBTB, ia berharap Gongcik bisa menjadi salah satu ekstrakurikuler di satuan pendidikan.
Serta, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pati bisa mendorong semua unsur untuk meminati Gongcik.
“Semoga dengan WBTB, Gongcik lebih dikenal dan disupport oleh Pemda, bisa jadi ekstrakurikuler di sekolah. Perlu ada intervensi dari pemerintah ke arah sana,” pungkasnya.
Editor: Mila Candra
Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini
Tidak ada komentar