PATI – Mondes.co.id | Sedulur Sikep merupakan ajaran yang dimunculkan oleh seorang tokoh asal Kabupaten Blora, Samin Surosentiko alias Mbah Samin. Perjuangan Mbah Samin ini muncul karena keprihatinan terhadap kondisi masyarakat yang dijajah Belanda.
Ia melawan dengan cara menolak perintah dan aturan-aturan Belanda tanpa kekerasan. Seperti tak mau bayar pajak.
Ajaran Samin Surosentiko dimulai sekitar era 1850 hingga awal 1900-an. Anggotanya semakin banyak, hingga puncaknya terjadi perlawanan terhadap Belanda pada 1907.
Karena gerakannya semakin masif, Mbah Samin pun ditangkap di Rembang. Lalu diasingkan ke Digul Irian Jaya kemudian dipindah ke Sawahlunto Sumatera Barat.hingga wafat di sana.
Saat ini populasi penganut ajaran Sedulur Sikep tersebar di berbagai daerah antara lain di Blora, Rembang, Grobogan, Pati, Kudus, Bojonegoro, Tuban, Blitar, Gresik, Madiun, Ngawi, dan Lamongan.
Perlu diketahui, Kabupaten Pati menjadi salah satu daerah tempat berdomisilinya Sedulur Sikep. Salah satu tokoh Sedulur Sikep tersebut adalah Gunretno.
Tinggal di Dukuh Bombong, Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, ia menjalani hidupnya seperti halnya masyarakat umum sebagaimana masyarakat Jawa.
Akan tetapi, dalam menjalani kehidupan banyak nilai-nilai dasar yang diterapkan seperti memiliki tujuan lelaku yang jumlahnya ada lima, yaitu Demen, Becik, Rukun, Seger, dan Waras. Sedangkan, ada pun lima larangan lelaku hidup yaitu Jrengki, Srei, Panesten, Dahwen, dan Kemeren.
“Saat itu gerakan Sedulur Sikep kompak tidak membayar pajak. Ditambah Mbah Samin jadi figur yang murni menggambarkan panutan rakyat, karena waktu itu pemerintahan kolonial Belanda sering berkompromi dengan raja-raja Jawa, sehingga rakyat ditinggal. Itu mengapa Mbah Samin beserta ajarannya diikuti oleh banyak orang. Mbah Samin orangnya sangat terbuka dan menginspirasi orang-orang,” unglap Gunretno saat diwawancarai di kediamannya di Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, pada Selasa, 22 Agustus 2023.
“Karena sering berurusan dengan petugas pajak kolonial, maka Sedulur Sikep sering ditagih pajak. Karena melawan tanpa kekerasan, makanya Sedulur Sikep selalu mengecoh dengan ungkapan-ungkapan yang membuat Belanda bingung, seperti kata jumlah,” sebutnya.
“Mereka jika ditanya jumlah harta untuk membayar pajak, maka mereka mempertanyakan maksud jumlah itu hitungan apa,” ungkapnya.
“Itulah mengapa kami ini kerap mempertanyakan total setiap angka dengan pertanyaan, hitungannya berapa? Karena bagi kami kata adalah senjata,” ucapnya.
Masyarakat Sedulur Sikep sangat kritis dalam melakukan interaksi. Saat menjawab pertanyaan mengenai “jumlah” mereka mempertanyakan balik, kata tersebut dalam konteks seperti apa.
Itu sebabnya, untuk mengurai kata “jumlah,” perlu ditarik dari perhitungannya berapa.
Sedulur Sikep menganggap ucapan kepada Belanda adalah senjata guna mempertanyakan tentang pajak untuk manusia, pajak untuk hewan, pajak tanah, dan sebagainya. Realita tersebut sangatlah penting untuk dipahami orang-orang.
Menurut Gunretno, pandangan tersebut kerap dinilai orang luar bahwa Sedulur Sikep “ngeyel”, padahal upaya kritis tersebut adalah prinsip yang mendasari strategi dalam menghadapi Belanda. Meskipun begitu, pihaknya mementingkan sebuah kejujuran.
Asal usul keberadaan Sedulur Sikep di Kabupaten Pati dimulai dari kedatangan Sedulur Sikep asal Kabupten Kudus, yakni Canggah Kurodiwongso yang merupakan murid Mbah Samin.
Lalu ia memiliki anak bernama Suronggono yang menikahi seorang wanita asal Bombong.
Mereka menikah dengan tradisi Sedulur Sikep, mengingat pada waktu itu masih banyak penganut Islam Jawa yang ada di Kabupaten Pati, sehingga corak kebudayaannya masih erat jika dikaitkan satu sama lain.
Ajaran Sedulur Sikep kemudian menyebar ke berbagai wilayah lain, seperti Kecamatan Tambakromo, Kecamatan Gabus, bahkan hingga Kecamatan Tlogowungu.
Namun, kini ajaran tersebut paling banyak ada di Kecamatan Sukolilo, utamanya Desa Baturejo, Kedumulyo, Baleadi, dan Sukolilo itu sendiri.
“Dulu tersebar banyak di beberapa desa dan kecamatan. Bahkan ajaran ini menjadi populer karena menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran,” ucapnya.
“Populasi penduduk yang menganut ajaran Sedulur Sikep di Baleadi ada 200 Kepala Keluarga (KK), Bombong ada 20 KK, dan Bowong ada 15 KK, “ sambungnya.
Menjawab pertanyaan yang kerap muncul, kenapa saat ini Sedulur Sikep memilih mengasingkan diri? Menurut pandangan Gunretno yang disadur dari peneliti Belanda bahwa muncul beberapa reformasi kebudayaan usai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbentuk.
Sejak, Indonesia merdeka, lahirlah dasar negara Pancasila, dan lahirlah konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).
Secara tatanan kehidupan, warga Sedulur Sikep sejalan dengan NKRI, akan tetapi karena pada waktu itu pemerintah hanya mengakui lima agama, maka penganut ajaran kepercayaan Sedulur Sikep memilih membentuk pemukiman sendiri.
“Eksistensi Sedulur Sikep di era perjuangan sudah lama. Sebelum kependudukan Jepang, Sedulur Sikep sudah menyusahkan Belanda. Namun seiring berjalannya waktu, ada beberapa benturan antara pembentukan republik dengan ajaran, terutama soal pengakuan agama,” jelasnya.
“Maka dari itu, Sedulur Sikep mengasingkan diri. Padahal Sedulur Sikep ini membaur dan tidak tertutup, tapi terkesan tertutup,” imbuh Gunretno.
Meskipun begitu, ia heran pada masyarakat yang tidak mengenal Sedulur Sikep karena kerap menuduh sembarangan.
Padahal masyarakat Sedulur Sikep sama-sama Warga Negara Indonesia (WNI) serta hidup berdampingan dengan masyarakat umum.
Menurut Gunretno, Sedulur Sikep tidak memakai celana panjang, karena pada masa imperlialisme celana yang dikenakan priayi yang dekat dengan orang barat.
Mereka mengenakan celana biasa maupun cingkrang, lalu mereka identik dengan udeng di kepala.
Menjaga hal tersebut merupakan bagian dari kesederhanaan yang diwarisi leluhur. Hal ini diyakini sebagai kewajiban yang harus dijaga bersama untuk tidak melupakan sejarah.
Tidak hanya itu, warga Sedulur Sikep kebanyakan memilih memberikan pendidikan dari orang tuanya sendiri tanpa perlu mengikuti sekolah formal. Kebanyakan dari mereka diajarkan bahwa pendidikan formal adalah pilihan hidup.
Hal ini membuat mereka lebih sering belajar merawat bumi dan lingkungan sebagai bagian tradisi mempertahankan minat untuk bertani. Pasalnya mata pencaharian Sedulur Sikep adalah petani.
“Mulai dari tata cara pernikahan maupun pendidikan diatur dalam ajaran Sedulur Sikep sendiri. Pernikahan tidak dicatatkan di pemerintaham. Kemudian, anak-anak bebas mau belajar kemana aja, tetapi kami biasanya mendidik anak dari orang tuanya sendiri,” tuturnya.
“Pemahaman tentaang merawat bumi menjadi pelajaran yang harus ditekankan. Gegayuhan kami ingin membecikkan laku dan memperbaiki ucapan,” lanjutnya.
“Sinau cukup dengan bapak/ibu, sinau bercocok tanam cukup dengan bapak/ibu. Tetapi demi keseimbangan, ada juga beberapa masyarakat yang kami izinkan bekerja di tempat lain,” ujarnya.
“Itulah mengapa, kami bekerja sebagai petani. Sedulur Sikep bekerja sebagai petani dan kami tidak berdagang,” ungkapnya.
Masyarakat Sedulur Sikep sangat mencintai bumi yang mereka pijak. Menurut Gunretno bumi digambarkan bagaikan seorang ibu.
Ketika bumi dirusak sama artinya tidak menghormati sang ibu, karena semua kehidupan manusia bergantung pada bumi.
Sedulur Sikep memiliki kepekaan yang tinggi terhadap kondisi lingkungan alam sekitar. Mereka sering menyoroti adanya masalah rusaknya lingkungan.
Apalagi mata pencaharian mereka petani yang bersinggungan langsung dengan ekosistem lingkungan.
Oleh karena itu, masyarakat Sedulur Sikep aktif menyuarakan penolakan adanya eksploitasi lingkungan.
“Anggapan bumi seebagai ibu menjadi pegangan bagi Sedulur Sikep. Semua ancik-ancik bumi, maka penggambaran bumi sebagai ibu. Kami punya kepekaan terhadap masalah kerusakan lingkungan. Kerusakan bumi dan ekosistem ada hubungannya dengan petani. Contoh pembangunan pabrik semen yang merusak medan area respaan air, sehingga nasib petani terancam,” tegasnya.
Sebagai informasi mereka menolak tambang yang merusak lingkungan, utamanya Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) di Pegunungan Kendeng.
Bersama dengan Sedulur Sikep Grobogan dan Blora, mereka bahu-membahu melawan pertambangan di sana.
Kelestarian alam selalu mereka jaga. Mereka secara tegas mengkritisi pemangku kebijakan jika memfasilitasi perilaku kerusakan lingkungan seperti mengizinkan pertambangan, menetapkan peraturan-peraturan daerah tentang tata ruang.
Baginya, regulasi seperti itu lebih membahayakan dibanding hama. Jika hama hanya memakan tanaman, tapi peraturan perundang-undangan yang mengancam lingkungan membahayakan seluruh elemen kehidupan manusia.
“Kami tidak kenal berhenti berjuang menjaga Kendeng lestari. Makanya upaya-upaya dari hulu ke hilir harus kita awasi. Bagi saya hama terbesar bukan wereng, tetapi rencana perubahan perundang-undangan yang tanpa melibatkan kami, apalagi jika aturan tersebut mendukung kerusakan lingkungan,” pungkasnya.
Editor: Harold Ahmad
Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini
Tidak ada komentar