Foto: Spanduk penolakan Tahura di Desa Gunungsari (Mondes/Singgih) PATI – Mondes.co.id | Penolakan terhadap rencana penetapan Taman Hutan Raya (Tahura) Gunung Muria, muncul dari warga Desa Gunungsari, Kecamatan Tlogowungu, Kabupaten Pati.
Warga khawatir jika keberadaan Tahura akan membuat masyarakat kehilangan akses terhadap lahan hutan yang selama ini menjadi sumber penghidupan.
Unun, salah seorang warga setempat, menyebut bahwa kekhawatiran terbesar warga adalah masuknya investor besar ketika status hutan berubah menjadi Tahura.
“Adanya Tahura bisa mengakibatkan masyarakat tidak bisa lagi mendapatkan hasil dari hutan, nanti banyak investor yang masuk,” ujarnya.
Di samping itu, Desa Gunungsari telah memiliki beberapa objek wisata yang tengah dikembangkan melalui anggaran dari pemerintah desa.
Masyarakat menilai, keberadaan Tahura justru berpotensi menghambat pengembangan wisata lokal.
“Pemerintah Desa (Pemdes) sudah menganggarkan pembangunan wisata. Karena itu masyarakat menolak Tahura di Desa Gunungsari,” lanjutnya, Jumat, 21 November 2025.
Kepala Desa (Kades) Gunungsari, Sudadi menegaskan bahwa warga lebih menginginkan skema perhutanan sosial, dibanding penetapan Tahura.
Menurutnya, masyarakat telah menggarap kawasan hutan itu sejak tahun 1965 dan kembali memperluas garapan pada periode 1988 sampai 1989.
Saat tim terpadu dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) datang, warga memasang spanduk bertuliskan penolakan.
Beberapa di antaranya berbunyi “Stop Diskriminasi Petani, Petani Lereng Gunung Muria Tolak Hutan Tahura”.
Serta “K.T.H Gunungsari Pulingan Menghendaki Perhutanan Sosial, HKM Hutan Kemasyarakatan”.
“Tulisan itu disampaikan langsung kepada tim terpadu,” jelas Sudadi.
Kepala Bidang (Kabid) Pengelolaan DAS dan Konservasi SDA Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Jawa Tengah, Soegiharto pun memberi penjelasan.
Ia mengatakan bahwa usulan Tahura berangkat dari rekomendasi para bupati di kawasan Muria yang meliputi Kabupaten Pati, Jepara, dan Kudus.
Mereka menilai, perlindungan kawasan Muria penting untuk menjaga daya dukung air, mencegah bencana, serta melestarikan keanekaragaman hayati.
Gubernur Jawa Tengah kemudian mengajukan usulan tersebut kepada Menteri Kehutanan.
Tindak lanjutnya adalah pembentukan Tim Terpadu (Timdu) yang dipimpin BRIN untuk meneliti kelayakan perubahan fungsi hutan.
“Timdu sudah melakukan survei biofisik, sosial budaya, dan aspek hukum. Hasil kajian paling lambat disampaikan ke Menteri Desember 2025,” ujar Soegiharto.
Ia menambahkan, pembangunan Tahura tetap akan dilanjutkan untuk kepentingan pelestarian Gunung Muria, sebagaimana fungsi Tahura yang telah berjalan di Gunung Lawu (Tahura KGPAA Mangkunagoro I).
Kendati demikian, Soegiharto menegaskan bahwa beberapa wilayah, termasuk area yang saat ini dikelola Perhutani bersama pihak ketiga, akan dipertimbangkan untuk tidak dimasukkan ke dalam kawasan Tahura.
Sedangkan, salah satu kekhawatiran masyarakat adalah terkait keberlangsungan budi daya kopi di kawasan hutan.
Menanggapi hal itu, Soegiharto memastikan bahwa wilayah kebun kopi justru direncanakan masuk ke dalam blok pemanfaatan tradisional.
“Jadi masyarakat tetap bisa mengakses seperti kondisi sekarang,” tegasnya.
Secara administratif, usulan Tahura Gunung Muria meliputi 10 desa di Kabupaten Pati, di antaranya Medani, Sentul, Bageng, Klakahkasihan, Plukaran, Sitiluhur, Jepalo, Jrahi, Gunungsari, dan Tajungsari.
Dari semua desa tersebut, Desa Gunungsari menjadi satu-satunya yang menolak.
Soegiharto menambahkan, pengalaman mengelola Tahura Mangkunagoro I di Kabupaten Karanganyar seluas 2.500 hektare, menunjukkan bahwa keberhasilan pengelolaan kawasan sangat bergantung pada peran aktif masyarakat sekitar.
“Tanpa dukungan dan partisipasi aktif masyarakat, sangat berat mencapai tujuan pengelolaan Tahura,” tegasnya.
Ia pun menilai pentingnya keterlibatan Pemdes, Kelompok Tani Hutan (KTH), Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), Lembaga Masyarakat Dekat Hutan (LMDH), masyarakat mitra Kepolisian Hutan (Polhut), relawan, dan komunitas peduli lingkungan.
Sebagai informasi, kawasan hutan Gunung Muria juga merupakan bagian dari Cagar Biosfer Karimunjawa–Jepara–Muria yang ditetapkan UNESCO pada 2020.
Editor; Mila Candra
Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini
Tidak ada komentar